Ia arogan, dingin, dan tak pernah salah di matanya. Ia keras kepala, berani, dan selalu siap melawan. Sejak pertemuan pertama, Aisyah dan Rayyan seperti api dan bensin—saling membakar. Namun, kebencian yang mereka pupuk justru perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya: cinta. Mampukah mereka berdamai dengan luka masa lalu dan gengsi masing-masing? Atau justru takdir memisahkan dua hati yang diam-diam saling mencari?
View MoreAku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang sejak tadi berlari kencang. Dari sekian banyak perusahaan yang kukirimkan lamaran, hanya satu ini yang benar-benar membalas emailku. Alfarizi Corporation—nama besar yang sudah kudengar sejak SMA. Kantornya menjulang tinggi, kaca-kaca luarnya berkilau menyilaukan di bawah sinar matahari. Gedung ini seperti simbol kekuasaan dan kesuksesan, dan aku berdiri di depannya dengan selembar CV yang terasa jauh lebih tipis dibandingkan beban hidupku.
Aku menunduk, mengecek lagi map biru yang berisi ijazah dan surat lamaran. “Bismillah, semoga lancar,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri. Kakiku melangkah dengan sedikit gemetar, tapi aku berusaha menegakkan punggung. Bagaimanapun, aku tidak boleh terlihat minder. Langkahku berhenti tepat di depan meja resepsionis. Seorang wanita berpenampilan modis dengan blazer hitam dan rambut dicepol rapi menyapaku dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya terdengar lembut tapi berwibawa. “Saya Aisyah Rahmani. Ada jadwal wawancara jam sembilan,” jawabku, berusaha terdengar tenang meski telapak tanganku dingin dan suara hatiku riuh seperti genderang perang. Resepsionis itu memeriksa daftar nama di komputernya, lalu mengangguk sopan. “Silakan naik ke lantai dua puluh. Ruang wawancara ada di sebelah kanan lift.” Aku mengucapkan terima kasih, lalu melangkah menuju lift dengan napas panjang. Jantungku makin tidak karuan. Aku butuh pekerjaan ini. Uang tabunganku hampir habis, sementara kontrakan, listrik, dan kebutuhan sehari-hari terus menghantui. Pekerjaan ini bukan hanya sekadar pekerjaan bagiku—ini adalah harapan terakhir. Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah masuk. Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengannya. Seorang pria dengan setelan jas hitam yang terlihat mahal berdiri di sudut. Kemeja putihnya rapi, dasinya terikat sempurna, dan ponsel hitam elegan ada di tangannya. Wajahnya… dingin. Tatapannya tajam menusuk, seperti bisa menilai seseorang hanya dalam sepersekian detik. Ada aura kuat di sekelilingnya, membuat udara di dalam lift terasa menekan, seakan ruangan sempit itu terlalu kecil untuk menampung wibawanya. Aku buru-buru berdiri agak menjauh, mencoba menjaga jarak. Namun malang, saat pintu lift hendak menutup, tumit sepatuku malah tersangkut. “Ah!” seruku panik. Pria itu menghela napas panjang, jelas terganggu. Ia menekan tombol ‘open’ dengan gerakan cepat, lalu menatapku tajam. “Kau tidak tahu cara masuk lift dengan benar?” suaranya dingin, penuh nada mengejek. Aku terdiam beberapa detik, wajahku panas. Sungguh menyebalkan. Baru pertama kali bertemu, sudah disambut dengan kalimat seperti itu. “Terima kasih,” jawabku ketus, meski suaraku bergetar menahan malu. Ia hanya mengangkat alis, lalu kembali menatap layar ponselnya seakan aku tak lebih dari gangguan kecil dalam hidupnya. Perjalanan ke lantai dua puluh terasa panjang sekali. Aku meliriknya dari sudut mata—tinggi, tegap, wajahnya terlalu sempurna untuk pria