Hari keduaku di kantor dimulai dengan perasaan campur aduk. Tubuhku masih terasa remuk karena kemarin harus menyelesaikan ringkasan kontrak tebal dalam waktu singkat. Tapi di sisi lain, ada percikan semangat aneh yang membuatku bangun lebih pagi, menyiapkan diri, dan berdiri di depan cermin lebih lama dari biasanya.
Ini bukan tentang Rayyan, batinku cepat-cepat menyangkal. Ini tentang aku yang harus bertahan di sini. Setibanya di kantor, aku mendapati meja kerjaku sudah dipenuhi tumpukan berkas baru. Lebih banyak dari kemarin. Aku menatapnya dengan kening berkerut. “Aisyah.” Suara berat itu datang dari belakangku. Aku menoleh. Rayyan berdiri di sana dengan wajah setenang patung marmer, jas hitamnya rapi, dasinya sempurna, dan aura dinginnya langsung membuat ruangan terasa kecil. “Selamat pagi, Pak,” sapaku hati-hati. Rayyan tidak menjawab, hanya berjalan mendekat lalu menepuk-nepuk tumpukan berkas di mejaku. “Kamu tahu ini apa?” tanyanya datar. Aku menggeleng pelan. “Belum, Pak.” “Ini adalah laporan divisi keuangan, pemasaran, dan HR selama enam bulan terakhir.” Ia melipat kedua tangannya di dada. “Aku ingin kamu membuat analisis komparatif, menemukan kesalahan sekecil apa pun, dan menyiapkan presentasi untuk rapat direksi besok pagi.” Aku terdiam. Otakku langsung berhenti bekerja. Besok pagi? Analisis semua divisi? Itu pekerjaan yang biasanya ditangani tim besar dengan deadline berminggu-minggu, bukan satu orang dalam satu malam. “Pak…” suaraku lirih. “Ini… terlalu banyak untuk satu orang.” Rayyan menaikkan satu alis. “Oh? Jadi kamu menyerah?” Aku menggigit bibir. Tatapan matanya begitu menantang, seolah sengaja ingin memaksaku berkata “tidak sanggup.” “Saya tidak bilang menyerah, Pak,” sahutku akhirnya. “Saya hanya bilang ini tidak realistis.” Rayyan tersenyum miring, senyum yang membuat darahku mendidih. “Kadang, dunia kerja memang tidak realistis, Aisyah. Kalau kamu tidak bisa menghadapinya, mungkin tempat ini bukan untukmu.” Hatiku terasa diremas. Jadi memang benar, dia sengaja ingin menyingkirkanku. Aku menatap tumpukan berkas itu lagi, lalu menarik napas panjang. “Baiklah. Saya akan berusaha kerjakan seoptimal mungkin.” --- Sejak pukul sepuluh pagi, aku nyaris tidak beranjak dari kursi. Mata fokus pada angka-angka, grafik, dan kalimat panjang yang membingungkan. Jari-jariku mengetik cepat, menyalin data, lalu menyusun tabel perbandingan. Beberapa rekan kerja lain sesekali menghampiri, menatap kasihan. “Serius kamu disuruh ngerjain semua itu sendirian?” bisik salah satu staf pemasaran. Aku hanya mengangguk tanpa menoleh, takut konsentrasiku pecah. Jam makan siang, aku tetap di meja, hanya meneguk air mineral sambil terus mengetik. Perutku sudah protes, tapi pikiranku menolak berhenti. Rayyan beberapa kali melintas di depan meja, sekilas menatap pekerjaanku, lalu berlalu tanpa komentar. Setiap tatapannya bagai cambuk seolah menyiratkan: kerjakan lebih cepat, lebih baik, jangan ada kesalahan. --- Jam menunjukkan pukul delapan malam. Kantor sudah sepi, hanya tinggal aku, satpam, dan lampu-lampu yang sengaja dibiarkan redup. Kepalaku berat, mataku merah, tapi ringkasan dan analisis akhirnya hampir selesai. Aku menatap layar laptop dengan lelah bercampur lega. “Ya Allah, tolong lancarkan,” gumamku sambil meregangkan punggung. Aku tahu Rayyan menunggu aku gagal. Tapi anehnya, rasa ingin membuktikan diriku jauh lebih