Home / Romansa / Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku / Bab 8 – Gosip yang Mengudara

Share

Bab 8 – Gosip yang Mengudara

last update Huling Na-update: 2025-09-02 15:08:51

Hari-hari setelah presentasi itu berubah drastis untukku. Kalau dulu aku hanya karyawan baru yang nyaris tak dipandang, kini semua mata seakan menyorot setiap langkahku.

Awalnya, aku merasa senang. Ada senior yang tiba-tiba lebih ramah, beberapa bahkan menawarkan bantuan kecil seperti menyalin dokumen atau menemani makan siang. Tapi semakin hari, aku sadar ada sesuatu yang lain. Ada desas-desus yang mulai beredar di udara kantor.

Aku pertama kali mendengar bisikan itu di pantry.

---

“Aku lihat sendiri, Pak Rayyan menatap Aisyah lama sekali waktu rapat kemarin,” suara seorang karyawan perempuan terdengar jelas saat aku sedang menuang kopi.

“Ah masa? Bisa jadi dia sekadar kagum karena kerjaannya bagus.”

“Bagus, sih, bagus. Tapi kamu tahu kan, Pak Rayyan nggak pernah segitu perhatiannya sama staf baru. Ini pasti ada sesuatu.”

Aku mematung, gelas kertas di tanganku hampir tumpah. Ingin rasanya aku keluar dan menyangkal, tapi itu hanya akan membuat gosip semakin liar. Jadi, aku memilih pura-pura tak mendengar.

Tapi gosip, seperti asap, semakin ditekan semakin menyebar.

---

Di meja kerjaku, aku mendapati beberapa rekan sesama staf menatapku aneh. Ada yang berbisik-bisik sambil melirik, ada yang tiba-tiba jadi dingin padahal sebelumnya ramah.

Saat makan siang di kantin, aku duduk bersama Hana, teman pertama yang kutemui di kantor. Ia mencondongkan tubuh, berbisik.

“Aisyah… kamu sadar nggak kalau sekarang banyak orang ngomongin kamu?”

Aku meletakkan sendokku, menghela napas. “Aku dengar sepintas. Tentang aku sama Pak Rayyan, kan?”

Hana mengangguk cepat, wajahnya penuh kekhawatiran. “Iya. Mereka bilang kamu dekat sama dia. Padahal aku tahu kamu bukan tipe cewek yang cari perhatian.”

Aku menatap nasi goreng di piringku, selera makan hilang. “Aku bahkan jarang bicara langsung sama Pak Rayyan di luar pekerjaan. Kalau pun iya, pasti urusan kerja. Tapi kenapa orang-orang bisa berpikir sejauh itu?”

Hana menepuk tanganku. “Namanya juga kantor, Sya. Dunia penuh kompetisi. Kadang orang lebih senang percaya gosip daripada kenyataan.”

---

Sore itu, saat aku sibuk dengan tumpukan laporan, suara sepatu berderap mendekat. Aku mendongak, dan tentu saja, Rayyan berdiri di depan meja kerjaku.

“Ikut saya ke ruang meeting,” katanya singkat.

Seisi ruangan sontak menoleh. Aku bisa merasakan tatapan membakar dari rekan-rekanku. Wajahku panas, tapi aku tak punya pilihan selain menuruti.

Begitu pintu ruang meeting tertutup, aku langsung berkata, “Pak, bisakah lain kali Anda tidak memanggil saya dengan cara seperti itu? Orang-orang jadi berpikir macam-macam.”

Rayyan mengerutkan kening, bersandar di kursi. “Macam-macam gimana?”

Aku menggigit bibir, ragu. “Gosip, Pak. Mereka bilang saya dekat dengan Anda. Itu sama sekali tidak benar, tapi caranya Anda… memanggil saya barusan, seolah—”

Rayyan mengangkat tangan, memotong. “Aisyah, saya tidak peduli apa yang orang bicarakan. Fokus saja pada pekerjaanmu. Itu lebih penting.”

