Mag-log inIa arogan, dingin, dan tak pernah salah di matanya. Ia keras kepala, berani, dan selalu siap melawan. Sejak pertemuan pertama, Aisyah dan Rayyan seperti api dan bensin—saling membakar. Namun, kebencian yang mereka pupuk justru perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya: cinta. Mampukah mereka berdamai dengan luka masa lalu dan gengsi masing-masing? Atau justru takdir memisahkan dua hati yang diam-diam saling mencari?
view moreAku menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen sebanyak yang kubisa. Mencoba menenangkan detak jantungku yang sejak tadi berlari kencang seolah ingin keluar dari rongga dadaku.
Sekian banyak perusahaan yang kukirimkan lamaran, perusahaan satu inilah yang terbaik diantara perusahaan lainnya yang membalas emailku. Alfarizi Corporation—nama besar yang sudah kudengar sejak SMA. Kantornya menjulang tinggi, kaca-kaca luarnya berkilau menyilaukan di bawah sinar matahari. Gedung ini seperti simbol kekuasaan dan kesuksesan di tengah hiruk pikuk kota, dan aku berdiri di depannya dengan selembar CV yang terasa jauh lebih tipis dibandingkan beban hidupku. Aku menunduk, mengecek lagi map coklat yang berisi ijazah dan surat lamaranku. “Bismillah, semoga lancar,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri, mencoba meyakinkan diri. Kakiku melangkah dengan sedikit gemetar, detak jantung belum juga tenang, tapi aku berusaha menegakkan punggung dan berdiri tegap. Bagaimanapun, aku tidak boleh terlihat minder dan meragukan dalam sesi wawancara ini. Perjalanan 5 meter terasa seperti 500 meter bagiku. Pintu masuk perusahaan yang sedari tadi kulihat juga tak kunjung sampai. Aku secara tak sadar telah memperlambat langkahku, mencoba sebisa mungkin menunda waktu. Namun tahap ini harus tetap kuhadapi. Langkahku berhenti tepat di depan meja resepsionis. Seorang wanita berpenampilan modis dengan blazer hitam dan rambut dicepol rapi menyapaku dengan senyum sopan nan profesional. Penampilannya membuatku semakin ingin bergabung dengan perusahaan ini. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya terdengar lembut tapi berwibawa. “Saya Aisyah Rahmani. Ada jadwal wawancara jam sembilan,” jawabku pelan, berusaha terdengar tenang meski telapak tanganku dingin dan suara hatiku riuh seperti genderang perang. Resepsionis itu memeriksa daftar nama di komputernya sebentar, lalu mengangguk sopan. “Silakan naik ke lantai dua puluh. Ruang wawancara ada di sebelah kanan lift.” Aku mengucapkan terima kasih, lalu melangkah menuju lift dengan napas panjang. Jantungku makin tidak karuan. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Uang tabunganku kini hampir habis, sementara kontrakan, listrik, dan kebutuhan sehari-hari terus menghantui. Masih ada juga ibuku yang menanggung di kampung. Pekerjaan ini bukan hanya sekadar pekerjaan bagiku—ini adalah harapan akan masa depanku. Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah masuk. Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan sosok itu. Seorang pria tertampan yang pernah kulihat, dengan setelan jas hitam yang terlihat mahal berdiri di sudut. Kemeja putihnya rapi, dasi hitamnya terikat sempurna, dan ponsel hitam elegan ada di tangannya. Wajahnya… kaku dan dingin. Pria itu mendongak sekilas ke arahku, tatapannya tajam menusuk, seperti menyelidiki seseorang hanya dalam sepersekian detik saja. Ia membawa aura kuat dalam dirinya, membuat lift yang terisi hanya satu orang terasa sesak, seolah ruangan sempit itu terlalu kecil untuk menampung wibawanya. Aku ragu untuk masuk, namun logika mengalahkan kebimbanganku. Saat pintu lift hendak tertutup, aku segera melangkah masuk. Namun na'as, karena terburu-buru, tumit sepatuku malah tersangkut. “Ah!” seruku panik. Aku segera menstabilkan posisiku dan buru-buru berdiri agak menjauh, mencoba menjaga jarak. Pria itu menghela napas panjang, jelas terganggu. Ia menekan tombol ‘open’ dengan gerakan cepat, lalu menatapku tajam. "Kamu tidak tahu cara masuk lift dengan benar?” suaranya teramat dingin, dipenuhi nada mengejek. Membuatku merinding sekaligus jengkel. Aku terdiam beberapa