Pov Nisa
“Oke. Pokoknya tolong urus semua dengan rapi ya. Saya tunggu kabar baik selanjutnya. Terima kasih.”Kutarik nafas panjang setelah mengakhiri panggilan itu, ada secuil rasa lega disini. Sekarang, aku berdiri tepat di depan rumah bercat orange minimalis. Rumah yang menyimpan banyak cerita tentang pernikahanku dengan Mas Asep, tempat dimana buah hatiku yang cantik bertumbuh.Tak terasa bulir-bulir air mata mulai berjatuhan, mengingat apa yang kini terjadi. Semua impian bahagia yang bertahun kurajut, nyatanya sudah musnah seketika karena pengkhianatan dua manusia sampah itu.Huaaa “Ais!” Tangisan keras Ais dari dalam rumah, membuatku tersadar. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun langsung masuk ke dalam rumah. Tentunya setelah menghapus sisa air mata di pipi."Ada apa ini?!” ucapku dengan keras, sontak membuat seisi rumah yang sedang berkumpul itu menoleh ke arah pintu depan. Sepertinya mereka begitu kaget, karena saat ini aku memang sudah berada di ambang pintu. Saking kagetnya, Eka dan Mas Asep hanya bisa melongo dengan posisi seperti semula."Ibu!"Beda dengan putri kecilku yang langsung menghambur ke pelukan."Sayang."Spontan aku pun langsung berjongkok dan merengkuh juga tubuh kecil nan ringkih itu.Air mata yang sejak beberapa waktu telah mengumpul di pelupuk mata, saat ini pun luruh seketika. "Ais, Sayang."Sakit sekali hati ini melihat keadaan Ais yang begitu kacau, sungguh sakit. Ternyata memang semua yang dikatakan oleh Bu Endang itu benar, tak terbantahkan lagi.Ada juga rasa bersalah dalam diri ini, karena ini juga menunjukkan kegagalanku sebagai seorang ibu. Jika aku tak berangkat ke luar negeri, tentu hal seperti ini tak akan pernah terjadi. Tetapi, kurasa memang semua ini sudah di setting oleh kedua pengkhianat itu.Tak terasa tangan ini sudah mengepal sempurna. Kemarahan begitu membuncah, hanya saja aku terus menahan diri, demi membalas kedua pengkhianat itu. 'Aku tak akan pernah membiarkan mereka lolos.'"Ais kangen Ibu."Suara Ais yang lirih, seperti membuyarkan lamunan.Segera kuhapus air mata dan menunjukkan senyuman terbaik untuk permata hatiku itu. Wajah mungil itu kuciumi sebagai bentuk rindu."Ibu juga kangen. Kangen sekali."Hati ibu mana yang tidak bersedih menyaksikan putrinya yang nampak begitu kacau. Terus kuhujani Ais dengan ciuman."Selama ibu kerja, Ais jadi anak pintar kan? Ais nggak nakal kan?" Aku kembali bertanya.Ais menggeleng lemah, tetapi senyum masih terukir di bibirnya. "Nggak Bu."Aku tahu, senyum yang disuguhkan Ais, sepertinya begitu terpaksa. Dan, aku pun kembali bertanya . "Wah pintar dong," ucapku sambil mencubit hidung Ais. "Kalau begitu, ada yang jahat nggak sama Ais?"Ais sesaat menatap pada Eka, tetapi kemudian menggeleng. Nampak sekali jika putri kecilku itu sedang tertekan. Ketika aku dan Ais sedang melepaskan rindu, dari ekor mata dapat kulihat jika Mas Asep dan Eka masih nampak tertegun. Sepertinya mereka khawatir jika sampai nanti Ais akan mengadu padaku."Cepat kesana!" Eka mencubit kecil lengan Mas Asep. Dia tentu tak ingin hal yang tak diinginkan terjadi.Mas Asep pun langsung mendekatiku. "Eh ... Dek. K-kamu kok pulangnya cepat banget?" Pria itu sebenarnya masih nampak kikuk, tapi dia sedang berusaha