Sosok lelaki yang kubenci kini berada di depanku. Kedua matanya terlihat jelas dipenuhi rasa sesal, hanya saja aku sudah tidak peduli. Sorot matanya seakan ingin aku kembali padanya."Ada apa, Mas? Kenapa kamu kemari?" Dia bahkan masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat akad nikah. Sungguh sangat memalukan, baru tadi mengikrarkan talak, sekarang"A-aku, aku--"Sudahlah, Mas. Balik saja ke rumahmu. Bukannya hari ini hari kebahagiaan kalian semua! Aku ucapkan semoga kalian berbahagia!" "Arin. Aku ingin kamu tetap bersamaku lagi!" Aku terbelalak mendengar ucapannya. Sudah cukup banyak luka yang dia torehkan padaku dan sekarang bicara seperti itu? Sungguh memalukan sekali."Ingin aku jadi babu gratisan untuk keluargamu, Mas?" Dia diam seketika. Mungkin baru menyadari jika aku selama ini tidak lain dan tidak lebih dari seorang pembantu."Angga! Ngapain kamu kemari?" Ternyata Ibunya ikutan datang juga. Sorot matanya terlihat sama sekali tidak suka padaku."Aku ingin bicara dengan Arin
Anga terpaksa kembali ke rumah ibunya. Disana, Widya sedang asik bercengkerama bersama Stella. Stella merasa dirinya sangat pantas bisa sederajat dengan keluarga Widya."Widya! Mama mau kalian tinggal di rumah saja. Ajak saja suamimu tinggal di rumah kita!" Stella terkejut dengan sikap mertua Angga. "Tidak bisa dong, Tante. Istri itu wajib ikut suami. Nantinya si istri harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menuruti semua permintaan suaminya!" Stella dengan percaya diri mengucapkan sesuatu yang paling dibenci orang tua Widya."Sekali lagi kamu mengucapkan seperti itu, akan kurobek mulutmu, Bocah. Orang miskin aja belagu! Cocoknya si Angga itu jadi pembantu di rumahku. Gaji segitu mana cukup untuk memenuhi kebutuhan Widya. Widya aja gajinya sepuluh kali lipat dari Angga!" Stella terperangah. Ditambah lagi sekarang memiliki saingan.Widya memang dari kalangan orang berada. Widya adalah manager sekaligus membanti orang tuanya melanjutkan usahanya. Namun sangat disayangkan karena Wi
Kini kami saling berhadapan. Dan sama-sama terbawa rasa senang setelah lama tidak bertemu dengannya. Entah, sekarang masih seperti Mas Aldi yang dulu atau tidak."Arin, bagaimana kabarmu?" Dia memperhatikanku dari atas ke bawah."Alhamdulillah, Mas. Mas Aldi bagaimana kabarnya?" Senyumnya selalu membuat siapaphn akan tergoda. Semoga aku tidak tergoda lagi dengan senyum andalannya ini."Kamu belanja buat apa, Arin? Banyak bener."Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Mas Aldi. Aku sudah membawa belanjaan yang cukup banyak termasuk beberapa makanan ringan yang nantinya bisa kujual sebagai pendamping martabak telurku."Belanjaan buat jualan besok, Mas. Semenjak kena PHK aku bosan menganggur, apalagi aku tidak punya pemasukan pribadi. Akhirnya aku putuskan untuk berjualan di depan sekolahan, Mas. Lumayan bisa buat jajan Arin sendiri!" Aku terkekeh sendiri bercerita keseharianku di depannya."Begitu ya, bagaimana kabar suamimu?" Sedikit nyeri saat dia bertanya tentang Mas Angga. "Kita suda
Mata begitu sembab karena kurangnya tidur semalam. Berkali-kali aku menghubungi Rizky namun tidak diresponnya sama sekali. Pagi ini aku sudah mulai berjualan. Hari ini sudah bersiap menyambut rejeki untuk masa depanku.Seperti biasa, aku datang lebih lagi dari anak-anak yang datang. Supaya nanti bisa bersiap menyambut mereka yang ingin jajan dulu sebelum masuk kelas. Tidak lupa aku membentangkan tikar yang nantinya bisa digunakan Ibu-ibu muda yang mengantar anaknya sekolah. Aku juga mulai meracik bahan-bahan martabak telur supaya bisa lebih cepat saat ada yang beli."Tante Arin, martabak dong!" Salah satu pelangga setiaku. Anak kecil berusia sepuluh tahun yang tidak pernah melewatkan martabak telur. Terkadang dia gunakan sebagai teman nasi katika waktunya istirahat. "Siap, Sayang!" Aku tinggal menggoreng bahan yang sudah aku racik. Hanya beberapa menit saja martabak telur pun sudah matang sempurna."Wah, Mbak Arin sudah gelar lapak lagi. Mbak, mau dua dong! Kebetulan belum sarapan d
"Mbak tidak mengirim apapun padamu seperti yang kamu ucapkan tadi, apalagi menyuruh Rizky!" Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Lalu kenapa Rizky mengirimkan bakso untukku meski aku sendiri sedang marah dan kesal dengannya."Oh, ya sudah, Mbak. Aku balik dulu ya?" Aku gegas memacu motor butut yang aku punya ke kediamanku. Rumah kecil nan nyaman. Aku lagi-lagi melihat sebuah kantung plastik tergantung di gagang pintu rumahku. Entah kenapa aku begitu malu. Ingin sekali hari ini aku bertemu Rizky dan mengucapkan minta maaf padanya. Aku membawa masuk semua perlengkapan jualanku dan juga makanan yang tergantung di gagang pintu.JANGAN TELAT MAKAN, BESOK AKU SUDAH KEMBALI KE KOTA. TIDAK BISA LAGI MEMPERHATIKAN JADWAL MAKANMU LAGIAku membaca pesan yang tertulis di dalam kantung plastik bersama makanan yang dikirimkannya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa sakit seperti ini. Semalam aku kesal padanya, namun saat dia berpamitan pergi begini, aku mendadak sakit.TesAir mata menetes begitu
Sudah satu bulan ini aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Meski masih ada beberapa orang yang tetap memberi perhatian padaku. Aku jalani hari-hari penuh rasa syukur.Tok tok tokKebetulan hari ini hari libur jadi aku juga libur buka lapak di depan sekolah. Aku berkutat dengan memasak makanan di pagi hari. Pekerjaan yang jarang aku lakukan karena setiap pagi sudah harus gelar lapak."Ibu, Bapak" Aku terkejut melihat dua orang tuaku pagi ini. Entah siapa yang yang memberi tahu alamat rumah ini kepada mereka."Arin, Ibu rindu sekali!" Ibuku memelukku begitu erat."Mari masuk dulu, Pak!" mbak Mira mempersilahkan Bapak masuk saat aku berpelukan dengan Ibu. Kemungkinan Mbak Mira yang mengantarkan kedua orang tuaku.Mbak Mira juga membuat teh hangat untuk kedua orang tuaku. Benar-benar seorang yang sangat baik meski tidak ada hubungan darah di antara kami."Mbak Mira. Maaf jika Arin merepotkan!" Aku duduk di samping ibuku dan ayahku. Sorot kedua mata Ayah terlihat sangat berbeda hari ini.
Aku mengabaikan pesan Mas angga. Bukan karena alasan, tetapi karena kami sudah tidak ada hubungan apapun. Aku khawatir akan menjadi sebuah fitnah nantinya jika aku tidak mengabaikan pesan dari mantan suamiku. Aku juga tidak ingin lagi memiliki hubungan apapun dengan Mas Angga beserta keluarganya. Aku duduk berselonjor di ranjang sesekali memijid betisku yang lelah. Kaki yang selalu kuat membawaku berjuang seorang diri. Kaki yang tidak pernah lelah melangkah di saat aku harus mencari nafkah untukku sendiri.Drrt drrtKini pesan Mas Angga yang kuabaikan beralih ke sebuah panggilan. Aku malas sekali menerima panggilannya. Apalagi dia telah menyakitiku sebelumnya. Meski sudah satu bulan lamanya tidak bertemu, namun luka yang dia torehkan tidak langsung sembuh begitu saja. Sepertinya butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkan luka ini. Luka atas perlakuan abai padaku selama menikah dan berakhir penghianatan.Tok tok tokAku terkejut mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku."Nak, a
Sudah tiga bulan aku tinggal di kampung asalku. Selama kurang lebih dua bulan, toko yang dibangun juga sudah selesai. Mungkin terlalu lama, karena seringkali tukang minta jatah libur atau terlambatnya pengiriman bahan bangunan. Hari ini juga Bang Akhwan mulai mengirim beraneka jenis pupuk, mulai organik sampai buatan pabrik serta aneka bibit dan segala pestisida dari beberapa merk. Sengaja Bang Akhwan mengirim beberapa merk yang berbeda sesuai harga. Tentu saja harga yang ramah di kantong masyarakat. Aku melihat satu truk pengantar pupuk. Bapak dan Ibu antusias sekali menyambut kedatangan truk yang membawa barang-barang untuk mengisi toko baru kami. "Alhamdulillah, Rin. Abangmu sudah memenuhi semua kebutuhan toko kamu!""Bu, ini bukan toko Arin saja. Tapi ini toko kita semua!" Aku tidak bisa mengakui sesuatu kalau bukan dari hasil keringatku sendiri. Aku tetap menganggap toko ini usaha keluarga. Toh, nanti jika Bang Akhwan pulang kampung, Bang Akhwan masih bisa menjalankan usaha yang