Share

Qotsa

Perlahan Eva rasakan panas pada bola matanya. Benda hitam yang bulat itu memerih, nyaris saja jika Eva memejam maka buliran kristal itu pasti akan meluruh membasahi pipinya. Eva berusaha untuk menahan tangis sendiri. Kesannya akan semakin mempermalukan diri jika menangis di depan mereka semua setelah diperlakukan seperti ini.

Pak guru tersebut juga malah melanjutkan materi tanpa memperjelas status Eva, dipersilakan masuk atau tidak? Membuat Eva makin uring-uringan takut serba salah. Mau nyelonong masuk, tapi beliau belum kasih izin. Kalau asal keluar, nanti kesannya tidak sopan dan dianggap bolos.

Ketimbang tidak jelas seperti ini, Eva lebih baik bertanya walau sepertinya akan diabaiakan. Tak apa, coba saja dulu.

"Pak!"

Ya, seperti perkiraan awal, panggilan Eva dilengahkan. Eva berdecak kesal di posisi seperti ini. Ia berdeham kencang hingga beberapa murid menoleh padanya. Biarkan saja mengganggu aktivitas belajar. Siapa suruh kacang!

"Jadi ini gimana, Pak? Saya boleh masuk tida—"

"Baik, saya cukupkan terkait bab hukum Pascal. Setelah tadi saya menjelaskan panjang lebar, kira-kira apa yang dapat kalian simpulkan?"

Eva berhenti bicara. Terlanjur muak duluan jika diabaikan seperti ini terus. Setelah ucapan Eva sengaja dipotong dengan beliau yang melontari pertanyaan, suasana kelas seketika hening sampai sekarang.

Eva bersedekap dada memandangi seisi kelas yang muridnya malah sok sibuk sendiri ketika guru bertanya. Sebenarnya tak hanya Eva yang pintar di kelas ini. Hanya saja rata-rata yang pintar itu pendiam dan gugup ketika disuruh menjelaskan atau berbicara di depan. Sedangkan yang banyak bacot hampir semuanya kurang pandai akademisi.

Bosan atas keheningan yang tercipta lumayan lama. Kita anggap saja itu sebagai karma untuk pak Erik agar tahu bagaimana rasanya dikacangin. Akhirnya Eva bersuara menginterupsi seisi kelas.

"Izin menjawab, Pak. Sedikit yang saya ketahui tentang hukum Pascal adalah bahwa hukum tersebut berkaitan dengan tekanan dalam cairan. Saya memang tidak menyimak sepenuhnya apa yang telah Bapak sampaikan tadi. Maka dari itu kesimpulan yang saya berikan adalah garis besarnya. Jika terdapat kekeliruan mohon koreksi."

Pengucapan yang lugas serta artikulasinya yang jelas akhirnya berhasil membuat pak Erik menoleh kembali pada Eva yang sampai saat ini masih berdiri di depan pintu. Guru mana yang tak tertarik pada murid seperti ini? Eva menjadi satu-satunya murid paling menonjol di kelas.

Tak menyia-nyiakan hal itu, pak Erik makin tertarik untuk menantang pengetahuan siswi yang katanya menjabat sebagai ketua OSIS ini. Beliau mulai memainkan ekspresi guna memanipulasi. Dahinya berkerut samar seolah bingung dengan apa yang baru saja siswi itu sampaikan. "Kata siapa?"

"Lah, kok kata siapa sih Pak? Hukum yang ditemukan oleh mas Pascal ini kan menyatakan bahwa tekanan eksternal yang diberikan zat cair dalam sistem tertutup diteruskan ke segala arah dengan sama besar." Jeda sejenak guna Eva menarik napas karena lumayan menges berbicara panjang tanpa koma. Saat itu pula hampir seisi kelas terbahak akibat Eva yang menyebut penemu hukum tersebut dengan 'mas-mas'.

Sementara Eva, tak peduli suasana kelas sedang ricuh, ia kembali melanjutkan penjelasannya yang sempat tertunda. Karena memang, jeda yanga ia beri bukan untuk memberi waktu mereka tertawa, tapi karena memang Eva perlu ambil napas sebentar.

"Dan tekanan pada setiap titik pada fluida akan meningkat sebanding dengan tekanan eksternal yang diberikan. Dari pernyataan tersebut kita sudah bisa ambil kesimpulan kalau hukum Pascal itu ya ngebahas tentang tekanan dalam cairan, Pak."

Berakhir dengan pak guru tersebut berdeham guna menutupi keterpukauannya. Ia menelisik siswinya tersebut dari atas sampai bawah seolah memberi penialian. "Kamu ikut kursus Fisika, ya?" tanyanya tak bisa lagi tutupi keingintahuan. Jika tidak pernah belajar sebelumnya, mana mungkin bisa langsung tahu sebelum dijelaskan. Benar?

Eva terkekeh pelan mendengar pertanyaan itu. Untuk jajan saja pas-pasan, bagaimana pula ia bisa ikut kursus yang biayanya lumayan besar itu? Syukurlah di Taruna Bangsa bidang akademisi masuk dalam kategori ekskul. Tak menyia-nyiakan peluang yang ada, Eva bergabung dengan beberapa ekskul akademisi. Beasiswa-nya sudah menanggung segala fasilitas yang disuguhkan Taruna Bangsa.

Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, "kebalik, Pak. Yang ada saya yang open jasa kursus untuk tingkat satu SMA ke bawah."

Belum sempat pak Erik menjawab, Iqbal sang ketua kelas menyahut lebih dulu. "Harap maklum, Pak. Dia anak olimp," katanya sedikit meringis. Menurutnya kalau Eva memang sudah tak perlu diragukan lagi. Tak hanya pandai akademisi, ia juga pandai dalam public speaking. Satu kekurangannya, gadis itu tak bisa olahraga.

Mendengar hal itu sontak membuat pak Erik mengangguk paham. "Oh, ternyata anak olimp. Sampai tingkat apa, Nak?"

"Nasional, Pak."

Beliau mendengkus. "Belum sampai internasional ya?" tanyanya dengan intonasi meledek. Ingatkan sekolah ini adalah Taruna Bangsa yang telah berhasil mengharumkan nama Indonesia di dunia dengan cetakan siswa dan siswinya yang berprestasi. Olimpiade tingkat nasional sangatlah biasa di sini.

Tak mau termakan pancingan dengan mendumel kesal, Eva meresponnya dengan tawa renyah hingga terlihatlah gigi gingsul yang membuat gadis itu semakin manis dipandang mata. "Do'akan saya ya, Pak. Saya akan berusaha lebih giat lagi agar dapat juara satu di nasional supaya bisa ke tingkat internasional."

Pak Erik ikut tertawa mendengarnya. Ia mengangguk seraya mengajak seisu kelas untuk memgaminkannya. Tangan bapak itu tergerak menyuruh Eva untuk masuk. "Silakan duduk di bangku kamu."

Akhirnya!!  Memang ini yang Eva tunggu-tunggu sedari tadi. Momen ketika ia dipersilakan untuk duduk di kursinya. Tak sia-sia Eva belajar dengan giat selama ini. Nyatanya ia bisa lebih dihargai.

Sudah kalah di ekonomi, Eva tak mau kalah lagi di prestasi. Ada seutas kalimat dari motivatornya sejauh ini. "Jangan taruh harga dirimu pada apa yang kamu punya, tapi apa yang kamu bisa."

⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆

Suasana kelas sangat riuh akibat guru yang mengajar sudah keluar dan sekarang waktunya istirahat. Eva duduk seraya menyenderkan kepala pada bahu sahabat sebangkunya.

Tiga cewek lagi yang duduk di belakang Eva dan Uma ada Ana, Riska, dan Yana. Merekalah teman-teman Eva di sekolah. Tak ada yang mencolok hingga membuat mereka terkenal. Hanya orang biasa-biasa saja dengan ekonomi pas-pasan. Yang membuat Eva betah berteman dengan mereka karena sefrekuensi, juga tak ada hal yang patut di insecure-kan karena mereka sama. Bahkan harusnya mereka yang iri pada Eva karena Eva yang terpintar.

Dulu mereka mendaftar bersama-sama untuk raih beasiswa di TB. Namun hanya nama Eva yang lolos di antara para sahabatnya itu. Dari SMP mereka sudah berjanji bersama-sama untuk bisa bersekolah di SMA TB. Biaya sekolah juga kebutuhan yang mahal dan besar membuat mereka harus irit. Makanya setiap hari mereka membawa bekal agar tak membelinya di kantin yang harga makanannya sangat masyaAllah sekali.

Sedangkan Yana yang menduduki jabatan sebagai bendahara OSIS itu, mereka baru berteman ketika sama-sama menjadi murid baru di TB. Jangan lupakan Yana yang juga lulus beasiswa, tetapi lewat jalur minat dan bakat. Sekolah seelit ini menyediakan banyak sekali beasiswa untuk orang-orang yang kurang mampu agar dapat ikut merasakan pendidikan juga segala fasilitas yang mumpuni dan disediakan untuk murid-muridnya. Tinggal kembali pada diri masing-masing, ingin mengusahakan dengan serius atau tidak beasiswa tersebut. Pasalnya seleksi dilakukan dengan sangat ketat, benar-benar tanpa orang dalam.

Saat ini mereka tinggal menunggu kelas sepi, setelahnya barulah mereka akan menikmati bekal. Hal itu sudah menjadi rutinitas setiap hari. Yang paling seru ialah ketika tukar-tukaran lauk agar semuanya bisa mencicipi.

Dalam ketenangan mereka menunggu kelas ini sepi, Eva bersandar nyaman di bahu sang sahabatnya, Uma. Namun tiba-tiba saja bangku Eva dihantam keras membuat ke-lima gadis itu tersebut terlonjak kaget.

"Astaghfirullah!" jerit Uma dengan napas yang memburu serta degup jantung yang berdetak kencang. Gadis itu mengidap hipertiroid hingga mudah kaget serta memiliki kecemasan berlebihan.

Semuanya memandang nanar ke arah pelaku yang ternyata tak seorang diri. Mereka adalah Queen Of  Taruna Bangsa atau biasa disebut dengan geng Qotsa. Ketuanya adalah Melly Diandra dengan anggota yang hanya dua orang. Yakni Dina Marenza dan Salsa Dian Aviani. Mereka itu rombongan cewek-cewek centil yang sok berkuasa. Bodohnya murid Taruna Bangsa dari kelas sepuluh dan sebelas hampir semuanya takut pada mereka. Termasuk para sahabatnya ini.

Hal yang membuat Eva tak habis pikir. Apa yang perlu ditakuti dari mereka ini? Cuma modal kekayaan orang tua, nyatanya tak bisa apa-apa.

Di Taruna Bangsa, yang Eva segani hanya geng Kompeni. Ingatkan bahwa ini rasa segan bukan takut. Eksistensi mereka sangat berpengaruh di sini. Khususnya sang ketua yang merupakan cucu dari Arif Wijaya pemilik TB. Eva tak mau bermain-main dengan sekolahnya.

"Lo pikir keren kayak tadi?" Melly langsung memborbardir Eva dengan pertanyaan sinis. Kearoganan melingkupi sekelilingnya. Mungkin siswi lain akan merasa terintimidasi dengan hal ini. Namun ingatkan bahwa ini Eva Nur Shafaah. Kenapa pula terintimidasi? Mereka sama-sama makan nasi 'kan? Jangankan yang sepantaran begini. Kakak kelas yang sombong saja Eva berani menimpuk wajahnya dengan absen.

"Bangga banget kayaknya lo bisa ngejawab pertanyaan pak Erik hah?" Melly menggeram murka.

Sedang Eva yang menjadi korbannya di sini hanya duduk diam dan bersandar dengan santai. Padahal Eva hanya diam saja, tapi mereka sudah tersulut emosi sendiri. Apalagi ketika Iqbal sang ketua kelas mulai bernyanyi di antara kesunyian kelas yang sempat Qotsa ciptakan.

"Jangan, jangan iri. Jangan iri dengki. Jangan, jangan iri. Jangan iri dengki, puter-puter jari!" Cowok itu bernyanyi sambil joget dua jari, asik sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status