“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
“Ayah selingkuh, Ma ... Ayah selingkuh!” Aku merasa bagai tertusuk sebilah pedang mendengar penuturan Laras, putriku. Bukan! Diri ini tak terkejut karena kabar yang anak gadisku katakan, melainkan merasa bingung harus bagaimana menjelaskan semua kepada Laras. Selama ini, aku sengaja menutupi keburukan Mas Ezran hanya supaya putriku tidak terluka. Kutekan segala amarah serta kesakitan yang ada di hati, demi melihat Laras baik-baik saja. Namun, apa yang kudengar? Bagaimana Laras bisa tahu masalah ini?“Apa maksudmu, Sayang. Jangan ngomong yang enggak-enggak soal Ayah, Nak!” dustaku masih mencoba membela laki-laki bergelar suami yang telah tega mengkhianati kami.“Aku melihatnya sendiri, Ma. Ayah memeluk seorang wanita sangat mesra. Apa Mama masih tidak percaya?” ujar Laras.Ia langsung meraih gawai dari balik saku baju seragamnya. Lalu, jarinya menari-nari di atas benda tersebut. Sampai, Laras memberikan ponselnya ke hadapanku.Mataku terbelalak melihat sesuatu yang tampak di layar.
Malam itu sekitar jam setengah sembilan malam, Mas Ezran pulang. Kudengar suara mobilnya masuk ke carport. Aku hanya bergeming di depan kaca rias sambil menyisir rambut.“Di mana, Laras, Ma?” tanya Mas Ezran dengan cerianya seolah telah mendapatkan kabar bahagia. Ia tidak tahu saja, kesedihan yang telah putrinya rasakan kini karena ulah ayahnya. Aku membutuhkan waktu lama untuk menenangkan Laras dan memastikan dia tidur malam ini.Aku diam seribu bahasa. Tak menjawab apa pun yang suamiku tanyakan. Mas Ezran pun menghampiri dengan tatapan heran.“Ma. Ayah dari tadi tanya di mana Laras? Biasanya dia akan menyambutku saat pulang ke rumah. Tapi, kali ini enggak. Apa dia sakit?” tanya Mas Ezran membuatku menganjurkan napas.Aku berbalik sembari menatap suamiku lamat-lamat dengan pandangan tajam menusuk.“Kamu sudah melanggar janjimu. Mas pikir, untuk apa aku selama ini hanya diam ketika kamu bilang mencintai wanita lain? Itu semua hanya untuk Laras, Mas. Aku hanya tidak mau putriku melihat
“Kami saling mencintai, Ras. Bisakah kita saling berbagi Mas Ezran?Aku menatap tajam Sinta, lalu tertawa miris di hadapannya.“Kau bilang apa? Kalian saling mencintai? Benar itu, Mas?” tanyaku beralih menatap Mas Ezran yang kini sudah pucat pasi.“Kita bicara di rumah, Ras,” Mas Ezran meraih pergelangan tanganku dan hendak membawa istrinya ini pergi. Namun, Sinta kembali menghentikan pergerakan kami.“Kenapa enggak jujur sekarang saja, Mas. Bukankah baru saja kamu bilang kalau akan segera menikahiku dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Rasti? Aku pikir ini waktu yang tepat, Mas. Rasti sudah tahu hubungan kita. Aku tidak ingin hanya menjadi simpananmu saja, Mas. Aku ingin kepastian hubungan kita,” ucap Sinta dengan entengnya. Seolah ia tidak berpikir bagaimana perasaanku kali ini.Aku memandang mereka satu persatu dengan tangan mengepal, bibir ini mulai bergetar dengan hati yang mulai berdenyut nyeri. Kutatap tajam Mas Ezran memintanya untuk menjelaskan segalanya sekarang j
Sepuluh menit kemudian, aku sampai di depan rumah Tante Ambar. Kulihat ia sedang bermain dengan cucunya yang paling kecil.“Assalamualaikum, Tante,” sapaku dan langsung disambut ramah oleh Tanteku satu ini. “Tante kangen banget sama kamu, Ras. Gimana kabar kamu dan keluarga? Sehat?” tanya Tante dan langsung dijawab olehku, begitu pun sebaliknya menanyakan keadaan Tanteku dan Mas Egi. Kulirik putra sepupuku itu yang menatap sejak diri ini datang dan langsung memangkunya. “Wah kamu sudah besar, Fi. Tante sampai pangling lihat kamu. Umurnya udah berapa tahun sih?” tanyaku dan langsung dijawab cadel oleh putra Mas Egi tersebut.“Empat aun, Mama.” Aku menatap Tante Ambar merasa heran dengan panggilan Fiandra untukku sehingga membuat diri ini terkejut.“Fiandra memang begitu, Ras. Sepertinya kangen dengan mamanya. Kamu kan tahu, sejak meninggalnya Dini setahun yang lalu dia pasti membutuhkan sosok ibu. Bagaimanapun Tante menjaganya seperti anak sendiri, tapi kan beda. Kasih sayang nenek d
“Lantas. Setelah mengetahui perselingkuhan suamimu. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Ras?” tanya Tante Ambar membuatku seketika kelu. Aku merasa bingung dan bimbang harus memutuskan seperti apa. Lanjut, atau berpisah. Namun, jikalau pisah, apa itu hal terbaik untuk kami semua terutama Laras?“Entahlah, Tan. Saat ini aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Jujur, sebagai seorang wanita, aku ingin egois dengan meminta Mas Ezran memilih. Jika, dia bersikeras dengan keputusannya menikahi wanita itu. Aku lebih memilih berpisah. Tapi, ini tidak sesederhana itu. Tante kan tahu, seberapa dekat Laras dengan ayahnya. Aku takut, hal ini akan membuat putriku terluka. Bagaimana aku harus menjelaskan kepadanya kalau kami harus berpisah. Aku tidak akan sanggup melihatnya bersedih, Tan. Enggak akan sanggup!” Tumpah sudah air mata yang sedari tadi kutahan. Bagaimanapun, seorang ibu akan lebih sensitif bila itu mengenai kebahagiaan anak-anaknya. Begitu pun aku. Diri ini tidak boleh hanya me