Aku merasa lega karena hari ini Mas Yoga diizinkan pulang. Namun terselip perasaan was-was di hatiku saat mengurus biaya rumah sakit. Aku takut bila besaran biaya rumah sakit akan melebihi jumlah yang ditanggung oleh asuransi. Itu artinya aku harus mengeluarkan uang pribadi untuk melunasinya. Padahal bulan ini saja gaji Mas Yoga makin berkurang karena dipotong oleh perusahaan. "Bu, silakan tanda tangan disini," ucap petugas rumah sakit memberitahuku. "Mbak, bagaimana dengam biayanya? Apa ada tagihan yang perlu saya bayar?" tanyaku memastikan. "Tidak ada, Bu, semua dicover oleh asuransi." Beban seratus kilo serasa terangkat dari pundakku. Aku langsung mengucap syukur di dalam hati karena yang aku khawatirkan tidak menjadi kenyataan. "Terima kasih banyak, Mbak," ucapku menyimpan nota yang diberikan. "Sama-sama, Bu. Semoga lekas sembuh." Setelah menyelesaikan urusan administrasi dan obat, aku membawa suamiku pergi dari rumah sakit dengan menggunakan taksi online. Dibantu oleh pera
Ibu pun memegang bahu Mas Yoga lalu menurunkan nada bicaranya menjadi lebih lembut. "Bagus kalau kamu menyadari kesalahanmu. Ibu akan memberimu kesempatan." Hati Ibu yang semula mengeras mulai mencair karena rasa iba. Permohonan tulus dari Mas Yoga membuat Ibu membukakan pintu maaf untuknya. Dan melihat semua pemandangan ini membuatku sangat terharu. "Ibu akan memberimu kesempatan untuk berubah. Tolong jangan mengkhianati kepercayaanku kepadamu dan jangan membuat kami kecewa." "Iya, Bu, aku berjanji tidak akan lagi mengecewakan Ibu, istri dan anakku. Aku akan berusaha menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab." Mas Yoga lantas bangun dari posisinya yang sedari tadi bersimpuh di kaki ibuku. Aku membantunya untuk duduk di sofa dan menggenggam tangannya. "Mas istirahat ya, aku akan masak. Mas ingin makan apa?" tanyaku sambil membenahi bantal di kepala Mas Yoga. "Apa saja, Rista. Semua masakanmu enak." Aku tersenyum karena mendengar pujian dari suamiku. Mungkin ini adalah langk
Tiga hari berlalu, kesehatan Mas Yoga tampak semakin membaik. Ibu juga memberi kabar bahwa cateringnya mendapat pujian dari para tamu di resepsi pernikahan. Selain itu, aku juga menerima kejutan lain yang membuatku bersemangat. Aku mendapatkan lima buah pesanan baju secara bersamaan dari pembeli. Sungguh tak disangka aku bisa mendapatkan rezeki dadakan ini. Memang jumlah pesanan yang kuperoleh masih kecil bila dibandingkan toko lain. Namun bagiku sudah lebih dari cukup sebagai permulaan. Siapa tahu setelah ini tokoku akan memiliki lebih banyak pelanggan."Mas, sudah minum obatnya?" tanyaku berjalan dari arah dapur. Aku baru saja selesai memasak makanan sederhana, telur orak-arik dan sayur bayam untuk suami dan anakku. Pasalnya aku harus menghemat pengeluaran supaya uang belanjaku cukup sampai akhir bulan."Oh ya, aku lupa. Tolong ambilkan, Rista," pinta Mas Yoga sembari menyusun mobil-mobilan milik Zidan. Dari hari ke hari, kulihat Mas Yoga berusaha menepati janjinya untuk memperhatik
Aku duduk di dapur seraya meneguk segelas air dingin. Aku tidak akan meminta bantuan dari Mas Yoga karena itu sia-sia saja. Kali ini aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk mencari solusi atas permasalahanku.Dalam kegundahanku, tiba-tiba aku teringat Bu Siti. Ya dia adalah tetangga yang paling akrab denganku. Dia dan anaknya, Arif, sudah seringkali menolongku selama ini. Dengan kepribadiannya yang ramah dan baik hati, aku rasa Bu Siti adalah orang yang paling tepat untuk menjaga Zidan.Wajahku yang semula muram berubah ceria kembali. Aku pun lantas melangkah pergi, melewati Mas Yoga yang tengah berbicara dengan seseorang melalui ponselnya."Mas, aku ke rumah Bu Siti," pamitku seraya mengangkat Zidan dari sofa.Mas Yoga hanya mengangguk dan melanjutkan percakapannya di telpon. Entah dia mendengarkan perkataanku atau tidak.Aku pun pergi menemui Bu Siti di rumahnya. Kebetulan sekali ia sedang menyapu di halaman rumah sehingga langsung mengetahui kedatanganku."Arista, Zidan, ayo
