“Ada apa, Bu?” tanya Pak RT yang langsung masuk ke halaman rumah Ibu Tyas saat melihat wanita paruh baya itu sedang berada di sana dengan wajah yang gelisah.
“Kok jam segini Ibu masih ada di luar?” tanya Pak RT lagi.
Ibu Tyas melihat ke arah pak RT dan juga beberapa warga yang datang bersamanya. Hatinya benar-benar sedang merasa sangat gelisah saat ini.
“Saya sedang menunggu Rania, Pak. Sudah sejak dari tadi siang dia pergi entah kemana tapi sampai sekarang dia belum juga pulang. Saya khawatir terjadi sesuatu yang buruk padanya,” jawab Ibu Tyas yang mulai terisak.
“Ibu tenang dulu. Apa Ibu sudah mencoba menghubungi ponselnya?” tanya Pak RT.
“Rania tidak membawa ponsel, Pak. Ponselnya hilang saat kecopetan di kota J waktu itu. Saya benar-benar bingung pak harus bagaimana.”
Ibu Tyas sudah tidak bisa membendung air matanya lagi. Kegelisahan di dalam hatinya kini begitu dalam. Sayangnya
“Sebaiknya anda segera melaporkan ini ke kantor polisi, Nyonya. Karena setau saya ini sudah termasuk ke dalam kasus kriminalitas,” saran dokter.Kantor polisi? Untuk apa? Ibu Tyas tau siapa yang sudah melakukan ini kepada Rania. wanita paruh baya itu tidak sembarangan menuduh akan tetapi hanya laki-laki itu saja yang bisa dan sanggup untuk melakukan hal sekeji ini kepada Rania. iya, Ibu Tyas tau dan yakin kalau semua ini adalah ulah Bian.Sekarang, dokter itu menyarankan untuk melapor ke kantor polisi, untuk apa? Bian tidak akan dihukum oleh mereka. Luki dan juga Irma tidak akan membiarkan satu masalah pun menimpa sang anak. Mereka akan dengan mudah untuk membebaskan Bian dari segala macam tuduhan. Lalu jika itu yang terjadi, apa untungnya buat mereka? Rania tetap saja seperti ini. Waktu tetap saja berjalan dan tidak akan kembali ke masa lalu. Akhirnya Ibu Tyas pun tidak ingin mengambil langkah itu. Biar dirinya saja yang akan mengurus Rania dengan sepenuh
Tok.. Tok.. Tok...Suara pintu ruang kerja di dalam rumah keluarga Nugraha tampak diketuk dari arah luar.“Masuk, Nak!” panggil Ayah Deni yang sudah tau kalau yang datang adalah anak laki-lakinya, Dimas.Dimas pun membuka pintu dan lalu berjalan masuk ke dalam ruang kerja sang ayah. Di sana tampak Ayah Deni sedang duduk di kursi kebesarannya dengan tangan yang sibuk memeriksa berkas-berkas yang teronggok sangat banyak di atas mejanya.“Ada apa Yah? Ibu bilang Ayah memanggilku?” tanya Dimas yang langsung mendudukan badannya di kursi di depan sang ayah.“Iya Nak. Ini tentang kerja sama perusahaan kita dengan Tuan Pratama. Kemarin-kemarin dia sempat menanyakan kelanjutannya kepada Ayah,”
“Aaaahhhh akhirnya selesai juga semuanya,” ucap Dimas merasa lega karena semua pekerjaan yang sudah membebani dirinya selama beberapa hari ini selesai sudah. Rasanya dirinya baru saja menjatuhkan semua beban yang memperberat bahunya hingga membuat nafas pun menjadi tertahan. Akan tetapi kini semuanya beres dan laki-laki ini pun bisa kembali bersantai.Seperti yang sudah dia rencanakan sebelumnya jika semua pekerjaannya selesai, dia akan segera kembali ke kota B. Rasanya dia sangat merindukan semua yang ada di sana. Ibu Tyas, si kecil Rizky dan tentu saja wanita yang selalu ada di dalam hatinya, Rania Putri.Sebelum keluar dari kantor, Dimas pun sudah menugaskan semuanya kepada sekretaris kepercayaannya untuk menghendel semua saat dirinya pergi. Sekretaris itu sempat bertanya kemana atasannya itu akan pergi akan tetapi Dimas hanya tersenyum tanpa men
Malam harinya. Malam itu suasana di kota B, tepatnya di daerah dimana Rania dan keluarganya berada terasa sangat sepi dan sunyi. Hanya suara jangkrik dan beberapa hewan malam saja yang terdengar menggema. Angin berhembus sangat kencang, mengarak banyak sekali awan hitam di langit, membuat tak ada satupun bintang atau bulan yang bisa menampakkan cahayanya. Semuanya terasa begitu gelap dan mencekam. Saat itu jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena waktu sewa kontrakan Dimas masih ada sewaktu dirinya pulang kemarin, oleh karena itu setelah sekarang dirinya kembali ke kota ini, dia sudah tidak lagi merasakan bingung akan tidur dimana. Malam itu Dimas belum bisa tidur. Ingatannya terus tertuju pada Rania dan juga cerita di balik semua kejadian ini yang diceritakan oleh Ibu Tyas tadi. Mengingat kondisi terakhir yang diucapkan oleh Ibu Tyas, Di
Setelah mengizinkan Dimas untuk menemui Rania di dalam kamarnya, Ibu Tyas pun menggerakkan kursi rodanya menuju ke arah kamarnya untuk melihat sang cucu yang sedang tertidur. Tangannya mengusap kepala anak balita itu. Dia merasa tak tega melihat anak itu. Di usianya yang baru saja dua tahun, akan tetapi dia sudah ditinggalkan oleh sang ayah dan sekarang kondisi sang ibu juga tidak dalam keadaan baik-baik saja.“Kamu yang sabar ya, Nak. Yang sehat. Kamu harus tetap percaya kalau Allah pasti akan memberikan kebahagiaan untukmu. Nenek yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Nenek sangat menyayangimu, Nak,” ucap Ibu Tyas sambil mengecup kening sang cucu.Tentang Dimas, Ibu Tyas sendiri sebenarnya tidak tau siapa laki-laki itu. Dia hanya tau kalau Dimas adalah sahabat dari Rania. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh laki-laki itu saat mereka pertama k
Satu malam pun akhirnya bisa dilewati dengan tenang. Rania bisa tertidur dengan sangat lelap dan tidak berteriak-teriak lagi seperti sebelumnya. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Dimas dan juga Ibu Tyas yang bisa tidur hingga pagi datang. Tepat pukul lima pagi hari, Ibu Tyas pun terbangun. Sejenak dia melihat sang cucu yang masih terlelap tidur. Sedikit mengusap kepalanya dan mengecup keningnya disana. Perlahan dia pun memindahkan tubuhnya ke atas kursi roda, mencoba menggerakkan roda tersebut bergerak ke arah dapur. Bibirnya tersenyum saat kedua matanya melihat Dimas sedang tidur dengan sangat lelap. “Sepertinya anak itu sangat kelelahan. Kasihan dia baru saja sampai tapi sudah dihadapkan dengan masalah Rania seperti ini.” Membicarakan tentang Rania, membuat Ibu Tyas pun langsung teringat dengan wanit
Setelah dirasa cukup tenang, Dimas pun kembali mengajak Rania pulang. Di dalam mobil yang mereka tumpangi, seperti biasa wanita itu hanya diam sambil menyenderkan kepalanya di kaca mobil disampingnya. Pandangannya lurus menatap jalan namun kosong.Sambil mengendarai mobilnya, sesekali Dimas melihat ke arah samping dimana Rania duduk. Di dalam hatinya dia masih saja gemetar. Dia tidak bisa membayangkan jika tadi dirinya sampai terlambat sedikit saja mungkin dia akan kehilangan wanita ini. Wanita yang selama ini selalu dia cintai. Dia sangat bersyukur karena Allah masih memberikannya kekuatan untuk menyelamatkan Rania."Ran," tanya Dimas. Wanita itu pun menoleh."Alhamdulillah," ucapnya dalam hati.
"Tapi aku tidak mau menikah dengan Kak Dimas!" Secara tiba-tiba Rania keluar dari dalam kamarnya dan langsung menolak lamaran dari Dimas. Laki-laki itu kaget sekaligus sedih. Sebenarnya dari awal dia tau kalau dirinya tidak akan mudah mendapatkan seorang Rania. Apalagi hubungan percintaan Rania dengan Yusuf diputuskan dengan maut dan biasanya jika seorang istri yang ditinggalkan meninggal oleh suaminya, akan sangat sulit dalam membuka hatinya kembali. Iya, setidaknya itulah yang laki-laki itu pahami. "Nak, janganlah mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Semuanya harus dipikirkan secara matang," bujuk Ibu Tyas. "Aku sudah memikirnya matang-matang, Bu. Aku tidak akan membuka hatiku untuk l