Di suatu malam dengan bintang-bintang berkelip lembut. Di dalam rumah yang hangat dan damai, Livy dan Kay baru saja menyelesaikan rutinitas malam mereka bersama anak-anak. Setelah menidurkan Elian lebih dulu di kamarnya, kini giliran mereka mengantar Albern ke kamarnya.Kay menggandeng tangan Albern, sementara Livy membawa buku-buku Albern untuk kembali disusun di lemari bukunya.“Sudah mengantuk belum?” tanya Livy lembut sambil membenahi bantal di sisi kanan tempat tidur.Albern mengangguk kecil, mengucek matanya, lalu menaiki tempat tidurnya sendiri. Ia berbaring, lalu menatap kedua orang tuanya yang duduk di tepi ranjang, seperti biasa.“Ada cerita malam ini?” tanya Kay.“Aku sudah tidak sabar masuk sekolah dasar,” jawab Albern jujur sambil tersenyum kecil.Livy tersenyum dan mengusap rambut anak sulungnya yang sudah semakin panjang. “Al masih ingat teman-teman TK? Siapa tahu nanti satu SD juga,” ucap Livy.“Dean,” jawab Albern cepat. “Sama Rio.”“Teman perempuannya tidak ada yang
2 tahun kemudian…Pagi itu, cuaca cerah seolah ikut merayakan hari istimewa untuk Albern. Livy membenahi dasi kecil Albern yang sudah terlihat gagah dengan seragam perpisahan TK-nya. Anak itu tersenyum ceria, tak sabar mengikuti pentas seni yang sudah berbulan-bulan dia latih. Kay merapikan rambutnya pelan, lalu menepuk bahu putranya.“Siap jadi bintang hari ini, Kapten?” tanya Kay dengan nada bercanda.Albern mengangguk penuh percaya diri. “Siap, Papa! Nanti harus tepuk tangan, ya?!”Kay dan Livy saling berpandangan, lalu tertawa. “Siap!” ucap mereka serentak.Elian juga sudah berpakaian rapi untuk meramaikan acara perpisahan kakaknya. Anak yang kini sudah bisa berjalan dan berbicara cadel itu tetap digendong oleh Kay masuk ke dalam aula.Bangku-bangku telah dipenuhi para orang tua. Livy dan Kay duduk di barisan depan, bersama Elian yang kini sudah berumur tiga tahun, duduk di tengah mereka sambil menggenggam balon kecil. Acara dimulai dengan penampilan nyanyian kelompok. Anak-anak m
Usia Elian sudah satu tahun lebih beberapa hari.Setelah berdiskusi dengan cepat, akhirnya Kay dan Livy memutuskan untuk membalut acara ulang tahunnya. Yang telah direncanakan akan diselenggarakan pada hari ini.Siang menjelang sore itu matahari jatuh lembut menyinari salah satu taman terbuka yang sudah disulap menjadi tempat perayaan ulang tahun Elian yang pertama. Tenda putih kecil berdiri elegan di tengah rerumputan hijau, dihiasi balon-balon pastel dan pita-pita berwarna biru dan krem. Suasana terlihat hangat dan meriah, namun tetap nyaman dan tidak berlebihan.Di sudut taman, terdapat area khusus anak-anak yang dipenuhi permainan lembut seperti perosotan mini, rumah balok, dan kolam bola. Teman-teman Albern aktif berlarian di antara balon dan kue-kue mungil yang disediakan untuk mereka.Pegawai-pegawai kantor Kay juga hadir bersama keluarga masing-masing. Tak sedikit yang membawa anak-anak mereka, menjadikan perayaan itu terasa lebih seperti acara keluarga besar daripada sekadar
Untungnya Elian tidur dengan nyenyak. Sampai kegiatan Kay dan Livy benar-benar selesai.Keduanya sama-sama tertawa lucu saat menikmati soft drink di dekat jendela kamar mereka.Hari pun sudah mulai siang. Sebentar lagi Albern akan pulang. Kay tidak ingin di hari pertama anaknya itu sekolah, diantar dan dijemput oleh supir, dia tetap ingin menjemputnya pulang.“Kita jemput Al lagi ya?” ucap Kay.“Kamu ya, tidak lelah sama sekali,” gumam Livy.Kay tertawa. “Kenapa harus lelah? Yang tadi itu justru sedang menambah energi,” jawabnya ringan, membuat Livy pun ikut tertawa.**Mentari menyinari halaman sekolah dengan lembut. Angin sepoi-sepoi membuat daun-daun bergoyang pelan. Mobil Kay berhenti di depan gerbang sekolah. Livy duduk di samping dengan Elian di pangkuannya yang masih mengenakan topi kecil, wajahnya mengantuk namun penasaran melihat suasana ramai.Tak perlu waktu lama, suara riuh anak-anak yang keluar dari ruang kelas mulai terdengar. Dan dari antara barisan kecil itu, muncullah
Usia Albern sudah genap 4 tahun. Elian pun hampir satu tahun. Namun, mereka belum merencanakan membuat acara ulang tahun untuknya, mengingat mereka masih sangat sibuk. Apalagi mereka baru saja memutuskan kalau Albern akan masuk sekolah taman kanak-kanak.Pagi ini langit pagi itu bersih. Matahari belum terlalu terik, namun cahayanya cukup hangat untuk menyambut langkah kecil Albern yang begitu semangat. Hari itu adalah hari pertama Albern sekolah—sebuah tonggak besar bagi bocah laki-laki yang dulu hanya bisa mengeja satu dua huruf, kini sudah tumbuh percaya diri, ceria, dan penuh rasa ingin tahu.Kay, Livy, dan Elian ikut mengantarnya. Elian duduk tenang di stroller, sesekali menatap kakaknya sambil berseru, “Ba! Ba! Ta!”Livy mengenakan pakaian kasual namun rapi, dan Kay berdiri gagah di sampingnya, sesekali merapikan kerah kemeja Albern yang tampak kebesaran tapi membuatnya terlihat semakin menggemaskan.“Siap sekolah, Nak?” tanya Kay sambil menatap mata putranya.Albern mengangguk c
Beberapa bulan telah berlalu.Musim mulai berganti. Angin pagi tak lagi dingin menusuk seperti dulu, melainkan membawa aroma embun dan bunga yang segar. Di dalam rumah yang hangat itu, suasana pun berubah.Elian, bayi kecil mereka, kini bukan lagi hanya tidur dan menyusu. Ia sudah bisa duduk sendiri, merangkak cepat seperti serdadu kecil yang mengejar apa saja yang menarik di lantai. Suaranya juga makin nyaring. Tidak hanya tertawa, tapi juga berteriak keras saat mainannya direbut atau saat lapar menyerang.Siang itu…“EEEEAAA!” jeritannya menggema dari ruang tengah.Livy yang sedang mencobakan sepatu untuk Albern hanya bisa menoleh dan mendesah. “Tuh, adeknya marah lagi,” gumamnya sambil tersenyum lelah.Albern, yang kini sudah besar dan lebih mandiri, melirik adiknya. “Adik galak, Mama…” katanya sambil tertawa kecil.“Dia bukan galak, Sayang. Dia cuma cerewet seperti kamu dulu,” jawab Livy sambil mengecup pipi sulungnya. Ia pun beranjak dan mendapatkan Elian.“Apa Sayang? Sudah mula