"Va!"
"Eh?" Eva tersentak kaget dan segera menoleh ke arah sumber suara. Berdiri Yana di sebelahnya.
"Dih, ngelamun lo? Dipanggi dari tadi juga."
"Gak denger," sahut Eva pelan. Kepalanya celingukan memandang ke dalam kantor. "Udah selesaikah?"
Baru saja Eva menemani Yana ke kantor urusan perbendaharaan. Pastinya cewek itu menerima uang yang sangat fantastis untuk segala project dan kegiatan OSIS.
"Iya. Yuk balik ke kelas. Gue laper bangett tauuuu. Tadi gegara lo ribut sama geng Qotsa jadinya gak sempet makan keburu dipanggil rapat."
"Ih, gue lagi!" Eva berseru tak terima. "Mereka duluan yang mulai."
Yana memutar bola matanya malas. "Ngapain diladenin. Semuanya juga udah tau mereka emang gitu. Sok berkuasa terus kerjaannya cari sensasi. Diladenin mah nambah jadi."
"Definisi diladenin tambah jadi, gak diladenin ngelunjak," komentar Eva.
"Ya ayok ngobrolnya sambil jalan jangan diem di sini ajaaaa!" Yana jadi gemas sendiri.
"Na, temenin gue ke kantin bentar, yuk. Mau nggak?"
"Beli apa emang?"
"Pengen es. Haus banget gue. Gak ngebayangin lo jadi gue ngomong keras di ruangan tadi. Haus bet tau nggak sih?"
"Ya ampun, Vaaa. Kan lo bawa minum sih. Minum air putih biasa aja kenapa? Malah minum es. Ntar sakit lho."
"Ish, Yana!" kesal Eva seraya menghentakkan kaki. "Gak mempan minum air putih tuuh. Pengennya es aja lebih seger. Rasa jeruk nipis enak nih."
"Duuh, Va. Pengen banget ya lo? Pasti ngantri di kantin tuh jadi lama. Gue udah laper banget nih. Minum putih aja kenapa sih?"
Eva menghela napas. Jika diteruskan perdebatan ini maka tak ada yang mau mengalah. "Lo nggak mau nemenin gue?" tanya Eva sedih.
"Ya ampun, bukan gak mau, Va. Coba deh lo liat sekarang udah jam berapa. Nggak lama lagi bel masuk, mana kita juga belum makan. Lo belum sarapan udah mau minum es aja, ntar kembung tuh perut."
Eva mengembungkan pipi. Sebenarnya ia ingin sekali minum es, tapi apa yang dikatakan Yana memang ada benarnya juga. Mengalah sajalah. Sepengen-pengennya Eva minum es, tapi kalau sendirian ke kantinnya ya malas juga.
"Ya udah deh."
Namun, baru saja beberapa langkah bergerak menjauh dari teras kantor, nama Eva seketika dipanggil membuat ke-dua cewek itu menoleh kembali ke belakang.
"Sini bentar, Va!" ujar si sumber suara yang setelah dilihat ternyata adalah Adam.
Eva menoleh pada Yana. Memberi isyarat untuk Yana ikut Eva kembali ke sana. Seakan mengerti, Yana berkata, "gue nunggu di sini aja."
Eva berdecak dan menghela napas. Oke, tak apa. Ia berjalan ke arah Adam berada. Mendongak karena perbedaan tinggi. "Apa?" tanyanya.
"Katanya lo tadi mau beli es, ya? Gue ga sengaja denger pas di pintu kantor," lanjut Adam seakan tahu apa yang Eva pikirkan.
Eva manggut-manggut. Pikiran Eva sudah berjalan, mungkin Adam juga hendak ke kantin membeli es. Tak pergi dengan Yana, bolehlah pergi dengan Adam. Malah lebih bagus, biar kebakaran jenggot sekalian para haters ngeliat most wanted angkatan 11 jalan bareng ketos upik abu ini.
"Iya, tadi emang rencananya mau beli es di kant–"
"Nah, gue nitip minum, ya?"
What?!! N-nitip?