Aku menatapnya, kesal. “Mungkin bagi Anda gampang bilang begitu. Tapi bagi saya, reputasi itu penting. Saya baru masuk, belum apa-apa sudah dicap macam-macam.”

Sekilas, sesuatu melintas di matanya. Entah rasa bersalah, atau sekadar bosan. Ia mendesah pelan.

“Baiklah. Mulai besok, saya akan lebih… menjaga jarak kalau di depan orang lain. Puas?”

Aku menatapnya kaget. Tidak menyangka bahwa Rayyan, pria yang selama ini arogan, bisa berkata demikian.

“Terima kasih, Pak,” kataku pelan.

Ia hanya menatapku sejenak sebelum kembali dingin. “Sekarang kembali ke meja. Dan selesaikan laporan itu sebelum sore.”

---

Sayangnya, meski Rayyan berjanji menjaga jarak, gosip tetap berkembang.

“Aisyah dipanggil ke ruang meeting sendirian lagi, tuh.”

“Wah, makin jelas aja deh. Mana mungkin staf baru dapat perhatian khusus begitu?”

“Jangan-jangan… dia dipromosikan karena faktor lain, bukan kemampuan.”

Hatiku panas mendengar bisikan-bisikan itu. Aku mencoba menahan diri, meyakinkan diriku bahwa semua akan reda seiring waktu. Tapi ternyata, gosip malah semakin liar.

Beberapa kali aku menemukan kertas kecil di mejaku bertuliskan sindiran: “Naik jabatan instan ya?” atau “Tahu-tahu jadi kesayangan bos.”

Aku meremas kertas itu sampai hancur, menahan tangis.

---

Malam itu, setelah lembur, Hana menemaniku ke halte bus. Ia melihatku murung, lalu berkata, “Aisyah, aku tahu ini berat. Tapi jangan biarkan omongan mereka menghentikanmu.”

Aku menoleh, air mata menahan di pelupuk. “Kenapa orang-orang begitu tega, Han? Mereka bahkan nggak tahu bagaimana aku. Aku kerja mati-matian, tapi semua dikira karena aku dekat sama Pak Rayyan.”

Hana menarik napas dalam. “Karena kamu beda, Sya. Kamu menonjol. Orang-orang yang biasa-biasa saja merasa terancam. Itu wajar.”

Aku terdiam, merenungi kata-katanya. Menonjol. Apakah aku benar-benar menonjol, atau hanya kebetulan yang membuatku tampak begitu?

---

Keesokan paginya, aku tidak sengaja mendengar percakapan dua staf pria di lorong.

“Bos kita itu… ya ampun, ternyata tipenya gadis polos gitu ya?”

“Polos? Hahaha, siapa tahu itu cuma topeng.”

Aku berbalik hendak menegur, tapi langkah kaki berat terdengar di belakangku. Kedua pria itu mendadak pucat.

Rayyan berdiri di sana, menatap mereka tajam. “Kalau kalian punya waktu untuk bicara hal tidak berguna, lebih baik gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan. Atau saya harus mempertimbangkan kembali posisi kalian di sini?”

Keduanya langsung menunduk, gagap meminta maaf, lalu kabur.

Aku tertegun. Rayyan menoleh padaku sebentar, lalu berjalan pergi tanpa berkata sepatah kata pun.

Tapi dalam diam itu, aku tahu: ia mendengar gosip. Dan entah kenapa, meski ia tidak membelaku secara terang-terangan, cara dia menegur dua staf tadi membuat dadaku hangat.

---

Malam itu, di kamar kos kecilku, aku memandang langit-langit lama sekali. Gosip kantor masih berdengung di kepalaku, membuat tidurku tak nyenyak.

Tapi di sela resah itu, ada satu hal yang tak bisa kupungkiri.

Rayyan mungkin arogan, dingin, dan penuh gengsi. Tapi di balik sikapnya, ada sisi yang… melindungi. Meski ia tidak mau mengakui.

Aku menghela napas, menutup mata. “Aisyah, jangan sampai kamu salah paham. Dia atasanmu. Jangan biarkan gosip itu memengaruhi perasaanmu.”

