Home / Romansa / Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku / Bab 7 – Presentasi yang Mengguncang

Share

Bab 7 – Presentasi yang Mengguncang

last update Last Updated: 2025-08-18 16:19:16

Pagi itu, aku datang ke kantor lebih awal dari siapa pun. Mata masih berat karena hanya tidur dua jam, tapi tubuhku dipaksa bergerak oleh rasa panik. Di tanganku ada flashdisk kecil yang berisi presentasi semalaman, hasil lembur panjang yang membuatku hampir kehilangan akal.

Aku berdiri di depan lift, menatap pantulan wajahku di pintu logam. Wajah pucat, mata sembab, tapi ada tekad di baliknya.

“Aisyah, kamu bisa,” bisikku sendiri. “Kamu sudah sejauh ini. Jangan mundur.”

Begitu lift terbuka, aku melangkah mantap ke lantai rapat direksi. Dari kejauhan, suara langkah-langkah sepatu formal dan obrolan rendah terdengar. Detak jantungku seolah menyalip ritme jam dinding.

---

Ruang rapat perusahaan itu megah. Dinding kaca besar memperlihatkan pemandangan kota yang masih diselimuti kabut pagi. Meja panjang kayu cokelat tua dipenuhi para pria dan wanita paruh baya dengan jas mewah, ekspresi serius, dan aura yang membuatku ingin bersembunyi di bawah kursi.

Rayyan duduk di ujung meja, kursi kepala. Wajahnya datar, tatapannya menusuk saat matanya bertemu denganku. Ia memberi isyarat dengan tangan.

“Silakan, Aisyah. Waktu dan tempat kami persilakan,” katanya tenang, seolah yang diminta hanyalah laporan sederhana, bukan ujian hidup-mati.

Tanganku sedikit gemetar saat menyalakan proyektor. Slide pertama muncul dengan judul besar:

Analisis Komparatif Laporan Keuangan, Pemasaran, dan HR – Semester 1

Beberapa direksi saling pandang. Aku bisa merasakan sebagian dari mereka meremehkan—siapa aku, staf baru, berani-beraninya bicara di depan orang-orang yang mungkin sudah bekerja sejak sebelum aku lahir.

Aku menarik napas panjang, menegakkan punggung, dan memulai.

“Selamat pagi, Bapak dan Ibu Direksi,” suaraku terdengar sedikit bergetar, tapi aku segera mengatur napas. “Nama saya Aisyah, staf baru di perusahaan ini. Hari ini saya akan menyampaikan hasil analisis terhadap laporan dari tiga divisi utama.”

Aku menekan remote, slide kedua muncul dengan grafik.

“Divisi keuangan menunjukkan tren positif dalam arus kas, namun ada beberapa pengeluaran tidak tercatat detail di bulan Maret dan April. Saya menandai ini sebagai potensi risiko yang perlu segera ditindaklanjuti.”

Beberapa direksi keuangan terperangah, menunduk melihat catatan mereka. Salah satu dari mereka berbisik dengan ekspresi heran.

Aku melanjutkan dengan lebih percaya diri. “Sementara itu, divisi pemasaran mencatat kenaikan anggaran promosi sebesar 25%, tetapi hasil penjualan hanya meningkat 10%. Ini menunjukkan efisiensi rendah dalam penggunaan dana. Saya sarankan audit strategi pemasaran digital.”

Direktur pemasaran langsung terbatuk kecil, wajahnya memerah.

Aku menahan senyum. Bingo.

Slide demi slide bergulir, aku menjelaskan dengan runtut. Setiap temuan kujelaskan dengan data yang jelas, setiap kelemahan kutawarkan solusi. Meskipun suaraku sempat bergetar di awal, kini aku terdengar lebih mantap.

Aku bisa merasakan tatapan para direksi yang awalnya acuh dan meremehkan, kini berubah jadi fokus dan mendengarkan.

---

Akhir presentasi tiba. Aku menutup dengan kesimpulan:

“Jika ketiga divisi ini berkoordinasi lebih efektif, perusahaan bisa menghemat biaya operasional hingga 15% dalam enam bulan ke depan. Itu bukan angka kecil, melainkan peluang besar untuk meningkatkan profitabilitas.”

Ruangan hening. Tak ada yang bergerak.

Aku menelan ludah, menunggu komentar.

Lalu salah satu direksi keuangan berdeham. “Luar biasa… detail sekali untuk ukuran staf baru.”

Direktur pemasaran yang tadi memerah wajahnya akhirnya mengangguk pelan. “Ya, bahkan tim kami sendiri belum membuat analisis sejernih ini.”

Beberapa direksi lain ikut berkomentar positif. Ruangan yang tadinya penuh tekanan berubah jadi ruang diskusi serius. Mereka membicarakan beberapa rekomendasiku seolah itu memang harus segera diterapkan.

Aku berdiri di depan, tubuh gemetar, tapi kali ini bukan karena takut. Melainkan karena lega—aku berhasil.

---

Aku melirik ke arah Rayyan. Ia duduk dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tetap dingin, tapi matanya… berbeda. Ada sesuatu di sana, semacam pengakuan yang enggan ia ucapkan.

Ketika diskusi selesai, Rayyan akhirnya angkat bicara.

“Terima kasih, Aisyah,” katanya datar. “Presentasimu… informatif.”

Hanya itu. Tidak ada pujian besar, tidak ada tepuk tangan. Tapi aku tahu, dari sorot matanya, kata “informatif” itu berarti lebih dari sekadar basa-basi.

Aku menunduk sopan. “Terima kasih, Pak.”

---

Begitu rapat bubar, aku bergegas membereskan laptop dan berkas. Kakiku masih gemetar, tapi hatiku melompat-lompat bahagia.

Di luar ruang rapat, beberapa karyawan senior menepuk bahuku.

“Hebat sekali, Aisyah.”

“Kamu bikin kami terkesan. Jarang ada staf baru bisa tampil sebaik itu.”

Aku tersenyum kikuk, masih sulit percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Saat hendak kembali ke meja, langkahku terhenti. Rayyan berdiri di koridor, menungguku.

“Pak…” sapaku ragu.

Ia menatapku beberapa detik, lalu berkata pelan, “Jangan terlalu senang dulu. Ini baru permulaan. Dunia kerja lebih keras dari yang kamu bayangkan.”

Nada suaranya masih dingin, tapi aku melihat sesuatu di matanya—pengakuan, meski setengah hati.

Aku mengangkat dagu, tersenyum tipis. “Saya siap, Pak. Apapun tantangan berikutnya.”

Rayyan menatapku lebih lama, lalu berbalik meninggalkanku.

Aku menghela napas panjang, lalu berjalan kembali ke meja kerjaku dengan langkah ringan. Meski ujiannya berat, aku tahu satu hal pasti: aku telah menancapkan pijakan pertama yang kuat di tempat ini.

Dan yang lebih penting, aku berhasil membuat Rayyan, si bos dingin yang arogan itu, terpaksa mengakui kemampuanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 49 - Kehadiran yang Mengusik

    Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 48 - Keputusan yang Menentukan

    Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 47 - Perhatian yang Mengganggu

    Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 46 - Luka yang Terus Menganga

    Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 45: Suara Hati yang Bercabang

    Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 44 - Langkah Rayyan

    Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status