Dari gesturnya Adam memang seperti tengah terburu-buru, mungkin karena ada urusan. Ia mengeluarkan secara acak isi dompetnya yang justru membuat uang ratusan ribu di dalam sana tercecer ke mana-mana di lantai.
Eva menganga melihat itu. Cowok itu pun sama kagetnya dan langsung memungut kembali uangnya yang berserakan. "Astagaaa!" keluhnya tak lagi menyusunnya dan langsung digulung-gulung lalu dimasukkan ke dalam dompet.
Sedang Eva menganga kaget karena jumlah uang yang sangat banyak itu. Percayalah, satu lembar uang merah itu adalah jajan Eva selama satu minggu. Ia menelan saliva, syok melihat uang segitu banyaknya dipegang oleh anak sekolahan. Jajan orang kaya memang segini, ya? Eva baru tau.
Masih dalam mode terkejutnya ia menerima selembar uang dari Adam. "Minuman apa aja terserah. Ntar gue ambil ke kelas lo. Makasih."
Saat cowok itu pergi barulah Eva tersadar. Ia hendak protes, tapi Adam sudah jauh dari pandangan, sedang uang sudah di tangan. Kalau tidak dibelikan nanti bagaimana, 'kan?
Ya ampun, benar-benar, ya!!
"Aaaa, Yanaa!" Eva menjerit sambil setengah berlari mendatangi sahabatnya yang masih menunggu. "Adam nitip minum ke guee!" sungutnya seraya memamerkan selembar uang merah dari Adam tadi.
"Astatong!" Yana menepuk jidat. "Kenapa lo terima dodol?"
"Sebenernya gue mau nolak tadi. Cuma gimana, ya ... eum syok gitu."
Yana menganga. Syok katanya? Sudahlah, apa boleh buat!
⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆
Kini kantin Taruna Bangsa sudah terpampang jelas di hadapan dua gadis itu. Yana menghela napas berat ketika kantin sangat padat sekali oleh siswa/siswi. Segera ia mendorong bahu sahabatnya itu agar masuk ke dalam.
"Lo cepet masuk sana, gue tunggu sini."
Tak ingin berdebat dan tak mau lama juga, Eva akhirnya masuk ke dalam. Tujuannya ialah khusus kantin kelas 11. Usai membeli apa yang ia mau, Eva sesegera mungkin untuk keluar. Sambil menuju pintu utama kantin, ia bersenandung kecil dengan kepala yang bergerak ke kanan dan ke kiri secara seirama. Tak sabaran ia menyeruput jus jeruk nipisnya. Ah, segarnyaa.
Namun hal yang terduga justru terjadi. Tabrakan cukup kencang yang membuat Eva hendak terjungkal jika tak dapat menyeimbangkan tubuhnya dengan baik. Di sini memang Eva yang menabrak. Demi apapun sedari tadi ia tak melihat ada orang di sini. Secara tiba-tiba saja ia sudah diam di sini dan seolah-olah membuat Eva tersalah.
Gadis itu terbatuk-batuknya saking terkejutnya. Sedang orang yang ditabrak diam di tempat tak bergeser sedikit pun. Hal yang refleks ketika Eva mendongakkan kepala untuk melihat siapa orang yang ia tabrak.
Seketika itu pula Eva melotot bungkam. Sadarkan bahwa cowok yang berdiri tangguh di depannya ini adalah Artanabil Hibrizi. Orang yang paling Eva hindari untuk bermasalah dengannya.
Eva menarik napas dalam mendadak merasa sesak napas. Ia menelan saliva dengan susah payah. "K-kak Arta maafin gue," pintanya pelan dengan suara yang putus-putus.
Tatapan Arta kian menyorot tajam. Baju cowok itu basah kuyup mencetak dadanya yang bidang akibat terguyur jus jeruk milik Eva yang isinya tinggal setengah.
Rautnya memerah padam dengan emosi yang amat kentara. Kian menyeramkan bagi siapapun termasuk Eva. Ia rasakan kakinya gemetar hebat tanpa bisa dikendalikan. Eva mundur beberapa langkah, tak kuasa merasakan aura pekat yang mengelilingi sosok Arta. Eva merasa terintimidasi!
"K-kak maaf, g-gue nggak sengaja." Permohonan Eva sampaikan dengan lirih. Suaranya bergetar ingin menangis saja takut diapa-apakan oleh cowok beringas itu.
Sedang suasana kantin benar-benar menghening akibat kejadian itu. Di satu sisi cewek-cewek yang ada di sana menahan jejeritan memandang nikmat tuhan yang tidak dapat didustakan. Sementara di lain sisi, semua orang secara terang-terangan melimpahkan seluruh salah lewat tatapan mata mereka pada Eva.
Cewek itu benar-benar selalu saja membuat emosi. Apa maksudnya mengguyur ketua geng Kompeni dengan air jus itu? Apakah dia tidak punya mata hingga tak menyadari ada Arta sebesar itu berdiri di depannya? Benar-benar tak perlu diragukan lagi ketololan ketos baru Taruna Bangsa ini.
Merasa sudah hebatkah menyandang jabatan sebagai ketos hingga seberani itu mencari masalah pada Arta? Walau telah menjadi ketos pun ia tetap tak ada apa-apanya dibandingkan Arta. Cowok itu disegani, dihormati, dan ditakuti semua orang.
Reza, wakilnya atau biasa disebut sebagai tangan kanannya itu menyerahkan baju ganti. Arta menggantinya di depan semua orang. Percayalah, semua kaum hawa sungguh ingin menjerit kencang jika tidak mengingat suasana saat ini sedang mencekam. Apalagi baju yang diserahkan Reza bukan baju sekolah, melainkan baju kaos berwarna hitam membuat ketampanan Arta bertambah berkali-kali lipat. Cowok itu berdiri dengan bersedekap dada. Tak lupa bandana terikat di kepalanya terpasang begitu indah. Lirikannya yang tajam dan rautnya yang datar itu membuat semua orang menahan napas menyaksikan manifestasinya.
Bahkan hanya dipandangi dan belum diapa-apakan begini saja kaki Eva sudah gemetar. Tangannya mendingin dan wajahnya pucat seketika. Mungkin ia masih berani pada apa pun di Taruna Bangsa ini selain Kompeni. Namun tidak untuk ketua geng ini. Kabar yang tersebar adalah cowok itu memang menyeramkan. Tak segan-segan menghajar orang yang mengganggunya. Baru saja Eva secara tak sengaja menyemburkan air jeruk nipis itu padanya?!
Semakin ingin meraung saat sadar orang macam Arta tak akan pernah menerima permohonan ampun, apalagi hanya sekedar kata maaf.
"Sebenarnya gue gak pernah peduli."
Suara berat Arta mengudara. Benar-benar hening hingga intonasinya yang tenang itu dapat didengar oleh semua orang. Seluruhnya tahu, dibalik ketenangan itu terdapat iblis yang sangat berbahaya dan siap menyiksa siapa saja.
"Saat murid TB gak suka sama ketua OSIS mereka yang sekarang, gue gak pernah peduli. Asal gak ganggu ranah ketenangan gue," ujarnya memandang objek di depannya dengan smirk.
"Tapi kayaknya emang lo yang mancing buat bikin gue ikut ngerundung lo, ya?"
Eva menggeleng kuat-kuat. Demi apapun ia tak pernah bermaksud seperti itu. Kalian tahu dengan Rehan Gunandya? Cowok itu adalah salah satu anggota inti geng Kompeni yang paling terkenal dalam urusan perundungan. Totalitas, tak pandang bulu, dan selalu membuat tahan napas ketika menyaksikannya. Sebrutal itu memang.
Bayangkan, anggotanya saja sebegitunya. Apalagi pemimpinnya? Asal tahu saja, Arta kebal hukum. Tak ada yang berani mengusiknya bahkan majelis guru. Ia tak peduli apapun asal ranah ketenangannya tak diganggu.
"Za!" interupsi cowok itu.
Hanya melalui tatapan mata saja Reza sudah memahami apa yang ketuanya itu mau. Ia menyerahkan sebotol mineral yang langsung diterima.
Perlahan dari kepala hingga mengalir sampai kaki. Cowok itu menghabiskan satu botol air untuk membalas perbuatan Eva tadi padanya. Menumpukan tangan pada lutut hingga posisinya sedikit merunduk dan wajahnya kini berada tepat di depan wajah Eva yang hanya setinggi dadanya saja. Eva memejam erat. Ingin kabur pun rasanya itu adalah pilihan konyol yang semakin membuat malu. Karena pastinya nanti sia-sia dan dengan mudahnya Arta akan mendapatkannya lagi. "Gue belum puas balesnya. Masih kesel," ujarnya. Botol kosong itu digunakan untuk menepuk kepala gadis di depannya ini. Tidak kuat, kok. Hanya pelan karena ia tahu, baru disiram air begini saja sudah mau menangis. Apalagi Arta memukulnya 'kan? Namun, jujur saja ia masih kesal dan belum puas membalasnya hanya seperti ini. Tangannya gatal ingin menonjok orang. Bugh! "Aaaa!" Eva menjerit. Berjongkok dengan kedua tangan menutupi telinga tak ingin mendengar apap
Akhirnya Eva bersama teman-temannya dapat menikmati bekal istirahat kali ini tanpa takut diganggu oleh hantu Qotsa lagi. Mereka memakan dengan lahap lauk seadanya tersebut. Sesekali bertukar lauk satu sama lain hingga sangat banyak sekali beraneka ragam lauk di atas piring. Mengenai air minum Eva yang habis dipakai untuk menyembur Melly tadi, ia menggantinya dengan mengambil air galon yang ada di ruang OSIS. Bersama Ana pergi ke sana yang ternyata air cewek itu hanya tinggal setengah dan ingin dipenuhi lagi. "Ehm. Lain kali kita bisa kali ya bikin video mukbang bareng hahaha. Liat nih makanannya banyak banget," celetuk Riska sambil menggigit sotong yang ada di tangannya. "Eh, iya ya?" Uma mengangguk setuju. Gadis manis itu meminum minumannya sebelum
Jum'at pagi kali ini awan mendung, cuaca pun sedikit berkabut. Namun kegiatan yang biasa berlangsung tetap terlangsung. Yakni Jumsih, alias Jum'at bersih. Eva selaku ketos menghimbau goro untuk bagian barat. Sisanya ia tak tahu menahu lagi. Boleh bayangkan sebesar apa Taruna Bangsa? Eva tak akan sanggup menanganinya seorang diri. Ada banyak anggota inti OSIS yang lainnya. Biarkan mereka memilih kawasan masing-masing. Di ujung lapangan, masih kawasan kelas 10. Segerombolan cewek duduk santai di taman kelas mereka. Bergosip ria dengan tangan sok sibuk memungut daun yang nyatanya nanti mereka buang lagi ke situ, lalu mereka pungut lagi. Begitu saja terus diulang-ulang. "Sumpah!! Gue masih gedek kalo inget kejadian kemarin!" Cewek berbanda army mengenakan kalung pas yang melingkari leher jenjang putihnya itu bersuara. Rautnya tampak menahan emosi dengan bibi
Seharusnya saat ini wayah ekskul Matematika. Eva serius mengikutinya dalam satu tahun terakhir karena ia berambisi ingin mewakili TB dalam ajang OSN tingkat nasional. Namun, hari ini ia merelakan jadwal ekskul terbengkalai hanya karena masalah baru yang muncul. Siapa bilang Eva akan santai setelah diancam beasiswanya dipertangguhkan? Tentu saja ia sangat kepikiran. Bahkan waktu seminggu yang diberi rasanya sangat singkat sekali untuk bertemu pada deadline. Yakinlah, tanpa beasiswa itu ia tidak akan bisa tembus bersekolah di TB. Sekelas sekolah elite kota Jakarta yang mayoritas murid-muridnya adalah dari anak para pengusaha dan pebisnis kaya raya. Eva berselonjor kelelahan. Ia sudah mencari di seluruh ruangan kelas 12 IPS 2 namun nihil. Bahkan Eva sudah mencari dengan kelelangan kelas tanpa ada orang lain lagi selain dirinya.
Berdiri sendiri di bawah pohon bintaro hiasan parkiran, Eva meremas tali tas ranselnya dengan pandangan mengitari SMA TB yang luas ini. Bahkan ketika anak-anak ekskul Matematika telah pulang pun, Eva tetap masih konsisten berada di kawasan sekolah mencari absen guru yang nyatanya tak kunjung ditemukan hingga saat ini. Helaan napas kasar, campuran antara rasa lelah dan kesal entah pada siapa. Tergopoh-gopoh seorang satpam sekolah menghampiri Eva hingga gadis itu tersadar dari ketercenungannya. "Neng! Kenapa belum pulang? Sekolah sudah sepi, guru-guru juga sudah pulang semua. Tinggal Neng sendiri aja." Pak Satpam itu berucap dengan raut yang harap-harap cemas. Eva menghela napas dibuatnya. Saat ini pikirannya saja masih kusut memikirkan absen guru yang tak kunjung ketemu. Bayangkan beasiswanya akan dipertangguhkan d
Kendaraan mewah terparkir secara acak tak beraturan di pekarangan rumah Arta yang luas. Semua itu karena ulah teman-temannya. Memang dasar mereka itu selalu sembarangan. Bahkan dirinya di sini masih mengutak-atik ponsel, mereka sudah masuk lebih dulu dan caper pada maminya. Arta abai. Biarkan saja mereka berbuat semaunya. Setelah rampung sedikit urusan dengan anggota Kompeni dari kelas 10 tadi, ia beranjak turun dari mobil dan ternyata ada Reza yang masih menunggunya. Tak salah menjadikan Reza wakil untuknya. Cowok itu patuh dan sangat setia. "Hai, Tan. Makin cantik aja." Belum apa-apa Yoyon langsung menggoda Zahra, mami dari bosnya itu. Yoyon tebak ketika masa sekolah dulu Zahra ini adalah primadona sekolah. Sudah tua begini saja masih kinclong, padat, dan cantik. Berbetulan dengan Zaki yang berjalan keluar bersa
Sabila berenang ke pinggiran kolam. Ia naik ke atas dan sudah ada Rehan di sana. Cowok itu bertelanjang dada karena ikut berenang mengiringinya tadi. Rehan naik duluan dan memeriksa ponsel. Ada panggilan tak terjawab dari Yoyon. Ia menaruh kembali benda pipih itu ketika Sabila datang menghampirinya. "Gampang banget," ucap gadis itu mendengus remeh. Ia meraup wajahnya sendiri dengan jemarinya yang mungil. Menggemaskan sekali di mata Rehan. "Itu kan airnya cuma sepinggang lo, Dek." Rehan meledeknya, suka sekali melihat wajah comel itu memberengut kesal. Terbukti bahwa setelah itu bibir mungil Sabila mengerucut dengan mata menyipit. Ia menghentak-hentakkan kakinya tak suka. Jelas-jelas ia berenang betulan tadi, tinggi air pastinya tak berpengaruh. Mau tinggi atau rendah
Bangunan megah dengan gerbangnya yang besar dan menjulang tinggi serta eksterior yang begitu memanjakan mata adalah markas Kompeni. Tempat itu akan selalu menjadi titik kumpul. Kumpulan anak laki-laki tanpa ada satu pun spesies kaum hawa di dalamnya. Yups, Kompeni hanya beranggotakan kaum laki-laki saja. Jika ada perempuan masuk ke dalam markas ini, sudah dipastikan mereka merupakan kekasih dari salah satu anggota. Nuansanya aesthetic dengan barang-barang yang disusun sedemikian unik. Meski hanya ada laki-laki, markas Kompeni selalu tampak bersih loh. Hal itu dikarenakan mereka membuat jadwal piket setiap harinya, pun beberapa anak arsitektur ikut mendiami markas ini hingga mereka dapat menciptakan ruangan indah dan nyaman untuk dinikmati bersama. "Ter, lo ke sekolah nggak?" Arta menanyai Tero, salah satu anggota dari kelas 10.