Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku

Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku

last updateLast Updated : 2025-09-02
By:  Cahya Nirmala Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
Not enough ratings
15Chapters
21views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Ia arogan, dingin, dan tak pernah salah di matanya. Ia keras kepala, berani, dan selalu siap melawan. Sejak pertemuan pertama, Aisyah dan Rayyan seperti api dan bensin—saling membakar. Namun, kebencian yang mereka pupuk justru perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya: cinta. Mampukah mereka berdamai dengan luka masa lalu dan gengsi masing-masing? Atau justru takdir memisahkan dua hati yang diam-diam saling mencari?

View More

Chapter 1

Bab 1 – Pertemuan Pertama

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang sejak tadi berlari kencang. Dari sekian banyak perusahaan yang kukirimkan lamaran, hanya satu ini yang benar-benar membalas emailku. Alfarizi Corporation—nama besar yang sudah kudengar sejak SMA. Kantornya menjulang tinggi, kaca-kaca luarnya berkilau menyilaukan di bawah sinar matahari. Gedung ini seperti simbol kekuasaan dan kesuksesan, dan aku berdiri di depannya dengan selembar CV yang terasa jauh lebih tipis dibandingkan beban hidupku.

Aku menunduk, mengecek lagi map biru yang berisi ijazah dan surat lamaran. “Bismillah, semoga lancar,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri. Kakiku melangkah dengan sedikit gemetar, tapi aku berusaha menegakkan punggung. Bagaimanapun, aku tidak boleh terlihat minder.

Langkahku berhenti tepat di depan meja resepsionis. Seorang wanita berpenampilan modis dengan blazer hitam dan rambut dicepol rapi menyapaku dengan senyum profesional.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya terdengar lembut tapi berwibawa.

“Saya Aisyah Rahmani. Ada jadwal wawancara jam sembilan,” jawabku, berusaha terdengar tenang meski telapak tanganku dingin dan suara hatiku riuh seperti genderang perang.

Resepsionis itu memeriksa daftar nama di komputernya, lalu mengangguk sopan. “Silakan naik ke lantai dua puluh. Ruang wawancara ada di sebelah kanan lift.”

Aku mengucapkan terima kasih, lalu melangkah menuju lift dengan napas panjang. Jantungku makin tidak karuan. Aku butuh pekerjaan ini. Uang tabunganku hampir habis, sementara kontrakan, listrik, dan kebutuhan sehari-hari terus menghantui. Pekerjaan ini bukan hanya sekadar pekerjaan bagiku—ini adalah harapan terakhir.

Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah masuk.

Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengannya.

Seorang pria dengan setelan jas hitam yang terlihat mahal berdiri di sudut. Kemeja putihnya rapi, dasinya terikat sempurna, dan ponsel hitam elegan ada di tangannya. Wajahnya… dingin. Tatapannya tajam menusuk, seperti bisa menilai seseorang hanya dalam sepersekian detik. Ada aura kuat di sekelilingnya, membuat udara di dalam lift terasa menekan, seakan ruangan sempit itu terlalu kecil untuk menampung wibawanya.

Aku buru-buru berdiri agak menjauh, mencoba menjaga jarak. Namun malang, saat pintu lift hendak menutup, tumit sepatuku malah tersangkut.

“Ah!” seruku panik.

Pria itu menghela napas panjang, jelas terganggu. Ia menekan tombol ‘open’ dengan gerakan cepat, lalu menatapku tajam.

“Kau tidak tahu cara masuk lift dengan benar?” suaranya dingin, penuh nada mengejek.

Aku terdiam beberapa detik, wajahku panas. Sungguh menyebalkan. Baru pertama kali bertemu, sudah disambut dengan kalimat seperti itu.

“Terima kasih,” jawabku ketus, meski suaraku bergetar menahan malu.

Ia hanya mengangkat alis, lalu kembali menatap layar ponselnya seakan aku tak lebih dari gangguan kecil dalam hidupnya.

Perjalanan ke lantai dua puluh terasa panjang sekali. Aku meliriknya dari sudut mata—tinggi, tegap, wajahnya terlalu sempurna untuk pria normal. Sayangnya, sikapnya benar-benar menyebalkan.

Pintu lift akhirnya terbuka, dan ia melangkah keluar lebih dulu. Aku mengikuti dari belakang, masih kesal, sambil bergumam dalam hati, semoga aku tidak perlu bertemu lagi dengan pria sombong ini.

Tapi begitu memasuki ruang wawancara, darahku langsung berdesir.

Di kursi utama, pria itu duduk dengan tenang. Kedua tangannya terlipat di atas meja, tatapannya kini terarah penuh padaku.

“Aisyah Rahmani?” suaranya terdengar jelas, tajam, tapi kali ini lebih formal.

Aku tertegun. Jadi… pria menyebalkan di lift tadi adalah… pewawancara utamaku?

Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. “I-iya, saya.”

Sudut bibirnya melengkung tipis, bukan senyum ramah, melainkan semacam senyum meremehkan.

“Menarik. Mari kita mulai wawancaranya.”

Jantungku langsung turun ke perut. Astaga, kenapa harus dia?

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
15 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status