normal. Sayangnya, sikapnya benar-benar menyebalkan. Pintu lift akhirnya terbuka, dan ia melangkah keluar lebih dulu. Aku mengikuti dari belakang, masih kesal, sambil bergumam dalam hati, semoga aku tidak perlu bertemu lagi dengan pria sombong ini. Tapi begitu memasuki ruang wawancara, darahku langsung berdesir. Di kursi utama, pria itu duduk dengan tenang. Kedua tangannya terlipat di atas meja, tatapannya kini terarah penuh padaku. “Aisyah Rahmani?” suaranya terdengar jelas, tajam, tapi kali ini lebih formal. Aku tertegun. Jadi… pria menyebalkan di lift tadi adalah… pewawancara utamaku? Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. “I-iya, saya.” Sudut bibirnya melengkung tipis, bukan senyum ramah, melainkan semacam senyum meremehkan. “Menarik. Mari kita mulai wawancaranya.” Jantungku langsung turun ke perut. Astaga, kenapa harus dia?Hari itu kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Semua orang sibuk menyiapkan laporan untuk evaluasi mingguan. Suasana yang biasanya riuh dengan suara tuts keyboard dan dering telepon kini dipenuhi dengan bisik-bisik panik karyawan yang berlarian membawa berkas.Aku pun tak kalah sibuk. Sejak pagi, tugasku menumpuk, dan aku bahkan belum sempat menyeruput kopi yang kubeli tadi. Tapi di tengah kesibukan itu, mataku sempat menangkap sesuatu yang janggal: Rayyan.Biasanya pria itu muncul dengan penampilan sempurna—rambut rapi, kemeja licin tanpa satu pun lipatan, dan tatapan tajam yang seakan siap menguliti kesalahan siapa saja. Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Wajahnya pucat, kemejanya sedikit kusut, dan langkahnya tak sekuat biasanya.Aku sempat mengira hanya ilusi karena lelah, sampai akhirnya aku melihatnya duduk di ruang rapat beberapa jam kemudian. Cahaya lampu ruangan memantul di keningnya yang basah oleh keringat. Tangannya menekan pelipis, matanya sayu.“Pak Rayyan, bagaimana m
Suara mesin pesawat bergemuruh lembut, membuat suasana kabin terasa bergetar pelan. Aku duduk di dekat jendela, menatap awan putih yang bergerak perlahan. Perjalanan dinas pertama sejak aku bekerja di perusahaan ini—dan ironisnya, aku harus pergi bersama Rayyan.Aku menoleh sekilas. Dia duduk di kursi sebelahku, rapi dengan kemeja biru tua dan jas hitam yang digantung rapi di sandaran. Matanya fokus membaca dokumen di tablet, seolah dunia luar tidak penting.Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan keberadaannya. Tapi sulit. Aura pria itu selalu menyedot perhatian, entah karena wibawa atau karena tatapannya yang dingin.“Berhenti gelisah,” ucapnya tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan dari tablet.Aku tersentak. “Apa?”“Sejak tadi kamu menggerakkan kaki terus. Kalau kamu tak bisa diam, lebih baik tidur.”Aku mendengus pelan. “Saya hanya sedikit cemas, Pak. Ini pertama kalinya saya melakukan survei lapangan untuk proyek sebesar ini.”Rayyan akhirnya menoleh, tatapannya menu
Pagi itu, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Rasanya seperti mau ikut ujian besar. Selama tiga hari terakhir aku hampir tidak tidur cukup, sibuk membongkar tumpukan data dan membuat analisis yang diminta Rayyan.Dan hari ini, hasil kerjaku akan dipresentasikan di depan tim inti proyek. Termasuk Rayyan sendiri.Aku berdiri di depan cermin kamar mandi kantor, merapikan kerudung yang sejak tadi terasa miring. “Aisyah, kamu bisa,” bisikku pelan pada bayangan sendiri. “Kamu sudah kerja keras, sekarang tinggal tunjukkan.”---Ruang rapat 5A sudah terisi penuh ketika aku masuk. Ada enam orang staf senior, sekretaris, dan tentu saja Rayyan yang duduk di ujung meja dengan laptop terbuka. Aura wibawanya langsung membuat ruangan sunyi.Aku menarik kursi di dekat layar proyektor, berusaha tidak menunjukkan kegugupan. Saat jam tepat pukul sembilan, Rayyan mengetuk meja pelan.“Baik, kita mulai. Aisyah, silakan paparkan hasil analisismu.”Suara dinginnya membuat dadaku makin sesak, tapi