detik, wajahku panas. Sungguh menyebalkan. Baru pertama kali bertemu, sudah disambut dengan kalimat seperti itu. “Maaf.” jawabku singkat, meski suaraku bergetar masih deg-deg an hampir jatuh dan menahan malu. Dia hanya mengerutkan alisnya, lalu kembali menatap layar ponselnya seakan aku tak lebih dari lalat yang tak sengaja lewat di depannya. Perjalanan ke lantai dua puluh terasa panjang sekali. Aku meliriknya dari sudut mata—tinggi, tegap, wajahnya terlalu sempurna untuk pria normal. Namun sikapnya langsung menghapus kesan positifku kepadanya. Tipe yang benar-benar menyebalkan. Pintu lift akhirnya terbuka, dan ia melangkah keluar lebih dulu. Aku mengikuti dari belakang, masih kesal, sambil bergumam dalam hati, semoga aku tidak perlu berpartner dengannya jika aku diterima di sini. Tunggu, kata siapa pria tadi karyawan di sini, bisa saja dia hanya tamu atau rekan kerja dari perusahaan lain yang berkunjung. Semoga saja. Tapi harapanku sirna begitu memasuki ruang wawancara. Saat aku mendorong pintu dan masuk, darahku langsung berdesir.Siang itu, Hana datang menghampiri mejanya dengan senyum usil.“Aku lihat Pak Rayyan tadi puji kamu lagi di depan tim. Kamu nggak deg-degan?” godanya.Aisyah pura-pura sibuk merapikan kertas. “Itu biasa aja, Han. Pujian kerja, bukan yang lain.”Hana mendekat, berbisik, “Kamu masih nggak sadar juga? Cara dia lihat kamu beda, Sya. Dia mungkin nggak ngomong, tapi aku yakin dia peduli lebih dari sekadar atasan ke bawahan.”Aisyah menghela napas. “Justru itu masalahnya. Dia nggak pernah ngomong. Kalau semua ini cuma aku yang salah paham, aku bisa kewalahan, Han. Dan aku nggak bisa ambil risiko itu.”Hana menepuk tangannya lembut. “Terus kalau Farid?”Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam lama. “Farid… baik. Dia jelas sama perasaannya. Tapi aku nggak tahu, Han. Aku nggak ngerasa deg-degan kayak… kayak kalau sama Pak Rayyan.” suaranya hampir tidak terdengar di akhir kalimat. Ini pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada orang lain.Hana tersenyum miris. “Kadang yang
Rayyan duduk di ruang kerjanya malam itu, hanya ditemani lampu meja dan layar laptop yang menyorot berkas-berkas proyek Dubai. Matanya menelusuri angka-angka, grafik, dan catatan rapat, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan pertemuannya dengan Farid di kafe terus kembali. Senyum ramah pria itu, kalimat-kalimatnya yang terdengar tulus, seolah menggema di kepalanya. “Saya ingin ada di sisinya. Agar dia tidak merasa sendirian.” Kata-kata itu membuat Rayyan menggenggam erat pulpen di tangannya. Bukan marah—lebih kepada rasa tidak rela yang sulit ia definisikan. Merasa tidak mampu memberikan yang serupa. Ia tahu, kali ini, ia tidak hanya menghadapi kompetitor bisnis, tapi juga kompetitor hati. Dan yang membuatnya semakin sulit: kompetitor ini tidak bisa ia kalahkan dengan angka, kontrak, atau hukum. Rayyan menarik napas panjang, bersandar di kursinya. Ia harus berpikir elegan. Bukan frontal, bukan dengan kekuasaan yang bisa membuat Aisyah merasa terkekang. “Aku harus men
Rayyan pagi itu terlihat lebih serius dari biasanya. Wajahnya tegang, suaranya dingin ketika memberi instruksi.“Aisyah, laporan progress terakhir sudah kamu siapkan?”“Sudah, Pak.” Aisyah menyerahkan berkas dengan hati-hati.Rayyan menerimanya tanpa banyak bicara, tapi tatapannya singgah lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di balik mata itu—campuran antara ingin bicara, tapi menahan diri.Aisyah merasa tidak nyaman. Ia bisa menebak, mungkin Rayyan melihat dirinya dengan Farid kemarin.Siang hari, saat makan siang bersama Hana, gosip mulai muncul.“Halo, Nona populer,” Hana menyikutnya pelan.Aisyah mengernyit. “Apa lagi, Han?”“Aku lihat kemarin kamu jalan sama cowok ganteng bawa bunga. Siapa tuh? Jangan bilang pacar lama yang tiba-tiba balik.”Aisyah hampir tersedak. “Bukan, bukan. Dia teman kuliah. Namanya Farid.”Hana tertawa kecil. “Teman kuliah yang bawain bunga? Hmm, oke deh.”Aisyah mendesah. “Serius, Han. Jangan mulai gosip. Aku nggak mau ada yang salah paham lagi.”Tapi da
Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.