Tapi semakin keras aku menolak, semakin jelas bayangan tatapan matanya saat membungkam dua staf tadi menghantui pikiranku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 52 - Antara Profesionalisme dan Perasaan

    Siang itu, Hana datang menghampiri mejanya dengan senyum usil.“Aku lihat Pak Rayyan tadi puji kamu lagi di depan tim. Kamu nggak deg-degan?” godanya.Aisyah pura-pura sibuk merapikan kertas. “Itu biasa aja, Han. Pujian kerja, bukan yang lain.”Hana mendekat, berbisik, “Kamu masih nggak sadar juga? Cara dia lihat kamu beda, Sya. Dia mungkin nggak ngomong, tapi aku yakin dia peduli lebih dari sekadar atasan ke bawahan.”Aisyah menghela napas. “Justru itu masalahnya. Dia nggak pernah ngomong. Kalau semua ini cuma aku yang salah paham, aku bisa kewalahan, Han. Dan aku nggak bisa ambil risiko itu.”Hana menepuk tangannya lembut. “Terus kalau Farid?”Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam lama. “Farid… baik. Dia jelas sama perasaannya. Tapi aku nggak tahu, Han. Aku nggak ngerasa deg-degan kayak… kayak kalau sama Pak Rayyan.” suaranya hampir tidak terdengar di akhir kalimat. Ini pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada orang lain.Hana tersenyum miris. “Kadang yang

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 51 - Strategi Berlapis

    Rayyan duduk di ruang kerjanya malam itu, hanya ditemani lampu meja dan layar laptop yang menyorot berkas-berkas proyek Dubai. Matanya menelusuri angka-angka, grafik, dan catatan rapat, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan pertemuannya dengan Farid di kafe terus kembali. Senyum ramah pria itu, kalimat-kalimatnya yang terdengar tulus, seolah menggema di kepalanya. “Saya ingin ada di sisinya. Agar dia tidak merasa sendirian.” Kata-kata itu membuat Rayyan menggenggam erat pulpen di tangannya. Bukan marah—lebih kepada rasa tidak rela yang sulit ia definisikan. Merasa tidak mampu memberikan yang serupa. Ia tahu, kali ini, ia tidak hanya menghadapi kompetitor bisnis, tapi juga kompetitor hati. Dan yang membuatnya semakin sulit: kompetitor ini tidak bisa ia kalahkan dengan angka, kontrak, atau hukum. Rayyan menarik napas panjang, bersandar di kursinya. Ia harus berpikir elegan. Bukan frontal, bukan dengan kekuasaan yang bisa membuat Aisyah merasa terkekang. “Aku harus men

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 50 - Langkah untuk Rival

    Rayyan pagi itu terlihat lebih serius dari biasanya. Wajahnya tegang, suaranya dingin ketika memberi instruksi.“Aisyah, laporan progress terakhir sudah kamu siapkan?”“Sudah, Pak.” Aisyah menyerahkan berkas dengan hati-hati.Rayyan menerimanya tanpa banyak bicara, tapi tatapannya singgah lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di balik mata itu—campuran antara ingin bicara, tapi menahan diri.Aisyah merasa tidak nyaman. Ia bisa menebak, mungkin Rayyan melihat dirinya dengan Farid kemarin.Siang hari, saat makan siang bersama Hana, gosip mulai muncul.“Halo, Nona populer,” Hana menyikutnya pelan.Aisyah mengernyit. “Apa lagi, Han?”“Aku lihat kemarin kamu jalan sama cowok ganteng bawa bunga. Siapa tuh? Jangan bilang pacar lama yang tiba-tiba balik.”Aisyah hampir tersedak. “Bukan, bukan. Dia teman kuliah. Namanya Farid.”Hana tertawa kecil. “Teman kuliah yang bawain bunga? Hmm, oke deh.”Aisyah mendesah. “Serius, Han. Jangan mulai gosip. Aku nggak mau ada yang salah paham lagi.”Tapi da

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 49 - Kehadiran yang Mengusik

    Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 48 - Keputusan yang Menentukan

    Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 47 - Perhatian yang Mengganggu

    Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status