Hari-hari setelah presentasi itu berubah drastis untukku. Kalau dulu aku hanya karyawan baru yang nyaris tak dipandang, kini semua mata seakan menyorot setiap langkahku.
Awalnya, aku merasa senang. Ada senior yang tiba-tiba lebih ramah, beberapa bahkan menawarkan bantuan kecil seperti menyalin dokumen atau menemani makan siang. Tapi semakin hari, aku sadar ada sesuatu yang lain. Ada desas-desus yang mulai beredar di udara kantor. Aku pertama kali mendengar bisikan itu di pantry. --- “Aku lihat sendiri, Pak Rayyan menatap Aisyah lama sekali waktu rapat kemarin,” suara seorang karyawan perempuan terdengar jelas saat aku sedang menuang kopi. “Ah masa? Bisa jadi dia sekadar kagum karena kerjaannya bagus.” “Bagus, sih, bagus. Tapi kamu tahu kan, Pak Rayyan nggak pernah segitu perhatiannya sama staf baru. Ini pasti ada sesuatu.” Aku mematung, gelas kertas di tanganku hampir tumpah. Ingin rasanya aku keluar dan menyangkal, tapi itu hanya akan membuat gosip semakin liar. Jadi, aku memilih pura-pura tak mendengar. Tapi gosip, seperti asap, semakin ditekan semakin menyebar. --- Di meja kerjaku, aku mendapati beberapa rekan sesama staf menatapku aneh. Ada yang berbisik-bisik sambil melirik, ada yang tiba-tiba jadi dingin padahal sebelumnya ramah. Saat makan siang di kantin, aku duduk bersama Hana, teman pertama yang kutemui di kantor. Ia mencondongkan tubuh, berbisik. “Aisyah… kamu sadar nggak kalau sekarang banyak orang ngomongin kamu?” Aku meletakkan sendokku, menghela napas. “Aku dengar sepintas. Tentang aku sama Pak Rayyan, kan?” Hana mengangguk cepat, wajahnya penuh kekhawatiran. “Iya. Mereka bilang kamu dekat sama dia. Padahal aku tahu kamu bukan tipe cewek yang cari perhatian.” Aku menatap nasi goreng di piringku, selera makan hilang. “Aku bahkan jarang bicara langsung sama Pak Rayyan di luar pekerjaan. Kalau pun iya, pasti urusan kerja. Tapi kenapa orang-orang bisa berpikir sejauh itu?” Hana menepuk tanganku. “Namanya juga kantor, Sya. Dunia penuh kompetisi. Kadang orang lebih senang percaya gosip daripada kenyataan.” --- Sore itu, saat aku sibuk dengan tumpukan laporan, suara sepatu berderap mendekat. Aku mendongak, dan tentu saja, Rayyan berdiri di depan meja kerjaku. “Ikut saya ke ruang meeting,” katanya singkat. Seisi ruangan sontak menoleh. Aku bisa merasakan tatapan membakar dari rekan-rekanku. Wajahku panas, tapi aku tak punya pilihan selain menuruti. Begitu pintu ruang meeting tertutup, aku langsung berkata, “Pak, bisakah lain kali Anda tidak memanggil saya dengan cara seperti itu? Orang-orang jadi berpikir macam-macam.” Rayyan mengerutkan kening, bersandar di kursi. “Macam-macam gimana?” Aku menggigit bibir, ragu. “Gosip, Pak. Mereka bilang saya dekat dengan Anda. Itu sama sekali tidak benar, tapi caranya Anda… memanggil saya barusan, seolah—” Rayyan mengangkat tangan, memotong. “Aisyah, saya tidak peduli apa yang orang bicarakan. Fokus saja pada pekerjaanmu. Itu lebih penting.” Aku menatapnya, kesal. “Mungkin bagi Anda gampang bilang begitu. Tapi bagi saya, reputasi itu penting. Saya baru masuk, belum apa-apa sudah dicap macam-macam.” Sekilas, sesuatu melintas di matanya. Entah rasa bersalah, atau sekadar bosan. Ia mendesah pelan. “Baiklah. Mulai besok, saya akan lebih… menjaga jarak kalau di depan orang lain. Puas?” Aku menatapnya kaget. Tidak menyangka bahwa Rayyan, pria yang selama ini arogan, bisa berkata demikian. “Terima kasih, Pak,” kataku pelan. Ia hanya menatapku sejenak sebelum kembali dingin. “Sekarang kembali ke meja. Dan selesaikan laporan itu sebelum sore.” --- Sayangnya, meski Rayyan berjanji menjaga jarak, gosip tetap berkembang. “Aisyah dipanggil ke ruang meeting sendirian lagi, tuh.” “Wah, makin jelas aja deh. Mana mungkin staf baru dapat perhatian khusus begitu?” “Jangan-jangan… dia dipromosikan karena faktor lain, bukan kemampuan.” Hatiku panas mendengar bisikan-bisikan itu. Aku mencoba menahan diri, meyakinkan diriku bahwa semua akan reda seiring waktu. Tapi ternyata, gosip malah semakin liar. Beberapa kali aku menemukan kertas kecil di mejaku bertuliskan sindiran: “Naik jabatan instan ya?” atau “Tahu-tahu jadi kesayangan bos.” Aku meremas kertas itu sampai hancur, menahan tangis. --- Malam itu, setelah lembur, Hana menemaniku ke halte bus. Ia melihatku murung, lalu berkata, “Aisyah, aku tahu ini berat. Tapi jangan biarkan omongan mereka menghentikanmu.” Aku menoleh, air mata menahan di pelupuk. “Kenapa orang-orang begitu tega, Han? Mereka bahkan nggak tahu bagaimana aku. Aku kerja mati-matian, tapi semua dikira karena aku dekat sama Pak Rayyan.” Hana menarik napas dalam. “Karena kamu beda, Sya. Kamu menonjol. Orang-orang yang biasa-biasa saja merasa terancam. Itu wajar.” Aku terdiam, merenungi kata-katanya. Menonjol. Apakah aku benar-benar menonjol, atau hanya kebetulan yang membuatku tampak begitu? --- Keesokan paginya, aku tidak sengaja mendengar percakapan dua staf pria di lorong. “Bos kita itu… ya ampun, ternyata tipenya gadis polos gitu ya?” “Polos? Hahaha, siapa tahu itu cuma topeng.” Aku berbalik hendak menegur, tapi langkah kaki berat terdengar di belakangku. Kedua pria itu mendadak pucat. Rayyan berdiri di sana, menatap mereka tajam. “Kalau kalian punya waktu untuk bicara hal tidak berguna, lebih baik gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan. Atau saya harus mempertimbangkan kembali posisi kalian di sini?” Keduanya langsung menunduk, gagap meminta maaf, lalu kabur. Aku tertegun. Rayyan menoleh padaku sebentar, lalu berjalan pergi tanpa berkata sepatah kata pun. Tapi dalam diam itu, aku tahu: ia mendengar gosip. Dan entah kenapa, meski ia tidak membelaku secara terang-terangan, cara dia menegur dua staf tadi membuat dadaku hangat. --- Malam itu, di kamar kos kecilku, aku memandang langit-langit lama sekali. Gosip kantor masih berdengung di kepalaku, membuat tidurku tak nyenyak. Tapi di sela resah itu, ada satu hal yang tak bisa kupungkiri. Rayyan mungkin arogan, dingin, dan penuh gengsi. Tapi di balik sikapnya, ada sisi yang… melindungi. Meski ia tidak mau mengakui. Aku menghela napas, menutup mata. “Aisyah, jangan sampai kamu salah paham. Dia atasanmu. Jangan biarkan gosip itu memengaruhi perasaanmu.” Tapi semakin keras aku menolak, semakin jelas bayangan tatapan matanya saat membungkam dua staf tadi menghantui pikiranku.Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja
Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data
Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin
Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:
Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.