Hari Senin pagi, kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Bunyi dering telepon bercampur dengan suara langkah cepat para karyawan yang sibuk, seolah semua orang berlomba dengan waktu. Di tengah suasana itu, aku justru merasa dadaku berat.Hari ini adalah hari pertama aku resmi bergabung dalam tim proyek strategis. Dan parahnya, aku tidak hanya bagian dari tim… aku bekerja langsung di bawah Rayyan.Aku menatap meja kerjaku yang kini dipenuhi dokumen baru. Folder biru dengan label Confidential tergeletak di sana, seolah menertawakan nasibku.Kenapa aku? bisikku dalam hati.Sejujurnya, aku masih tak percaya Rayyan menunjukku. Setelah semua bentrokan kami sebelumnya, logikaku berkata seharusnya dia memilih siapa pun selain aku. Tapi mungkin justru itulah alasan utamanya: dia ingin membuktikan sesuatu.“Aisyah, rapat jam sepuluh. Ruang 5A.” Suara salah satu sekretaris senior Rayyan yang tiba-tiba muncul membuatku sedikit tersentak. Perempuan itu menatapku dengan ekspresi datar, hampir sini
Hari itu, suasana ruang rapat dipenuhi aroma kemenangan. Anggota tim tersenyum lega, beberapa bahkan menepuk bahu satu sama lain. Proyek besar yang sempat dianggap mustahil akhirnya rampung tepat waktu. Dan yang paling mengejutkan, proyek itu dipimpin oleh seseorang yang sebelumnya dianggap “tidak punya pengalaman” — aku.Aku menatap layar laptopku yang menampilkan laporan akhir. Jari-jariku masih sedikit gemetar, bukan karena gugup, tapi karena terlalu lama mengetik dan mengutak-atik detail kecil yang bisa saja menggagalkan seluruh presentasi. Meski lelah, ada kepuasan tersendiri yang tak bisa kujelaskan.“Good job,” salah satu rekan tim menepuk bahuku. Tapi aku bisa melihat, senyumnya hambar, seolah kalimat itu hanya formalitas. Di sudut ruangan, beberapa orang berbisik-bisik, pandangan mereka jelas mengarah padaku.“Kalau bukan karena dia dekat dengan bos, mana mungkin dipilih.”“Iya, semua juga tahu siapa yang sebenarnya ada di balik layar.”Aku berpura-pura tidak mendengar, tapi
Hari itu aku lagi-lagi pulang larut. Proyek baru yang dipercayakan padaku menyedot hampir seluruh energi. Dokumen, revisi, rapat mendadak, semuanya menumpuk hingga aku kehilangan jejak waktu. Jam dinding sudah menunjuk pukul sembilan malam ketika aku akhirnya membereskan meja.Lantai kantor sunyi. Lampu neon sebagian sudah dipadamkan, hanya tersisa beberapa cahaya di koridor. Aku menekan tombol lift dengan tubuh lelah, ingin segera pulang dan rebah di ranjang.Ketika pintu lift terbuka, aku mendapati seseorang sudah ada di dalamnya.Rayyan.Tentu saja.Ia berdiri tegap dengan jas masih rapi, padahal jam sudah hampir tengah malam. Aku menghela napas dalam hati. Dari semua kemungkinan, kenapa harus bersamaan dengan dia?“Masuk atau tidak?” suaranya terdengar dingin.Aku menahan diri agar tidak mendengus. “Masuk, tentu saja,” jawabku sembari melangkah.Pintu lift tertutup. Hening. Hanya suara mesin lift yang menderu pelan. Aku berusaha menatap ke depan, menjaga jarak sejauh mungkin. Namu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments