Aku tetap duduk tegak di kursiku, tidak bergerak sedikit pun. Ruangan restoran Maoxian kini begitu sunyi, seakan udara sendiri enggan bernapas. Dari luar, riuh jalanan sudah mereda, orang-orang mulai kembali ke rumah masing-masing. Lampion-lampion berayun ditiup angin malam, membuat bayangan temaram menari di dinding.Di hadapanku, Adipati Agung Zhou masih menimbang-nimbang. Rahangnya mengeras, matanya berkilat tajam, namun ada kegamangan yang tak bisa ia sembunyikan. Aku tahu pikirannya masih sibuk mencari celah, menimbang apa yang bisa ia gunakan untuk menekanku balik.Meski saat ini dia mulai terpojok, aku tidak boleh merasa menang terlalu awal. Ayah adalah pejabat yang cerdas dan licik, perangai ini sudah kupahami sejak kecil. Bahkan saat mata itu menatap pun, selalu terlihat penuh perhitungan dan kehati-hatian yang tinggi. Aku bersandar tipis, menyandarkan siku di meja. "Yang Mulia," ucapku datar, suara rendah yang menusuk. "Saya tidak bisa menunggu lebih lama. Waktu tidak ber
Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana tubuh Ayah menegang. Selama beberapa detik, ia tidak bergerak sama sekali, seolah-olah tubuh besarnya membatu di kursinya. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat, hanya ada rahang yang semakin mengeras. Jelas sekali, ia benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kata-kataku.Aku tidak membuang waktu. Setiap detik hening hanya akan membuatku semakin yakin bahwa aku sudah menekan titik lemahnya. Aku menahan napas. Di titik ini, tidak ada jalan mundur lagi. Semuanya tergantung keberanian dan kehati-hatianku sendiri. Aku menatap lurus dengan datar. "Saya …, memegang banyak sekali bukti perselingkuhan Yang Mulia Adipati Agung dengan penghibur rendahan itu." Suaraku rendah, terdengar menusuk di setiap katanya. Suara kayu berderak keras. BRAK! Telapak tangan Ayah menghantam meja dengan kekuatan penuh. Gelas teh di atasnya berguncang, isinya tumpah, dan kayu meja seolah ikut menjerit karena benturan itu.Jantungku meloncat ke kerongkong
Aku sengaja menyebutkan kata itu dengan lirih, seolah hanya gumaman tak berarti. Namun dampaknya langsung terlihat pada wajah pria yang duduk di hadapanku. Sorot matanya, yang biasanya dingin dan tak terbaca, kali ini berkedip sekejap sebelum kembali datar. Sungguh reaksi yang hanya bisa ditangkap oleh mata seorang anak yang sudah terbiasa membaca raut wajah ayahnya.Aku menatap wajahnya dengan mantap. Mari kita lihat jawaban seperti apa yang akan keluar dari mulutnya yang terbiasa berhati-hati itu. "Xibei…?" akhirnya dia bertanya, dengan nada yang terlalu tenang untuk dianggap wajar. "Ada apa dengan Xibei?"Aku menahan senyum. Tidak, aku malah menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak begitu mendengar pertanyaan kolot itu. Pertanyaan itu separuh bodoh separuh licik. Bodoh karena seolah-olah ia tidak tahu apa pun tentang tempat yang kusebut. Licik karena ia menganggap aku masih bocah naif yang bisa diombang-ambingkan hanya dengan kepura-puraan.Lucu sekali. Tindakannya ketik
Restoran Maoxian sudah lama terkenal dengan ruangannya yang luas, jendela kayu berukir, dan aroma rempah yang menyebar bahkan sampai ke jalan, dan nyaris selalu dipadati pelanggan. Dan aku sendiri sudah beberapa kali datang ke sini. Ayah …, memilih tempat ini, tidak mungkin tanpa alasan. Di bawah cahaya lentera yang menggantung, aku melangkah masuk ke dalam restoran itu. Ruangan yang dipesan ayahku ada di lantai dua, seorang pelayan mengantarku hingga tiba di ruangan itu. Saat tiba di ruangan yang masih kosong itu, aku cukup terkejut karena Ayah belum datang, padahal aku saja sudah terlambat beberapa menit. Aku mengangkat tangan sebelum pelayan itu pergi. Lalu memintanya menyiapkan sepiring kacang panggang untuk menemani waktu menungguku. Tiga puluh menit kemudian. Satu piring kacang panggang sudah tandas, hanya menyisakan kulit kering yang menumpuk di piring. Satu teko teh hijau juga nyaris habis, uap panasnya telah hilang. Aku menyandarkan siku di meja, jari-jari mengetuk pel
Sejenak setelah kekacauan ini, aku melupakan masalahku dengan Chuanyan kemarin lusa. Sekarang Xishui sudah melahirkan, aku yang sejak awal berencana membongkar semuanya setelah bayi itu lahir, mendadak mengurungkan rencana karena situasi di perbatasan tidak bisa diabaikan. Maksudku, setidaknya untuk saat ini, aib seorang adipati agung itu, bisa kugunakab untuk mengancam ayahku yang kolot itu. Sebenarnya, ada satu rahasia yang tak pernah berani kuungkapkan tentang kediaman adipati agung. Rahasia yang bisa membuat seluruh keluarga itu terjerumus ke dalam tuduhan pengkhianat yang besar dan tak termaafkan. Sesuatu yang kalau aku bisa menemukan satu bukti lemahnya saja, sudah bisa membalaskan dendamku dalam satu malam. Tapi sayangnya, aku tidak memiliki satu hal pun yang bisa membuktikan pengkhianatan itu sekarang. Aku memejamkan mata. Tidak di kehidupan sebelumnya, tidak juga di kehidupan saat ini. Aku tidak pernah berpikir akan mendatangi liang lahatku sendiri demi tujuanku apa pun i
Suasana dalam kereta membeku. Tatapan Ying Qi yang begitu serius membuat napasku tercekat. Jemariku mencengkeram lutut, tubuhku sedikit condong ke depan.Hal yang membuat Ying Qi sampai setegang itu, pasti bukan kabar buruk biasa. Aku menarik napas panjang."Apa kabar buruk itu?" desisku, menekankan tiap kata.Ying Qi menundukkan kepala sebentar, lalu menegakkan punggung. Sorot matanya tidak pernah goyah, tapi ada sesuatu yang berat yang bahkan bibirnya enggan mengucapkannya."Majikan," ucapnya dengan suara rendah, "Serangan Kekaisaran Han …, bukan lagi serangan biasa. Mereka mulai menyerang secara berkala, pagi menyerang, maka sore dan malam pun akan menyerang, tiga kali dalam sehari, atau bahkan lebih.""Jumlahnya memang tidak besar, tapi terus-menerus. Tujuan mereka jelas …, melemahkan garnisun yang jumlah pasukannya memang jauh lebih sedikit."Aku merasakan darahku berhenti mengalir sesaat. Suara roda kereta terdengar makin keras, seakan-akan ingin menelan kata-kata yang baru saja