Arif sangat memahami seluk beluk jalanan ibu kota sehingga bisa menemukan lokasi PT. Sejahtera dalam waktu relatif cepat. Setelah tiba di depan kantor, aku pun melepaskan helm yang kukenakan dan menyerahkannya kepada Arif."Terima kasih banyak sudah mengantarku sampai ke kantor ini, Rif."Arif tersenyum senang. "Sama-sama, Mbak. Mau saya tungguin sampai selesai?""Kamu pulang saja, Rif. Aku belum tahu wawancaranya selesai jam berapa.""Oke, Mbak, semoga sukses," ucap Arif sebelum pergi.Sepeninggalnya, aku pun berjalan menemui security yang berjaga di depan gerbang."Selamat pagi, ada keperluan apa, Ibu?" tanya security itu lebih dulu menyapaku.Aku tersenyum ramah kepadanya dan mengatakan alasanku datang ke kantor ini."Pagi, Pak, saya mendapatkan panggilan wawancara kerja dari Bu Fitri, HRD. Nama saya Arista.""Janji temunya jam berapa, Bu?""Jam sepuluh, Pak.""Baik, Bu, tunggu sebentar."Security itu masuk ke posnya lalu menelpon sebentar. Setelahnya dia kembali menemuiku."Boleh
Aku menyilangkan kaki di bawah kursi sambil mengerjakan soal. Menurut artikel yang pernah aku baca menyilangkan anggota tubuh bisa mengurangi rasa gugup. Konon katanya tindakan ini membuat otak kiri dan otak kanan kita akan lebih seimbang. Karena itu, aku mencoba untuk mempraktekkannya. Sebenarnya bukan kali pertama bagiku untuk mengerjakan psikotest, namun karena sudah lama tidak melakukannya aku butuh waktu untuk mengasah kemampuanku. Sekitar empat puluh lima menit berlalu, akhirnya aku menyelesaikan seluruh soal. Hatiku terasa begitu lega. Entah jawabanku benar atau salah, yang terpenting aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Kini tinggal menghadapi wawancara yang akan dilakukan oleh Bu Fitri. Aku memasukkan alat tulis yang kubawa dari rumah kemudian duduk diam menunggu giliran. Satu per satu orang yang ada di ruangan dipanggil oleh Bu Fitri hingga menyisakan aku seorang diri. Menit demi menit berlalu, aku semakin gelisah. Suhu tubuhku terasa panas dingin secara bers
Sepulang dari PT. Sejahtera, perasaanku terasa lebih ringan. Diterima atau tidak semua kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa karena aku percaya rezeki dan jodoh sudah ditentukan sejak awal. Begitu turun dari ojek online, aku bergegas memanggil Bu Siti. Dari pagar terlihat Bu Siti sedang menjaga Zidan yang bermain lego di ruang tamunya."Bu Siti, Zidan!!" panggilku dengan suara cukup kencang supaya terdengar dari dalam.Bu Siti buru-buru keluar dengan menggendong anakku. Wajah Zidan yang semula bingung berubah menjadi ceria saat melihatku."Bunda sudah pulang, Zidan," ujarku mengambil Zidan dari tangan Bu Siti.Bu Siti tersenyum melihat Zidan menempelkan kepalanya dengan manja di bahuku."Baru ditinggal sebentar Zidan sudah kangen. Bagaimana wawancara kerjanya, Arista? Apa kamu diterima?" tanya Bu Siti ingin tahu."Belum tahu, Bu, saya masih menunggu pengumuman. Terima kasih banyak, Bu, sudah menjaga Zidan.""Iya, Ibu doakan kamu diterima bekerja. Kalau sekedar menjaga Zidan Ibu tidak keb
Selesai membuat sarapan pagi, aku tergerak untuk masuk kedalam kamar. Suamiku masih tertidur pulas di ranjang padahal sudah hampir pukul tujuh pagi. Nampaknya Mas Yoga terlalu lelah akibat beban pikiran yang ditanggungnya semalam.Aku pun mengguncang pelan tubuh suamiku seraya memanggil namanya."Mas Yoga, bangun, Mas. Nanti telat masuk kantor," ucapku menggoyang pelan tubuhnya. Mas Yoga tak kunjung merespon panggilanku. Dengkuran halus yang keluar dari bibirnya menandakan bahwa ia tidur dengan sangat pulas.Tak ingin menyerah, aku terus saja mengguncang tubuh suamiku. Berusaha membuatnya terbangun supaya tidak terlambat masuk kantor."Bangun, Mas, kalau telat nanti dapat surat teguran," bisikku di telinganya. Dan cara terakhirku ini ternyata sukses membuahkan hasil. Perlahan Mas Yoga bergerak. Matanya masih menyipit dengan raut yang lesu saat menatap kedua bola mataku."Kenapa berisik sekali? Aku masih ngantuk," protesnya seraya duduk menyandar di ranjang."Ini sudah hampir jam tujuh