Melly sebenarnya tak peduli dengan kelakuan anak kelas yang bising karena targetnya saat ini adalah Eva. Tapi telinga cewek itu panas sendiri mendengar lirik lagu yang dinyanyikan Iqbal. Maksudnya ingin menyindirkah? Kenapa pula Melly iri pada orang miskin? Lucu!
"Diem lo!" Salsa melotot pada cowok itu membuat Iqbal bersama teman-temannya menaikkan alis menatap cewek itu aneh.
"Lah? Suka-suka kitalah, orang kita mau nyanyi," tukas Iqbal mewakili suara teman-temannya. Memang senang sekali rombongan cowok di kelas ini memancing emosi geng Qotsa. Apalagi ada Iqbal di sini. Selaku ketua kelas cowok itu berani saja pada anggotanya. Kenapa takut? Orang tuanya juga pebisnis kaya raya.
"Jangan! Jangan iri! Jangan iri dengki!"
Hampir semua cowok di kelas ini bernyanyi dengan lirik seperti itu seraya berteriak. "Azeek!!"
Tangan Salsa mengepal keras memandang mereka semua yang makin jadi. "Kampungan lo pada!" bentaknya emosi.
Eva menutup mulutnya dengan punggung tangan berusaha menahan tawa. Ia geleng-geleng kepala. "See? Anak kelas juga tau kalo kalian iri sama gue," ucap Eva angkuh seraya menaikkan dagunya. "Kalo iri gak usah dipamerin bangetlah. Keliatan gak mampunya."
Dina melotot murka mendengar hal itu. "Lo?!" geramnya menunjuk wajah Eva dengan emosi. Terlebih Melly yang wajahnya kian memerah padam.
"Gue kasih tau ya, biar lo sadar! Anak kampungan dan introvert yang minim sosialisasi kayak lo gak pantes jadi ketua OSIS. Lo pikir lo siapa bisa pegang jabatan itu hah?! Asal lo tau, gak ada satu pun murid TB yang milih lo. Lo dapetin jabatan itu karena ditunjuk langsung sama bu Rani. Jadi gak usah sok berkuasa di sini!" bentak Dina menggebu-gebu.
"Dasar introvert!! Anak rumahan gak bisa bersosial sok-sok an mau jadi ketua OSIS. Dipikir gampang? Lo kira lo mampu?!" bentak Salsa.
Lucu sekali. Padahal Eva hanya diam saja, tapi mereka sudah tersulut emosi sendiri. Ketika Eva belum menjabat sebagai ketua OSIS, Eva dan geng Qotsa itu seperti tak saling kenal dan tak pernah peduli satu sama lain. Setelah Eva diangkat menjadi ketos, mereka seperti sengaja mencari masalah. Jadi dipikirnya selama ini Eva diam melihat kelakuan mereka yang sok berkuasa itu karena Eva termasuk anak-anak yang takut pada mereka? Mimpi saja sana!
Melly menyilangkan tangan di depan dada. Tatapannya merunduk guna memandang Eva yang duduk di bangkunya. "Kayaknya bangga bet lo jadi ketos sampai berani ngelawan gue."
Eva mendengus remeh. Tak tanggung-tanggung dengan sekali hentakan Eva menghantam mejanya menggunakan modul Fisika yang tepat berada di atas meja hingga menimbulkan bunyi gebrakan nyaring sampai mengagetkan beberapa orang. Bibir Eva tertarik menciptakan senyuman miring melihat tiga cewek sok berkuasa ini tampilkan raut syok yang tak dapat ditutupi.
Eva berdiri dari kursinya dan menyingkirkan benda itu menjauh dari jamahannya. "Sejak kapan gue takut sama lo hah? Nggak pernah!!"
Pandangan yang mulanya terarah pada Melly, kini berpindah pada Salsa. Eva menyorot tajam cowok itu. "Dan lo?! Gak usah nyimpulin sesuka hati lo tentang orang-orang yang punya kepribadian introvert! Gak bisa hidup saling menghargai kepribadian masing-masing hmm? Kalo mau cari sensasi gak usah sebegininya setan! Kalo gue bilang anak esktrovert kayak jablay keluar rumah terus—"
Eva menjedanya guna menetralkan napas yang berderu hebat karena tersulut emosi. "Gimana perasaan lo?" lanjutnya lagi, tetapi kali ini intonasinya meredup.
Sentuhan lembut pada lengannya Eva rasakan. Sudah pasti Uma yang melakukannya. Gadis itu berbisik pelan menyuarakan nama Eva berharap emosi sahabatnya itu dapat mereda. Namun sayangnya Eva menepis tangan itu. Ia merunduk dengan kedua tangan bertumpu di atas meja. Tatapan tajamnya menghunus retina Dina yang berdiri tepat di depannya.
"Lo pikir gue mau jadi ketos? Udah tau gue ditunjuk langsung sama bu Rani!" Eva bersuara lelah. Sudah terlalu muak mendapati tatapan orang-orang yang seakan-akan menyalahkannya ketika Eva menjadi ketua OSIS. Mereka pikir Eva mau? Bahkan Eva sendiri saja tak tahu kenapa tata letak jabatan antara dirinya dan Adam bisa berubah.
"Paham nggak sih?!!" jeritnya lagi penuh frustasi.
Eva menelan salivanya dengan susah payah. "Gila hormat banget sih kalian. Kalo ngerasa mampu jadi ketos, dengan senang hati gue kasih bekas jabatan gue ini biar disegani sama seluruh murid TB. O, ya. Biar sekalian bisa caper sama anak Kompeni," tukasnya seraya menaikkan sebelah alis.
Semua orang juga sudah tahu Melly memang tergila-gila pada sosok Arta. Cewek itu menyimpan rasa suka bahkan sejak menjadi murid baru. Mungkin alasannya selalu cari sensasi dan haus perhatian begini supaya dia bisa populer agar dapat setara ketika bersanding dengan Arta yang merupakan cowok paling terkenal dan paling ditakuti di Taruna Bangsa.
Meyaksikan mereka yang terdiam dengan wajah memerah padam serta tangan mengepal membuat Eva menyemburkan tawa. "Pertanyaannya lo mampu gak, Bos?" Makin sengaja menekan setiap kata dalam pertanyaannya.
"Bacot banyak alasan lo!" Seorang cowok di kelas ini menyahut sinis. Sudah tak dapat menahan diri menonton pedebatan mereka sedari tadi. Namanya Bima. Cowok itu adalah OSIS bidang keamanan dan merupakan friendzone Salsa. "Kalo emang lo nggak mau, lo bisa nolak 'kan? Dasar munafik!"
Senyuman Salsa merekah mendengar ia mendapat pembelaan. "Bima!" panggilnya dengan gaya centil. Sesaat ekspresi gadis itu murung. "Gimana bisa dia nolak? Dia kan babu sekolah."
Ucapan yang baru saja dilontarkan Salsa disambut gelak tawa hampir oleh seisi kelas. Melly mengangguk setuju akan hal itu. "O, iya, lupa gue. Anak beasiswa kan emang jadi babu sekolah. Gak mampu bayar sih!!"
Hinaan itu membuat mata Eva mamanas seketika. Ia begitu sensitif jika dihina soal ekonomi seperti ini. Karena itu semua di luar kendalinya. Menjadi yatim bukanlah keinginannya. Memiliki takdir sebagai seorang anak janda penjual kue bukan keinginannya. Prestasi bisa Eva usakan. Tapi soal ekonomi? Eva tak bisa apa-apa selain menerima hidupnya seperti ini untuk sekarang.
Berakhir Eva mengepalkan tangan sekuat tenaga, melampiaskan seluruh emosionalnya untuk ini. Menahan air matanya yang hendak mengucur. Hingga sebuah suara menginterupsi dan berhasil alihkan atensi seisi kelas.
"Permisi! Seluruh OSIS yang ada di kelas ini diharapkan untuk kumpul semuanya di ruang OSIS. Sekarang!"
Dia Adam, wakil ketua OSIS yang digadang-gadangkan sebagai ketua OSIS sebelumnya. Bahkan hampir seluruh murid TB mendemo pihak pengurus saat pelantikan resmi dilaksanakan. Mereka bersikeras ingin Adam menjadi ketua OSIS, sayangnya keputusan bu Rani tak dapat diganggu gugat. Beliau sudah bulat menunjuk Eva sebagai ketos.
Cowok itu masuk jajaran most wanted dari kelas 11. Perawakan yanh rupawan juga wajah yang tampan serta merupakan anak dari pebisnis sukses membuatnya memiliki segudang fans di real life maupun sosial media.
⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆
Eva merasa, meski dirinya dibenci karena jabatan ketua OSIS ini, di samping itu banyak juga pelajaran dan pengalaman yang didapat dari organisasi tersebut. Mungkin tak apa mempertahankan jabatan ini selama ujaran kebencian yang ia terima masih dapat ditoleransi. Walau begitu, jujur saja sangat menyesakkan ketika ada orang yang mengatainya sebagai 'babu sekolah'.
Sudah cukup ia merasa rendah diri mengendarai sepeda ke sekolah ketika teman-teman yang lain menggunakan mobil.
Merasa rendah ketika teman-teman dapat membanggakan ayah mereka sebagai pebisnis atau pun pengusaha sukses yang kaya raya.
Sementara ia? Ayahnya sudah tiada, berada tenang di sisi tuhannya.
Sudah cukup ia merasa rendah berdiri di antara orang-orang yang lebih dari dirinya. Haruskah ada lagi kata 'babu sekolah' untuk kembali membuatnya semakin merasa rendah berdiri di sini?
TAHAN, JANGAN BERHENTI DULU. INI MASIH BAB 5. Follow Instagram @hamiasquad jangan sampai lupa🧡
Tristan adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua saudara perempuannya tidak tinggal serumah dengan orang tuanya. Tertinggal hanya Tristan yang masih duduk di bangku kelas 12 di SMA Garuda, salah satu SMA unggulan di Bandung. Kakak pertamanya menikah dengan seorang prajurit nasional yang bergabung dengan angkatan laut. Dia saat ini sedang mengandung keponakan pertama Tristan. Sedangkan adik keduanya sedang menjalani semester akhir pendidikan kedokteran di Spanyol."Kak Keinara belum lahir? Aku belum pernah mendengarnya," ucap Eva merasakan betapa sepinya rumah sepupunya.Betapa tidak, Tristan yang kerap berada di markas karena menjabat sebagai ketua geng motor membuat orang tuanya harus selalu menyendiri di rumah. Beruntung om Abian dan tante Azka bekerja di bidang yang sama. Mereka sukses membuka cabang restoran yang mereka kelola di pusat kota setiap provinsi di Indonesia. Bahkan untuk rencana ke depan, mereka akan memperluasnya hingga ke luar negeri.“Tujuh bulan lagi, Eva,” uc
Baru saja pikiran Eva terganggu karena sikap Bima yang tetap jahat padanya padahal Eva sudah berbesar hati hendak berdamai dengan cowok itu, kini Eva dikejutkan kembali dengan keadaan kelasnya yang jauh dari kata baik-baik saja.Kursi di sebelahnya, artinya tempat duduk teman sebangkunya. Telah habis diorat-oret menggunakan tinta hitam hingga tampak kotor sekali. Pelakunya adalah seorang cheerleader Taruna Bangsa. Tahu? Merusak satu aset saja milik Taruna Bangsa maka akan dikenakan denda yang tak main-main. Mungkin bagi mereka para anak orang kaya ini, hal itu bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan karena mereka sangat mampu. Namun Uma? Bisa saja mereka yang merusak, tapi justru Uma yang diwajibkan membayar denda karena bangku ini adalah bangku Uma.Eva sangat tahu persis bagaimana sulitnya ekonomi sahabatnya itu. Membayar sekolah saja sudah mati-matian bahkan sering tak bawa uang jajan. Sering melihat Uma setiap hari membawa bekal ke sekolah? Itu karena dia tak bawa uang. Ingat dia p
Baik Arta maupun Tristan, keduanya sama-sama membatu dan saling melempar tatapan tak menyangka satu sama lain. Bagaimana mungkin Arta baru mengetahui bahwa Eva adalah adik Tristan? Ternyata ada banyak informasi tentang Eva yang Arta belum ketahui. Ia pikir Eva hanyalah siswi miskin biasa yang kebetulan menjadi ketua OSIS. Rupanya Eva tidak sesederhana itu."Lo temen adek gue?" kelakar Tristan tak dapat menutupi rasa terkejutnya."Dia adek kelas gue," ralat Arta segera sembari menunjuk Eva yang hanya setinggi bahunya itu dengan dagunya. "Nyokap Eva nitipin Eva ke gua," lanjutnya kemudian dengan aura keposesifan yang sangat kental. Selebihnya agar Tristan tidak salah paham saja, kenapa adik kelas dan kakak kelas bisa sedekat ini.Mendengar hal itu Tristan semakin terkejut. "Oh lo deket sama adek gue?" berondongnya pada Arta seraya menatap Eva bangga. Pintar juga adiknya ini cari circle. Sementara Eva menyengir polos merespon tatapan abangnya."Kak Arta!" panggil Eva pada Arta, membuat ke
Eva menyukai suasana sejuk dan tenang di malam hari. Ia baru saja selesai mandi. Masih dengan gulungan handuk di kepala, merasa lebih segar dan lebih baik. Mabuk di dalam bus selama perjalanan benar-benar menguras tenaga. Eva lemas sekali dibuatnya. Eva duduk di pinggiran kasur dengan tangan aktif menggosok-gosokkan handuk pada rambut agar cepat kering. Dalam satu kamar ini terdapat empat orang anak OSN, termasuk Eva sendiri. Mereka duduk berkumpul di sofa seraya memakan berbagai macam cemilan yang Eva sendiri ngiler melihatnya. Tentu saja perutnya lapar keroncongan. Seharian ia hanya makan satu gembung pemberian Arta di bus tadi. Namun, untuk minta Eva malu. Dirinya tidak dekat dengan mereka. Pun hendak ngumpul bareng, Eva segan sendiri. Akhirnya ia sok sibuk dengan rambutnya. "Gue ada hairdryer tuh di dalam tas kalo mau make," celetuk Cia salah satu teman sekamar Eva di hotel ini. Eva tersenyum kaku. Eva tahu bahwa itu adalah alat untuk mengeringkan rambut. Namun, Eva tidak tahu
Aurel bersama dua adik kelasnya, Eva dan Uma saling bersenda gurau dan membicarakan hal random untuk mereka bahas. Hingga di mana Selin beserta dua temannya datang memasuki kantin dan duduk di salah satu bangku kosong yang berada di pojok kiri, Eva langsung melirik Aurel memberikan isyarat lewat tatapan mata. Aurel mengangguk pasti menanggapinya. Dia berdiri sembari membawa gelas minumannya yang masih terisi setengah. Tentu saja tindakannya itu diikuti oleh Eva. Sementara Uma yang tidak tahu apa-apa hanya menatap kedua orang itu dengan mata mengerjab bingung. Pada akhirnya ia hanya ikut-ikutan Aurel dan Eva saja menuju bangku di mana Selin bersama dua temannya itu berada. "Hai, Aurel!" sapa salah satu teman Aurel dengan senyum manis tetapi penuh manipulatif. "Are you wanna join here?" tanyanya sok asik. Sayangnya sapaan basa basi tersebut tidak mendapat gubrisan apapun dari Aurel. Justru Aurel mendengus remeh memandang ketiga orang itu dengan tatapan jijik yang sangat kentara. Aurel
Jika hendak menganalisa akun lambe turah masing-masing sekolah favorit di Jakarta Selatan ini, maka sudah pasti Taruna Bangsa akan menjadi miss dalam mencari sensasi. Followers dan jumlah upload-nya nyaris sebanding, terus bertambah setiap hari karena pasti selalu ada saja hal-hal mengejutkan yang diposting oleh adminnya. Diketahui bersama pula bahwa admin akun gosip SMA ternama tersebut tidak hanya segelintir orang saja, tetapi hampir seluruh siswi dari kelas 12. Oleh karena itu sulit bagi mereka yang tidak punya kekuasaan untuk mencari tahu dalang yang sebenarnya jika terjadi sesuatu. Tak peduli hanya kabar burung yang belum pasti kebenarannya seperti separuh video yang dapat mengundang salah paham bahkan menciptakan kontroversi, yang mereka tahu hanya memposting itu semua dan menyebarkannya untuk menarik perhatian para netizen! Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena gila kepopuleran sehingga berbagai cara dilakukan sampai kehausan sensasi! Usai menenangkan Eva yang bersedih,