besar daripada rasa takutku. --- Saat sedang menumpuk hasil print-out di meja, suara langkah kaki membuatku menoleh. Aku terperangah. Rayyan berdiri di pintu ruang kerja, kedua tangannya di saku celana, wajahnya tetap tenang meski jam sudah larut. “Masih di sini?” tanyanya. Aku menahan diri untuk tidak menjawab sinis. “Tentu saja, Pak. Tugas Bapak belum selesai saya kerjakan.” Rayyan masuk, mendekat ke meja, lalu menatap tumpukan kertas di hadapanku. Tangannya mengambil salah satu lembar, meneliti isinya. Beberapa detik hening. “Tidak buruk,” katanya akhirnya. “Bahkan cukup detail untuk ukuran waktu sesingkat ini.” Aku menegakkan punggung. “Jadi, saya bisa dianggap lulus ujian Bapak?” tanyaku, nada suaraku sedikit menantang. Rayyan menoleh, menatapku lama. Tatapannya sulit diartikan, antara kagum dan masih menyimpan keraguan. “Kamu belum lulus apa pun, Aisyah,” jawabnya pelan. “Tapi kamu… membuatku penasaran.” Aku tertegun. Kata-kata itu meluncur begitu saja darinya, membuat dadaku terasa sesak. Rayyan lalu menaruh kembali berkas itu dan berbalik. “Jangan terlalu percaya diri. Besok pagi aku ingin kamu presentasikan sendiri di depan direksi. Kalau kamu bisa bertahan dari evaluasi mereka… mungkin aku akan mulai menganggapmu serius.” Aku menelan ludah. Presentasi di depan direksi? Itu berarti para eksekutif senior dengan pengalaman puluhan tahun! “Tapi…” suaraku tercekat. “Saya hanya staf baru.” “Persis.” Rayyan menoleh sekilas, senyumnya samar. “Kita lihat apakah staf baru bisa membuat ruang rapat terdiam.” Setelah itu, ia melangkah keluar, meninggalkanku dengan jantung berdegup kencang. --- Aku menatap pintu yang baru saja tertutup. Kelegaanku seolah lenyap digantikan kecemasan baru. Presentasi di depan direksi? Itu bukan sekadar ujian. Itu bisa jadi penentu apakah aku diterima sepenuhnya di perusahaan ini… atau diusir dengan cara paling memalukan. Namun satu hal pasti: aku tidak akan membiarkan Rayyan terus meremehkanku begitu saja. Aku mengepalkan tangan, berbisik pada diriku sendiri. “Kalau dia ingin menjatuhkanku, aku akan tunjukkan kalau aku bisa lebih baik dari yang dia kira.”Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja
Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data
Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin
Esoknya, setelah memastikan ibunya stabil, Aisyah berdiri di teras rumah sambil menatap sawah yang hijau. Angin sore membawa aroma tanah basah. Namun pikirannya tak bisa lepas dari satu nama: Rayyan Alfarizi.Ia menimbang-nimbang perasaannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih. Hatinya hangat karena tahu di balik dinginnya sikap Rayyan di kantor, ada perhatian tulus yang ia tunjukkan dengan cara tersembunyi. Tapi di sisi lain, ini membuatnya semakin sulit dan bingung bagaimana harus menyikapi.Aisyah sadar, jika ia membiarkan hatinya terlalu larut, ia bisa terseret ke dalam hubungan yang tidak jelas. “Aku harus tetap waras,” gumamnya.Namun, suara hati itu kian sulit ditekan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Pak Rayyan muncul di layar.Aisyah menelan ludah sebelum mengangkat. “Halo, Pak.”Suara Rayyan terdengar seperti biasa: datar dan singkat. “Bagaimana kondisi ibu?”“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih, Pak.”Hening beberapa detik. Aisyah ingin sekali mengucapkan:
Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.