"Memalukan, bongkar semua ini, Arin!" Aku terkejut ketika Ibu mertuaku datang dan melempar semua bahan yang akan kujadikan martabak telur. Kedua mataku memanas ditambah rasa kesal karena ulah mertuaku."Kita mau makan apa jika aku tidak membantu berjualan, Bu? Mas Angga tidak pernah mencukupi kebutuhanku!" Ibu mertua melihat sekelilingnya, memastikan tidak ada yang memperhatikan kami."Alah, sudah seminggu kamu menjadi bahan gunjingan tetangga dan membuatku malu! Lebih baik di rumah seperti biasa dan kerjakan semua pekerjaan rumah!"Aku, Arin. Aku adalah menantu dari keluarga cukup terpandang. Aku sengaja membuat usaha sendiri dengan berjualan martabak telur di depan sekolahan. Semua kulakukan karena kebutuhan semakin mencekik, sedangkan suamiku Mas Angga, lebih suka memberikan setengah dari uang bulanan kepada Ibu Mertuaku. Sedangkan, aku hanya mendapat uang sisa bahkan terkesan ala kadarnya. Mas Angga bekerja di salah satu pabrik menjadi supervisor dengan gaji di atas enam juta. Nam
Aku terduduk di lantai meratapi nasibku yang kurang beruntung. Bayang-bayang menikmati indahnya pernikahan yang dulu pernah kuimpikan ternyata tidak sesuai hasil."Sekali lagi mau mencoba pergi, aku patahkan kakimu!" Mas Angga pergi meninggalkanku begitu saja terisak di kamar. Samar-samar aku mulai mendengar Ibu mertuaku dan Iparku mengoceh tidak jelas. Mengoceh karena tidak berhasil mengusirku dan membuat Mas Angga menceraikanku.Deru motor semakin menjauh, itu tandanya Mas Angga benar-benar pergi kembali ke tempat kerja. Mungkin karena aduan dari Ibu mertuaku membuat Mas Angga menyempatkan pulang sejenak. Memang jarak tempatnya bekerja tidak jauh dari rumah, hanya sekitar dua puluh menit menggunakan motor sudah sampai di lokasi pabrik."Nangis mulu, masih beruntung si Angga mempertahankanmu. Dan asal kamu tahu, kamu disini tak lebih dari seorang pembantu!" Ibu mertua dan Iparku cekikikan setelah menghinaku."Arin. Mulailah bekerja membersihkan semua pekerjaan rumah tangga!" Begitul
Aku mendengar suara gemuruh seperti orang sedang marah-marah di ruang tamu. Aku bisa pastikan jika itu adalah suara Ibu mertua dan Stella."Assalamu alaikum," aku mengucap salam namun bukan jawaban yang kudapat. Malah tatapan tidak menyenangkan yang mereka tunjukkan padaku."Mana makanan kami, Arin?" Aku mengernyitkan kedua alisku mendengar pertanyaan mereka semua. Ku kira mereka semua agak amnesia termasuk suamiku sendiri."Makanan apa, Bu? Aku tidak memiliki uang sama sekali. Bahkan uang simpananku juga sudah kalian ambil!" Kulihat Stella dan Ibu mertua menatap nyalang padaku. Seakan tidak suka dengan jawabanku."Kamu tadi makan bakso, pasti kamu punya uang!" Andai aku memiliki keberanian untuk melakukan kekerasan, pasti lelaki yang bergelar suamiku ini kutendang tepat di kepalanya. Biar tidak oleng secara permanen."Iya. Bakso belas kasihan ayah mertua." Aku berlalu begitu saja menjawab pertanyaan mereka. Bisa-bisa gila jika lama-lama bertahan dalam keluarga ini. Aku ke kamar dan
Memastikan mereka sudah pergi, aku segera ke warung Mbak Mira untuk berbelanja bahan pesanan martabak telur. Benar-benar kumanfaatkan uang pemberian ayah mertua untukku."Mbak, bahan martabak telur seperti biasanya ya?" "Siap, Rin. Jualan lagi?" Tanya Mbak Mira sambil menyiapkan pesananku."Ada pesanan, Mbak. Alhamdulillah masih ada rejeki untukku!" "Alhamdulillah, Rin. Kamu hebat bisa bertahan di keluarga super aneh. Bapak mertua kamu aja nggak tahan, kamu masih bertahan!" Aku tersenyum mendengar ucapan Mbak Mira. Siapapun pasti menyayangkan dengan sikapku yang tetap bertahan."Bagaimana lagi, Mbak. Kita lihat kedepannya saja, jika masih sanggup ya aku lanjutkan. Tapi, jika suatu saat nanti aku sudah lelah, maka aku akan mundur!" Mbak Mira tersenyum dengan rencanaku. Memang begitulah rencanaku. Aku hatus menabung demi masa depanku, setidaknya aku bisa lebih sukses setelah melepaskan ikatan pernikahan yang cukup menyakitkan ini.Usai mengemas pesananku aku segera pulang dan meracik