agar tidak gugup.Kembali aku berdiri sembari menggandeng tangan Ais. Kutatap dengan lekat, wajah pria yang pernah mengikat janji suci pernikahan denganku itu."Kenapa memangnya Mas? Apa kamu tak suka dengan kepulanganku ini?" Lagi, sebisa mungkin aku meredam emosi.Mas Asep menarik kedua sudut bibirnya."T-Tentu aku senang sekali kamu pulang cepat. Hanya saja karena terlalu mendadak, aku jadi tak bisa siap-siap Dek," kilah Mas Asep.Kuanggukan kepala, berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin. "Oh ... kirain kamu takut, karena telah menyembunyikan sesuatu dariku," ucapku sambil tersenyum tipis.Mas Asep semakin terlihat gugup, sepertinya dia sedikit tersentil. Pria berkulit coklat itu pun lebih mendekat padaku. "Menyembunyikan apa sih Dek. Ada ada saja kamu ini."Ketika Mas Asep masih mencoba menyakinkanku jika semua baik baik saja, saat itu Ais yang kugandeng masih tetap diam. Aku yakin saat ini dia juga masih begitu tertekan. Ya Tuhan, seiring waktu, tolong hapuskan trauma pada putri kecilku ini.Sesaat pandang Ais bertemu dengan Eka yang masih berdiri mematung di tempat yang tadi.Eka langsung membelalakkan mata, sebagai peringatan pada gadis kecil itu. Sontak saja hal itu langsung membuat Ais takut dan menunduk. Wanita jarang itu memang sungguh keterlaluan. "Eh ... Eka. Kenapa dia ada disini?" tanyaku pelan, seolah tak mengetahui apa pun.Eka rasanya tak sadar jika sejak tadi aku terus mengikuti gerak geriknya. Termasuk saat dia menatap tajam pada Ais.Eka yang saat itu melotot langsung menunduk dan gugup. "Eh itu ... aku ..." Wanita yang sedang hamil tua itu tak bisa meneruskan ucapannya karena kepergok.Mas Asep juga tak kalah gugupnya. Bibirnya sedikit kelu untuk berucap. Sehingga dia hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar."Kenapa Eka ada disini, Mas?" Kali ini aku bertanya pada Mas Asep yang saat ini malah sedang mengusap tengkuknya. "I-itu Dek. Eka bekerja disini!" Sebuah kalimat spontan terucap."Bekerja disini?" Aku mengernyitkan dahi meminta penjelasan.Mas Asep mengangguk beberapa kali dengan cepat. "Iya ... Dia menjadi pembantu disini Dek!"“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
"Nisa, tolonglah, ini demi Ais. Dia butuh ayahnya," suara Asep terdengar serak dan penuh kepalsuan saat dia berdiri di depan rumah Nisa. Matahari siang menyinari wajahnya yang tampak lelah, tetapi di balik ekspresi simpatinya, ada niat tersembunyi yang Nisa kenal dengan sangat baik.Nisa berdiri di ambang pintu, menatap mantan suaminya dengan tatapan yang tak lagi goyah. Sudah terlalu banyak air mata yang dia tumpahkan karena Asep, terlalu banyak kebohongan dan manipulasi yang dia terima. Kali ini, Nisa tidak akan membiarkan Asep mempengaruhi dirinya lagi, terutama ketika menyangkut Ais."Asep, aku tahu apa yang kamu coba lakukan," kata Nisa dengan suara tegas. "Jangan gunakan kesehatan Ais sebagai alasan untuk membuat aku kembali padamu. Ais baik-baik saja sekarang, dan aku nggak butuh campur tanganmu untuk merawatnya."Asep menghela napas panjang, mencoba bersikap seolah dia benar-benar peduli. "Nisa, aku ini ayahnya. Aku punya hak untuk ada di hidupnya, apalagi saat dia sedang saki
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak