Share

Keturunan 100 kg
Keturunan 100 kg
Penulis: Budi Mae

Aku, Mantra

"Tra, badan nggak berat lu makan terus gitu?" tanya Tania padaku.

"Enggak, biasa aja. Gue nggak makan aja gemuk, apalagi makan." Aku memang gemuk, sangat gemuk malah. Tapi tidak segemuk Oma dan Bunda. Timbangan mereka hampir satu kwintal, kalau aku baru mendekati angka sembilanpuluh. Ya, kami keturunan badan bongsor dan subur. Catet! Bongsor dan subur ya gaeess, bukan obesitas apalagi overweight. 

Kami hanya keturunan ginuk-ginuk yang layak mendapatkan apresiasi pemerintah sebagai keluarga sejahtera. Bagaimana tidak, kami ini tak pernah mengeluh saat bansos pemerintah turun dan kami hanya gigit jari melihatnya. Kami bukan orang kaya, tapi bukan juga miskin. Kami cukup sederhana dengan makan dan minum seadanya. 

Kami semua sepuluh bersaudara. Aku adalah anak pertama yang tadinya mengharap jadi anak satu-satunya ternyata Bunda hamidun dan lahirlah sembilan adiku yang jaraknya berdekatan, mereka sungguh sangat  comel. Mereka  bernama Oji, Radit, Aldi, Nino, Gala, Khair, Aldo, Yana, Alga. Kalau diurutkan nama depan mereka menjadi ORANG KAYA. Semoga beneran kesampaian anak-anak bunda jadi orang kaya. Lah gue? Nama nggak masuk di dalamnya. Benar-benar bikin aku jengkolan saja. 

Namaku, Mantra. Entah kenapa Bunda memberiku nama itu. Mantra Sekar Widodari. Ah, kadang aku malu sendiri akan nama yang Bunda sematkan ini. Kata Oma, aku dilahirkan dengan susah payah dan harus mandi kembang tujuh rupa, sampai ngundang jamaah pengajian buat bikin aku mbrojol di waktu yang pas. 

Adikku yang bungsu  sekarang ini sudah memasuki SMP, tapi badannya tak seperti kami para perempuan. Anehnya, dari sepuluh bersaudara aku cewek sendiri. Aneh kan! Makannya Bunda sayang sekali denganku karena aku yang mewarisi gen wanitanya. 

"Tra, pekerjaan bos kemarin udah lu laporin belum? Ditunggu tuh di ruang kerjanya," ucap Tania, rekan kerjaku.

"Sudah dong. Gue kan gercep kalau masalah kerjaan," ucapku santai.

"Tapi kok, lu suruh masuk ke ruangan bos?" tanya Mineral alias Lemi, menatapku tak percaya.

"Yakin aja deh, gue ini karyawan teladan. Paling si bos mau ajak gue dinner atau nggak kasih gue bonus," ucapku pede dan berlenggang masuk.

Terdengar cekikikan para sahabatku di belakang.  Sepede itulah aku, miskah. Jangan khawatirkan aku yang berbadan semok ini. Aku cukup produktif sebagai karyawan di bagian redaksi. Enam tahun sudah aku bekerja di sini, sebulan sekali aku pulang mengantar rindu dan yang pasti uang gajianku yang akan sampai tepat waktu. Jika tidak begitu, maka ke sembilan adikku akan menelponku sehari 60 kali, melebihi banyaknya jumlah detik dalam satu menit. Bukan main! 

"Duduk!" 

Tatapan Bos kali ini sungguh sangat mengerikan. Mata memerah dengan rahang yang mengeras membuatku yakin, dia sedang marah.

"Apa  saya melakukan kesalahan, Bos?"

"Kamu berkemas untuk  ke Bali besok. Kita akan ada kunjungan beberapa hari," jawabnya tegas dan menatapku dingin.

"Ba-li?! Ke-napa mendadak sih, Bos?" protesku.

