Saat aku menjadi seorang TKW, suami dan Sahabatku bermain api di belakangku, mereka diam-diam menikah. Parahnya lagi, mereka berlaku jahat pada putriku. Oke tak masalah, aku akan membuat perhitungan dengan kalian. Satu lagi, mereka pasti melongo karena saat ini mantan majikanku melamarku!
View More"Sebenarnya aku begitu berat melepas kamu jadi TKW, Dek. Hanya saja ini demi masa depan kita dan Ais, anak kita. Pergilah Dek, aku janji akan selalu setia dan menjaga Ais dengan baik."
Teringat akan kalimat yang terucap beberapa tahun yang lalu itu, air mata menetes di netra ini. Dari kalimat itu aku tahu jika Mas Asep, suamiku, begitu berat melepasku, hanya saja demi masa depan, ini adalah jalan yang terbaik.Senyum terus terkembang di wajahku sejak turun dari pesawat tadi. Membayangkan bisa bercengkrama dengan keluarga yang begitu aku rindukan setelah sekitar dua tahun lebih tak bertemu.'Mas Asep juga pasti kangen sama aku,' gumamku sambil kembali mengulas senyum. Tebakanku tentu rasanya tidak akan salah, adalah hal yang sangat mungkin jika sepasang suami istri saling merindu ketika menjalin hubungan LDR. Apalagi ketika kami bertelepon, Mas Asep selalu mengatakan rasa kangennya itu padaku. Membuat rindu ini semakin berat. Jika tak ingat ingin memperbaiki ekonomi keluarga, tentu aku tak ingin berjauhan dengan suami tercinta itu."Dek, aku tiap hari hampir tak bisa memejamkan mata. Tidur tanpa kamu, rasanya begitu hampa. Tetapi demi Ais, aku tahan rindu ini."Seperti itu lah yang sering dikatakan oleh Mas Asep. Hati pecinta mana yang tak sedih? Sekarang, aku akan menumpahkan segala kerinduan itu. Aku pulang Mas."Nanti berhenti di toko depan itu sebentar ya Pak," ucapku sambil menunjuk toko Bu Endang yang tak jauh dari sini."Baik Mbak." Bersamaan dengan jawaban yang diberikan, sopir pun menepikan mobilnya di tempat yang aku pinta.Sekalian saja memang aku ingin membeli beberapa keperluan dapur disini. Toko kelontong yang letaknya tak begitu jauh dari rumahku. Sengaja memang aku tak beli di supermarket tadi, itung itung memberikan rejeki pada tetangga bukan?"Bu Endang."Teriakku sembari menengok ke dalam karena tak ada orang meski toko terbuka.Saat itu juga, Bu Endang keluar dari rumah. Mata wanita paruh baya itu nampak langsung terbelalak ke arahku. "Nisa?!" tanyanya sambil mendekat ke arahku.Kuulas senyum termanis. "Iya Bu, saya Nisa." Mungkin saja Bu Endang pangling sama aku. Karena saat ini aku memang berhijab, beda dari dulu.Berubah menjadi lebih baik, tak masalah bukan?"Kamu datang sama siapa?" tanya Bu Endang sambil menengok ke depan, kanan kiri. Tatapan matanya terlihat penuh selidik."Sendiri," jawabku cepat sambil ikut menoleh. "Saya belum pulang ke rumah Bu. Niat mau belanja di sini dulu untuk bikin surprise ke orang rumah."Bu Endang yang masih menengok ke depan, langsung menoleh padaku. Dan, dia langsung menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah, dengan sedikit kasar."Eh ... ada apa ini Bu?" tanyaku yang benar benar tak mengerti.Tanpa memberikan jawaban, Bu Endang langsung menutup pintu depan rumahnya. Ya, saat ini kami berada di ruang tamu."Ada apa sih Bu?" tanyaku sekali lagi, karena tadi tak mendapatkan jawaban."Ayo ... Kamu duduk dulu Nisa." Bukannya memberikan jawaban, Bu Endang malah menyuruh aku duduk dan beliau pun ikut duduk tepat di sampingku.Rasanya ada yang tidak beres ini, karena rasanya tak wajar Bu Endang melakukan hal seperti ini."Bu ... Saya mau belanja dan ingin segera sampai di rumah Bu." Aku kembali berucap seperti niatku tadi."Sa ... Apa kamu benar-benar tak mengatakan pada Asep jika pulang?" Lagi dan lagi, Bu Endang malah seperti mengalihkan perhatian. Ada apa sih sebenarnya?Cepat aku menggelengkan kepala. "Saya memang nggak ngomong sama Mas Asep, Bu. Pingin ngasih kejutan begitu." Wajah Bu Endang yang tadi nampak tegang, saat ini terlihat mengendur. Berganti menjadi pias. Wanita yang usianya mungkin sudah sepantaran almarhum ibu itu, menatapku sendu. Membuatku semakin penasaran saja."Selama kamu kerja, apa nggak pernah telpon ke kampung?" Bu Endang bertanya."Beberapa kali saja saya menelepon Bu. Karena memang saat di luar negeri, saya begitu sibuk." Memberikan jawaban seperti ini, ada rasa ngilu juga di hatiku. Sebenarnya aku pun memang ingin sering sering menelepon keluarga di kampung halaman. Hanya saja, waktu tak memungkinkan. Majikan yang aku rawat sudah begitu tua, dan butuh banyak perhatian. Membuat aku harus fokus.Ketika masih ada di penampungan, sebelum berangkat menjadi TKW, seminggu sekali aku menelepon Mas Asep. Tetapi ketika berangkat ke Singapura, aku bahkan makin sering sibuk. Terakhir menelepon sekitar dua bulan yang lalu, dan saat itu Ais, putri tunggalku, meminta mukena baru."Ada apa sih Bu sebenarnya?" tanyaku yang makin penasaran, karena Bu Endang masih diam dengan wajah yang makin pucat."Asep ... Asep sudah nikah lagi ..." Bu Endang mengatakan hal itu dengan terbata, sembari menautkan kesepuluh jemarinya. "A-apa Bu?" Mulutku seketika melongo, mata terbelalak saat itu. Indra pendengaran dengan jelas mendengarnya, tetapi otakku sungguh tak ingin mempercayainya. Bu Endang mengangguk dengan wajah yang nampak khawatir."Suami kamu sudah menikah lagi saat kamu di luar negeri."“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments