Share

Pindah

Hampir satu jam pak Vino menenggelamkan dirinya dikesunyian malam. Ia tampak stres menghadapi bu Gea yang sengaja memberikannya tekanan kerja yang cukup berat. Sudah tidak tahan menahan kantuk yang menyerang, Vino memutuskan untuk pulang. Kakinya tampak tergesa-gesa menuju kearah mobil. Sesampainya didalam mobil, ia dikagetkan dengan boneka beruang yang masih ada dikursi belakang mobilnya. Segera ia menariknya dan meletakkan boneka yang malang itu kedepan kursi lalu memasangkannya sabuk pengaman. Sepertinya dia mulai tidak waras saat ini.

"Paling tidak saya ngak sendirian," ucap Vino sembari menjalankan mobilnya menuju kos-kosan Rara. Ia ingin mengembalikan boneka yang tak sengaja ia bawa tadi pagi. 

Konsentrasi Vino buyar ketika ponselnya berdering. Terlihat nama kontak 'Monik' yang tertera dilayar ponselnya. Tak mau mengambil resiko ditengah jalan, ia menepi kepinggir jalan dan mengangkat telfon dari Monik.

Monik adalah kekasih Vino yang berprofesi sebagai dokter kejiwaan. Ia bekerja disalah satu rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta. Akhir-akhir ini Vino tampak mengabaikan kekasihnya, hal itu dikarenakan banyaknya masalah pekerjaan yang harus ia tangani. Belum lagi masalah ia menginap di kos-kosan bawahannya sendiri. Hal itu menurunkan harga dirinya sebagai seorang manager. Sampai saat ini yang menghantui dirinya.

"Halo sayang, kamu lagi dimana?" Tanya monik dengan suara yang super merdu. 

"Ehm, maaf sayang, aku lagi dijalan. Ada apa sayang?"

"Kok tanya ada apa? Ya kangen aja. Emang kamu ngak kangen ya sama aku?" Wajah monik cemberut. Ia memakai sepatunya dan segera berangkat ke rumah sakit. Sepertinya ia dapat panggilan mendadak dari rumah sakit.

Vino membalas pertanyaan Monik dengan tertawa kecil," ya pasti kangen lah"

"Tapi kenapa jawabnya begitu?" Suara mobil monik bercampur dengan suaranya.

"Kamu lagi dimana?"

"Dimobil sayang. Aku mau kerumah sakit. Ada panggilan mendadak"

"Oh, oke, aku lanjut ke rumah dulu ya! Nanti kalau sudah sampai di apartemen pasti aku hubungi, hati-hati di jalan sayang"

"ih, tunggu dulu," suara Monik terdengar manja.

"Apa lagi sayang..?" Suara Vino tampak capek dan enggan berbicara berlama-lama.

"Kissnya belum," Monik tersenyum malu.

"Emuach, i love you" 

Monik tersenyum lebar. Semangat hidupnya semakin bertambah setelah mendengar kata cinta dari Vino.

"I love you too sayang" 

Mereka melanjutkan perjalanannya masing-masing. Vino langsung menambah kecepatan mobilnya agar cepat sampai ke rumah Rara. Tiba-tiba saja ia dikagetkan dengan barang-barang Rara yang telah tersusun rapi di koper. Wajah Rara tampak lesuh dan beberapa tetesan air mata mendarat di pipinya yang mulus. Malam ini Rara di usir oleh ibu kos karena ia lupa mematikan kompor tadi pagi, hal itu membuat dapur dipenuhi asap. Untung saja ibu kos langsung sigap mendobrak pintu kosnya dan segera mematikan kompor milik Rara. Jika tidak, urusannya akan jauh lebih parah.

"Ini uang kos kamu. Saya lebih baik mengembalikan uang kamu daripada kos-kosan saya terbakar," ucap ibu kos sambil menutup pintu kosnya dengan gembok. 

Vino tampak heran dan langsung mencoba menenangkan hati ibu kos yang tampaknya mulai memanas.

"Maaf Bu, kenapa teman saya diusir. Apa uang kosnya belum dibayar? Saya akan bayar sekarang" 

Ibu kos makin meradang. "Gara-gara dia lupa mematikan kompor, kos saya hampir terbakar!"

Seketika Vino merasa bersalah. Ia langsung mengingat kejadian tadi pagi yang mendesak Rara cepat ke kantor. Padahal Rara belum sempat mematikan kompornya terlebih dulu.

"Sial!" Ucap Vino dalam hati. Ia pun memutar otaknya untuk mencari kos-kosan ataupun hotel saat ini.

"Masukin semua barang kamu ke mobil saya," perintah pak Vino kepada Rara. Namun ia hanya bisa terdiam sambil meneteskan air mata. Melihat hal itu pak Vino langsung mengangkat koper milik Rara dan menarik pergelangan tangan Rara ke arah mobilnya.

"Tangisanmu tak menyelesaikan masalah. Cepat masuk," teriak pak Ivan dari dalam mobil. Dengan berat hati Rara masuk ke mobil pak Vino. Ia tampak bingung melihat boneka beruangnya dengan posisi duduk tegak lengkap dengan sabuk pengaman. Sungguh pemandangan yang sangat menggelitik. Melihat hal itu Vino langsung membuka sabuk pengaman dan melemparkan boneka itu kebelakang. Ia merasa malu namun menyembunyikannya.

Rara ingin tertawa, tampaknya rasa sedihnya jauh lebih dalam dibandingkan boneka beruang yang sengaja Vino letakkan dimobilnya.

Ia mulai berperang dengan pikirannya yang mulai kacau. Ia tidak tau harus tinggal dimana malam ini. Ia berharap mendapat harga kos yang jauh lebih murah. Maklum saja, gajinya hanya cukup untuk makan, bayar kos, dan harus mengirim uang kepada orang tuanya yang berada dikampung. 

"Kamu mau tinggal dimana?" Tanya Vino sambil mengendarai mobilnya. 

"Saya tidak tau pak"

"Tolong jangan buat stres malam ini"

"Tapi saya beneran tidak tau mau kemana pak," suara Rara mulai bergetar. Tangisannya seketika pecah. Tidak tahan mendengar tangisan Rara, Vino menepi kepinggir jalan dan berusaha mencari solusi. Kalau bukan karena Vino nginap semalam di kos Rara, hal ini mungkin tidak akan terjadi. 

Disamping itu akhirnya Vino memutuskan untuk membawa Rara ke apartement yang belum pernah ia tempati.

"Kita mau kemana pak?" Wajah Rara mulai lesuh. 

"Kamu sewa apertement yang kosong didekat saya. Nanti saya akan bantu membayarnya"

Mendengar hal itu membuat Rara semakin berfikir dan menolak tawaran managernya itu."Saya ngak mampu membayarnya pak"

Pusing dengan semua hal yang terjadi seharian ini, pak Vino memutuskan membawa Rara ke apartement miliknya.  

Apartement yang ditempati oleh Vino memiliki kamar dua pintu. Rara hanya menatap kosong sebelum akhirnya menerima tawaran pak Vino. Dengan langkah yang kurang yakin Rara masuk ke apertement Vino. Bukan malah senang, tetapi ia berfikir negatif tentang Vino yang tampaknya baik saat ini.

"Saya harus bayar berapa untuk menginap ditempat bapak?"

"Tidak perlu bayar. Saya kasih waktu selama dua minggu untuk mencari tempat kos yang kamu inginkan. Dan satu lagi, jangan sampai ada yang tau kalau kamu tinggal diapertemen saya. Paham?"

Rara mengangguk pelan. 

Ruang tamu terlihat rapi, beberapa vas bunga sengaja diletakkan Vino disetiap sudut rumahnya. Lelaki perfeksionis ini tak menyukai tempat yang kotor. Ia memberikan beberapa peraturan kepada Rara agar tetap memperhatikan kebersihan, termasuk kamar mandi.

"Ini kamar kamu untuk sementara selama berada disini,"  Vino membuka kamar Rara dan kembali keruang tamu. Sementara Rara masih tetap berdiri didepan pintu kamarnya.

"Bapak tinggal sendiri disini?"

"Ya"

"Oh..., berapa lama pak?"

"Sudah dua tahun," jawabnya malas

Rara melangkah mendekat kearah Vino sambil menggeret kopernya. Ia duduk dilantai dan mengambil laptop dari dalam tasnya. 

"Tadi siang kenapa bapak bilang laporan saya ngak bagus? Biar saya perbaiki sekarang"

"Tidak perlu kamu perbaiki. Besok saya akan terima laporan kamu"

Rara semakin bingung," tapi pak, bukannya bapak tadi marahi saya dikantor karena laporan saya salah?" Balas Rara nyolot. Tak terima dengar suara Rara yang nyolot, Vino mendekatkan wajahnya ke wajah Rara, membuat Rara tak berkutik. Lagi-lagi jantungnya ingin lari ke kutub utara. 

"Kamu paham ngak yang saya katakan. Laporan kamu saya terima. Sampai disini paham?" 

Rara menatap bola mata Vino dengan jantung yang berkali-kali bergetar. Tak sanggup melihat bola mata Ivan secara dekat, Rara langsung mengalihkan penglihatannya kebawah," maaf pak, saya paham" 

Tak mau berdebat konyol dengan Rara, Ivan segera mengambil handuknya dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh diri. Sementara Rara sangat antusias merogoh semua plastik hitam yang berisi ikan gurame, sayur-sayuran, dan beberapa bumbu-bumbu dapur yang sengaja ia bawa dari kos-kosan. Sepertinya ia enggan untuk meninggalkan sebutir beras pun didalam kos-kosan yang penuh kenangan itu.

Dapur itu begitu bersih dan rapi tersusun. Semua peralatan masak sangat lengkap tersedia. Dengan segera Rara mengeluarkan segala jurus masaknya. Sebuah sutil begitu lihai mengaduk ikan gurame yang saat ini ia gulai. 

Sementara hidung Vino mendeteksi sangat tajam setelah mencium aroma masakan didalam rumahnya. Sangkin wanginya ia buru-buru keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk merah yang melekat di pinggangnya. Matanya memicing dan mencoba mendekat kearah Rara. 

Sutil pun terbang melayang kebelakang akibat Vino muncul dengan sebuah handuk. Hal itu membuat mata Rara canggung dan spontan terkejut lalu berteriak kencang," ahhh...! bapak ngapain keluar tanpa memakai baju!" Rara berusaha menutup kedua matanya dan membelakangi Vino. Sutil yang tercampak itu pun akhirnya patah tak berdaya.

Mendengar teriakan Rara spontan Vino lebih memastikan kembali handuk yang ternyata masih terlilit bagus di pinggangnya," heh! kamu ngapain masak di dapur saya!"

Perlahan Rara membuka kedua matanya yang sengaja ia tutupi dengan telapak tangannya. Dengan rasa gugup Rara menoleh kebelakang, namun sayang matanya dikejutkan dengan sebidang dada yang tampak begitu tegap dan seksi tanpa dibungkus sehelai benang. 

Untuk kedua kalinya Rara menjerit sekencang mungkin, membuat Vino langsung mendaratkan telapak tangannya untuk membungkam mulut Rara. 

"Heh! Bisa diam ngak sih! Kalau orang dengar bagaimana?" Vino melotot sambil memastikan Rara tidak menjerit lagi. Mulut Rara diam sejenak, namun di hatinya sedikit menggerutu. Dada bidang itu seolah menantang iman Rara. Dan ia tidak mau terjebak dengan perasaan yang awalnya menurut ia mustahil untuk dimiliki. 

Rara menganggukkan kepalanya sebagai isyarat bahwa ia tak akan menjerit lagi. Nafasnya mulai terengah-engah. Tangan lebar itu pun akhirnya terlepas dari mulut Rara. 

"Maaf pak, saya kaget aja melihat bapak hanya memakai handuk"

"Kamu ngapain? Siapa yang suruh kamu masak?" Vino bertolak pinggang sambil melihat masakan Rara yang hampir matang itu. Vino mengendus, ia mengambil sendok dan mencicipi gurame gulai milik Rara. 

"Bagaimana rasanya,pak?" Rara mendekat sambil memperhatikan bibir Vino yang sedang mencicipi ikannya. Ada rasa senang bercampur kesal. 

"Biasa aja," Vino berbohong. Ia tak ingin memuji Rara terlalu berlebihan. Kesal dengan penilaian Vino, Rara mencicipi kembali masakannya," perasaan bumbunya sudah pas," celetuknya sebal.

"Itu perasaan kamu. Segala sesuatu jangan terlalu memakai perasaan. Paham?" Vino kembali membasuh dirinya ke kamar mandi. 

Masakan telah tersedia rapi di atas meja. Rara berharap masakannya dimakan oleh Vino malam ini. 

"Pak, ayo makan. Makanannya sudah siap," ajak Rara yang sudah standby di meja makan. 

Vino menarik kursi lalu duduk tepat dihadapan Rara. Meja makan dipenuhi hidangan yang membuat air liur Vino ingin tumpah sedari tadi. Ia sudah tidak sabar melahap ikan gurame yang menurutnya sedap. Belum sempat menghabiskan makanan yang ada di piringnya tiba-tiba saja ada seseorang mengetuk pintu. 

Vino terkejut dan mencoba mengintip terlebih dahulu dari sela-sela pintu. Vino tampak panik. Kekasihnya monik sudah sampai di depan pintu.  Ia menarik Rara untuk segera bersembunyi didalam kamar. "Kamu bersembunyi dulu disini. Pacar saya datang. Jangan pernah keluar sebelum saya perintahkan. Paham?" 

Dengan perasaan yang sedikit gugup akhirnya Vino memberanikan diri untuk membuka pintu secara perlahan. Pelukan hangat langsung menyerang badan Vino,"aku kangen kamu," suara lembut itu terasa hangat menyerang telinga Vino. Vino langsung membalas dengan kecupan hangat dikening Monik. 

"Gimana kalau kita makan diluar?" Wajah manja Monik terlihat merayu. Sesekali ia mencubit pipi Vino dengan perasaan gemas. 

Sementara Rara sedari tadi membuka pintunya sedikit lebar untuk mengatasi rasa penasarannya. Hatinya hancur, ternyata orang yang ia sukai selama ini sudah memiliki sang kekasih. Rara kembali menutup pintu kamarnya dan berusaha mencoba mematikan perasaan yang selama ini ia pendam.

"Tidak mungkin dia menjadi milikmu, Ra. Sadarlah," ucap Rara pelan sambil menepuk kedua pipinya. Ia berjongkok disamping pintu menunggu Vino membukanya. 

Sementara Vino bergegas mengambil kunci rumah dan memastikan pintu sudah terkunci dengan rapat. Mereka berdua menikmati makan malam yang sangat romantis di sebuah cafe. Lampu-lampu terlihat kerdap kerdip menghiasi dinding-dinding. Selama berdua dengan Monik, pikiran Vino melayang kepada Rara yang sedang menunggu didalam kamar. Ia teringat bahwa Rara tidak akan keluar kamar sebelum ia menyuruhnya. 

Ia mengetikkan pesan singkat kepada Rara," saya sudah diluar, kamu boleh keluar kamar sekarang," bunyi pesannya. Setelah membaca pesan Vino, Rara melangkah kearah dapur. Makanan yang ia masak dengan rasa cinta kini terlihat terbengkalai. 

Bulan tampak mulai menerang. Jalan raya mulai sepi. Udara malam ini terasa dingin, membuat Monik tak berhenti memeluk Vino didepan apartmentnya."Kamu ngak mau singgah?" Ucap Monik rayu Vino agar menginap diapertemen miliknya. Namun tampaknya Vino lelah dan menolak ajakan Monik dengan lembut," lain waktu aja ya sayang. Aku capek banget hari ini" 

Monik menggangguk pasrah sambil memonyongkan bibirnya.

"Jangan cemberut gitu dong"

"Oke, ngak apa-apa. Tapi lain waktu harus bisa ya?"

"Iya sayang," Vino mencium keningnya lalu melihat Monik masuk kedalam apartment. 

Ia mulai panik dan menancap gas mobilnya. Keresahan terhadap Rara yang ia tinggalkan kini memuncak. Jalanan begitu lengang. Tidak sampai dua puluh menit ia sudah sampai di depan apertementnya. Ia membuka pintu dan melangkah menuju kamar Rara yang terlihat kosong.

"Rara," teriak Vino. Tapi seketika ia terkejut melihat Rara yang tertidur pulas dimeja makan. 

"Hm..," sindirnya kepada Rara sambil mematung dengan perasaan bersalah.

Rara terbangun. Matanya memicing," bapak sudah pulang?"

"Ngapain kamu tidur disini?"

"Nungguin bapak pulang. Makanannya kan belum habis. Emangnya bapak ngak mau makan lagi?"

"Saya sudah makan"

"Oh...," Rara seketika tertidur lagi diatas meja makan dengan tangan terlipat dan wajah tertunduk diatas tangannya. 

"Heh! Bangun! Malah tidur disini," Vino mencoba menggoyangkan tangan Rara. Ia dikagetkan dengan suhu badan Rara yang sangat panas.

"Ra, kamu demam?" Vino menempelkan telapak tangannya kekening Rara untuk memastikan suhu badan Rara yang mulai tinggi. Tanpa pikir panjang Vino langsung menggendong Rara dan membaringkannya diatas sofa. Wajahnya terlihat pucat. Vino mengambil air dingin dan mengompresnya. Jika satu malam ini panasnya tidak turun, ia berencana untuk membawanya ke dokter.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status