Nata mengantarkanku ke rumah di sore hari. Seperti biasa, dia hanya sampai gerbang tidak mau masuk.Aku disambut kondisi bak kapal pecah begitu membuka pintu. Piring kotor bekas makan berserakan di meja ruang tamu. Nasi mengering menghiasi lantai bercampur dengan debu. Bantal sofa ada di mana-mana. Jemuran yang sudah kering teronggok di kursi. Sementara jemuranku sendiri belum ada yang mengangkat.“Semakin enak, ya, hidupmu.” Suara dingin itu terdengar dari ruang nonton. “Sudah jadi calon istri orang kaya lupa sama keluarga.” Lanjutnya.Tumben dia agak melow. Ke mana taringnya?Aku mengalihkan pandangan dari kondisi berantakannya ruang tamu. Memaksakan diri untuk abai. Kalau semua aku yang mengerjakan, mereka malah keenakan.Beranjak ke ruang nonton, aku melihat wanita yang sedang memainkan ponsel itu. “Bagaimana Wulan? Tadi dia muntah-muntah di rumah Nata.” Aku sengaja bilang begitu untuk memberinya informasi.“Kamu itu, ya, Andini. Tahu Wulan tidak pernah masak. Malah kamu suruh dia
KETIKA MAS GAGAH TIBA 15POV Bu SumarniAku menarik Wulan dari gadis kesetanan itu. Kurang ajar Andini, berani-beraninya dia melukai buah hatiku.“Aku pastikan kalian keluar dari rumah ini tanpa harga diri sama sekali!” katanya murka.Andini sepertinya tidak bisa menguasai diri, dari pada terjadi keributan yang lebih parah dan malah aku yang kalah, kutarik Wulan untuk menjauh. Aku akan pakai cara lebih apik dari pada hanya sebatas bertengkar.Aku membawa Wulan masuk kamar. Buah hatiku itu menangis tergugu. Kasihan sekali, ikut perih aku mendengar tangisannya. Kuraba wajah itu dan kusingkap pipinya, jejak telapak membekas di sana, kulitnya bahkan terlihat berdenyut.Kurang ajar kamu Andini, akan kubalas lebih parah dari ini. Berani-beraninya dia. Aku saja tidak pernah melukai Wulan.“Sakit, Ma.”“Iya, sayang. Mama tahu pasti sakit.”Tanganku terkepal. Dendam membara. Aku tidak akan tinggal diam.Aku mengambil baskom kecil, es dan air. Anak tiri bodoh itu masih ada di ruang makan member
Menit-menit berlalu. Gadis cantikku ini mulai tidur lelap. Darahku berdesir setiap kali melihat jejak di pipinya. Aku meraba kening Wulandari. Boleh saja dia sudah dewasa, bagiku dia tetap anak-anak.Bersama malam yang semakin pekat, aku merajut kenangan.Tidak akan pernah terhapus dari ingatan kejadian belasan tahun silam. Saat itu usia Wulandari baru kelas dua SD. Aku mendapati bapaknya selingkuh dengan wanita lain. Setahun lamanya kami ada dalam debat kusir tidak bertepi. Bertengkar setiap hari.“Aku selingkuh karena sipatmu juga, Ma. Sudah bosan aku hidup bersamamu.” Darman teriak dan bersumpah serapah. Dia baru saja mengakui perselingkuhannya.“Begitu. Kamu lebih memilih jalang itu dari pada aku dan Wulan?”“Ya, aku memilih dia yang bisa menghargaiku dari pada kamu yang tidak pernah bersyukur!” Darman mengambil tas dan mengemasi pakaiannya. Wulandari yang saat itu sudah berada di bangku kelas 3 SD tentu saja paham kalau bapaknya akan pergi. Dia menjerit memeluk pinggang Darman. “
KETIKA MAS GAGAH TIBA 16POV Andini“Andini!” Suara teriakan bapak menggelegar dari depan kamar utama. Sudah pastilah bapakku menerima hasutan dari Bu Sumarni. Tidak mengapa. Aku sudah siap dengan semuanya.Setiap orang tentu ingin hidup tenang dan damai. Menjalani hari-hari dalam kerukunan. Tetapi beginilah nasib hidupku. Harus seatap dengan manusia berhati iblis.Mengalah. Sudah sejak lama. Sabar. Sudah dari dulu. Sekarang waktunya aku pasang badan untuk bertahan.Terbayang dalam benak akan seperti apa bapak marahnya malam ini. Mungkin dia akan menamparku sama seperti yang kulakukan pada Wulan. Bahkan mungkin mengusir dan membuang semua pakaianku. Wajar, mengalah saja aku masih disalahkan apa lagi jelas-jelas melawan begini.Aku berjalan menghampiri bapak dengan langkah hati-hati. Segelas kopi panas dan air putih kubawa turut serta dalam nampan.Aku bukan orang yang pandai mengendalikan diri. Selama ini hanya menjadi si gadis terpuruk yang selalu mengalah. Baru sekarang ini bisa mel
KETIKA MAS GAGAH TIBA 17Ini pagi yang berbeda. Dia yang membuat hariku cerah tidak akan menunjukkan wajah. Nata. Nama itu serupa mentari yang menyorot setiap pagi.Aku duduk di atas kasur menekuk lutut. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Sudah biasa setiap pagi bangun di jam ini. Jiwa serupa memiliki alarm, tidak bisa bablas meski sehari saja.Aku mengambil ponsel. Mengecek barang kali ada chat dari Nata. Ah, tidak ada. Sepagi ini mungkin dia belum bangun. Atau malah sudah berangkat dan kembali tidur di perjalanan. Biarlah, cukup do’a-ku yang mengiringinya.Aku bergegas menyiapkan sarapan untuk bapak. Lalu duduk di meja makan menemani bapak dengan membawa segelas susu hangat.“Jangan buat keributan lagi, Andin.” Setelah diskusi itu perkataan bapak lebih baik.“Enggak akan kalau gak ada yang memulai.”Bapak menggeleng kecil. Menatapku dengan sorot keheranan. Aneh mungkin dia, anaknya jadi semakin berbeda.“Bapak tetap tidak mau menikahkanku?”“Tergantung bagaimana sikap cal
Kendaraan Mbak Anggun terparkir cantik di depan gerbang. Hari ini dia mau mengantarkanku ke kota untuk mengubah penampilan katanya. Aku sudah memastikan pada Nata berapa uang yang boleh kugunakan. Dia bilang habis pun tidak mengapa.Bu Sumarni serupa tupai mencari makan, celingak-celinguk terus mengintip Mbak Anggun di sana. Lalu celingak-celinguk melihatku yang sedang berkemas. Kepo sekali."Mau ke mana kamu?" tanyanya ingin tahu tapi masih dengan raut angkuh."Pergi. Belanja.""Gayamu.""Iya, lah."Aku melenggang meninggalkan wanita itu. Puas sekali ya melihat orang yang setiap hari memojokkan dan menghina kita tidak berguna, sekarang hanya melongo sambil ternganga melihat perubahan hidup kita yang naik perlahan.Aku sudah berjanji dalam hati. Andai jadi orang kaya. Aku tidak akan alirkan kekayaanku pada Sumarni. Aku gak akan jadi anak yang menafkahi orang tua. Apa-apaan, selama ini aku saja cuma dapat sisa.Wulan. Kalau beli baju pasti yang bagus. Yang mahal. Beli kes dari toko. Ka
"A-Andini... kamu habis perawatan?" Wulandari terkesima."Iya, aku habis nyalon. Sudah sembuh kamu?" Aku sengaja menahan langkah. Memindai raut pucat itu.Wulandari tersenyum sebelah bibir dan membuang muka."Mau perawatan seperti apa pun kamu tidak akan bisa menyaingiku." Intonasinya pelan. Tentu saja karena ada bapak di rumah.Aku membalas senyumannya semanis mungkin. "Siapa yang mau menyaingimu?" Aku kembali mengayunkan langkah."Eh, iya. Aku ketemu sama Mas Burhan kemarin. Jaga kesehatan katanya.""Ih." Wulandari mendelik tidak suka.Aku menyimpan barang belanjaan. Mandi, lalu berbenah.Sebelum beranjak tidur, aku mengirimkan foto dan setruk transaksi belanjaan serta biaya perawatan salon pada Nata. Sebatas memberi tahu seperti ini hasil salon dengan nominal yang tak sedikit. Nata tidak membalas, sudah tidur atau sibuk, mungkin.Tidak peduli tidur selarut apa, jam tiga dini hari aku pasti terbangun untuk mempersiapkan sarapan bapak. Bapakku sering kali tidak sempat sarapan. Dia ka
"Dia anakku, Wulan. Kamu tidak boleh membunuhnya!" Kalimat Mas Burhan bisa dengan jelas kudengar.Apa? Anak Mas Burhan?Pada awalnya, aku berniat langsung menghampiri mereka, namun kalimat Mas Burhan membuatku urung. Tanpa pikir panjang, aku nemplok ke mobil yang terparkir di depan klinik. Memberi kode pada Mbak Anggun agar mobilnya segera pergi dari sini.Mobil jeep ini cukup tinggi. Sepertinya kedatanganku bisa terlindungi. Beberapa detik aku menunggu reaksi, dan benar saja. Tidak ada gelagat dari mereka yang mungkin menyadari kedatanganku.Oh, iya. Hp. Aku tidak boleh melewatkan ini. Sudah beberapa dialog terlewat memang, tapi gak masalah. Aku butuh informasi sekecil apa pun.Kuarahkan kamera pada dua orang yang sedang berdebat itu. Suaranya agak buyar sebab jarak dan deru kendaraan yang hilir mudik di jalanan."Aku tidak peduli. Hidupku akan hancur gara-gara bayi ini." Wulandari menghempaskan tangan Mas Burhan yang mencoba meraihnya. "Ini semua gara-gara kamu. Kau bodoh. Ceroboh,