[Rin, Stella digrebek satpol PP] [Yang bener, Mbak?] Balasku kepada Mbak Mira.[Nih, orang-orang banyak menjadi saksi saat Stella digrebek bersama seorang lelaki seusia Ayah mertuamu] Aku terkejut dengan sebuah pesan yang dikirimkan oleh Mbak Mira. Semakin tidak percaya dengan kabar dari Mbak Mira. Tidak percaya itupun salah, percaya juga aku tidak tahu kejadiannya. Entah, sekarang aku jadi bingung karena situasi sedang gawat dan aku sendiri sedang bersandiwara. Terpaksa aku mulai bangun dari tidurku alias selesai bersandiwara. Aku membuka pintu kamarku pelan-pelan untuk menemui Ibu mertuaku."Kamu sudah sadar, Rin?" Mas Angga menatapku berjalan sambil memegang kepala bagian belakang. Tadinya nyeri, namun sekarang sudah tidak lagi. Tetap berusaha pura-pura sakit di depan mereka."Mas, Stella kena grebek satpol PP.""Apa?" Ibu mertua histeris mendengar anak tersayangnya digrebek. Pastinya nanti akan menjadi berita utama Ibu-Ibu komplek."Dari mana kamu tahu?" Mas Angga menatapku curi
Semakin malam semakin ramai pesan di grub PKK. Kebetulan hanya aku yang masuk grub dari keluargaku. Sedangkan Ibu, beliau tidak pernah mau bergaul dengan warga. Padahal aslinya juga berada dari komplek sebelah lokasinya juga tidak jauh. Tidak sedikit yang menghujat Stella dan juga Ibu mertua."Ponselmu matikan saja, berisik tau!" Aku mematikan ponselku dan tidur memunggungi Mas Angga.Ting[Rin, tolong buatkan kue putu ayu 50 biji dan donat meses 50 biji dan jangan lupa martabak telor andalan juga 50 biji, bisa? Untuk acara pengajian di rumah besok lusa!" Aku mengintip satu pesan dari nomor seseorang. Ternyata Pak Parno penjual cilok memesan kue basah padaku. Alhamdulillah, kue basah yang mudah untuk membuatnya.[Baik, Pak!] Bersyukur sekali masih dilimpahkan rejeki lagi hari ini. [Uang muka Bapak titipkan ke Mbak Mira besok]Dewi fortuna masih berpihak padaku. Meski tidak berjualan martabak telur, tetapi aku masih bisa membuatnya di rumah sesuai pesanan. Apalagi kue lain yang tentu
Sepulang dari warung, aku dikejutkan dengan seorang berbadan tegap ditambah seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Wanita berpenampilan layaknya seorang bos. Rambut disanggul ke atas mirip ibu pejabat."Permisi, kenapa Ibu dan Bapak berdiri di depan pintu?""Enggak ada yang bukain!" Begitulah jawaban lelaki berdiri tegap tersebut dengan nada sinis."Panggil Marni keluar, dia harus membayar hutangnya! Kalau menghindar lagi, akan kusita rumah ini!" Aku terkejut sekali, itu tandanya Ibu mertua berhutang dalam jumlah besar karena Ibu-ibu ini berani menyita rumah."Baik, akan saya sampaikan!" Aku gegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Ibu mertua. Aku terkejut melihat Ibu mertua sedang bersembunyi di balik lemari pakaian."Bu, ada tamu. Katanya kalau nggak dibayar bisa disita rumah ini!" Ucapku sambil berlalu meninggalkannya yang sedang panik. Brak brak brak"Marni, cepat keluar atau kutendang kamu dari rumah ini!"Suara pintu diketuk, lebih tepatnya digedor dengan keras. A
Aku merasa ayah sangat kecewa dengan Stella dan istrinya. Sangat kentara ketika menghubungiku barusan. Ayah mana yang rela anak gadisnya belum lulus sekolah sudah berpacaran dengan pria seusia dengannya. "Kasihan ayah," aku menggeleng pelan, menyayangkan sikap Stella dan Ibu mertua.Menjelang sore tidak kulihat Stella dan Ibu mertua di ruang tamu atau ruang keluarga. Padahal, biasanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi jika sedang tidak keluar.Pekerjaanku membuat asinan akhirnya selesai menjelang jam pulang Mas Angga. Sengaja membuatnya lebih dulu karena besok aku harus menyiapkan pesanan Pak Parno. Selanjutnya aku memasukkan ke dalam lemari es untuk diantar besok. Usia menyelesaikan semuanya, gegas aku membersihkan diri dan membuat mie instan untukku.Mie instan hanya dengan campuran sawi yang kutanam di dalam pot. Sederhana namun sudah sangat mengenyangkan untukku."Kamu makan sendiri, Rin?" Aku terkejut melihat Ibu mertua melihatku m