"Saya butuh kamu untuk mengurus keperluan saya di sana. Jangan protes apalagi beralasan sakit perut lagi, atau gaji kamu saya potong 50  persen."

Mataku membulat sempurna, sejahat inilah bosku. Jika sudah berkeinginan, apapun itu harus disegerakan. Tapi, ini Bali gaes. Baru sekali aku ke sana itupun saat piknik waktu duduk di sekolah menengah.

"Jam lima pagi saya tunggu di bandara. Jangan terlambat apalagi tidak datang. Jika itu terjadi, maka kamu benar-benar akan jadi mantan karyawan Sinar Cahaya. Paham?" tegasnya.

"Inggih, Bos. Apa ada lagi?" tanyaku jengah.

"Kamu harus melakukan ini semua, pelajari dan hafalkan!" 

Sebuah kertas berisi banyak tulisan yang sedikit aku intip judulnya.

What? Betulkah aku harus melakukan hal yang bukan pekerjaanku. Apa-apaan ini? Bos pasti sudah lupa kalau tugasku hanya menyiapkan berita, bukan menjadi asisten pribadinya.

"Pak, ini nggak salah? Ini bukannya pekerjaan Joni?" tanyaku tak percaya.

"Joni cuti seminggu. Orangtuanya sakit, jadi sementara kamu yang saya tunjuk untuk melakukan pekerjaan mulia ini," ucapnya santai.

Apa dia bilang? Menjadi asistennya dibilang mulia? Bukan main, bosku yang satu ini. Kalian tahu tugas seorang asisten itu sangatlah berat, bangun pagi sudah harus ada di tempat untuk menyiapkan keperluan Bos. Belum lagi kemana-mana harus ikut membawa semua barang yang hendak dibutuhkan. Minta ini, minta itu, pokoknya harus siap dan itu sungguh sangat menyiksa tubuhku yang berat ini.

"Tapi, Pak, ini ...."

"Tidak ada penolakan, Mantra. Sekarang kamu keluar dari ruangan saya, pekerjaanmu harus segera selesai agar kamu bisa pulang lebih awal untuk bersiap berangkat besok pagi. Ingat, Tra, jangan buat saya menunggu atau kamu akan menerima akibatnya."

" Inggih, Bos."

Aku langsung keluar dari ruangan Pak Zidan dengan lesu. Bos menyebalkan yang suka memerintah sesuka hati tanpa memandang siapapun itu, termasuk aku yang sedang patah hati ini.

Ya, minggu lalu aku baru saja jadian dengan seorang laki-laki yang kutemui di warung nasi goreng. Tapi saat hendak janjian kencan dengan dia, aku kembali kecewa. Tadinya aku kira dia mencintaiku apa adanya, ternyata dia hanya ingin memanfaatkan kebaikanku saja. Meminta dibelikan ini itu secara gratis. Beruntung baru jadian beberapa hari, kalau sudah lama kan bisa patah hati paten aku. Saat sedang membeli makanan di cafe dekat kontrakan, justru aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa dia berselingkuh dengan wanita yang lebih cantik dariku. Faktanya, aku memang belum layak atau mungkin tak layak dicintai. Tapi aku cukup paham sebenarnya, tapi rayuan mantan pacar yang satu ini sungguh menggiurkan. Dia menjanjikan aku akan dinikahinya setelah dia diterima kerja, eh ... tahunya hanya hoak yang aku terima. Nasib ... nasib.

Seharusnya aku sadar diri bahwa diri ini tidak layak untuk dicintai siapapun. Badan bongsor dan gemuk ini sungguh bukan sebuah pilihan yang baik bagi para lelaki terbaik di luar sana. Mana ada seorang lelaki gagah dan tampan menginginkan gadis gemuk sepertiku, yang ada malah mereka ilfil dan menjauhiku.

"Kenapa tuh Muka kusut amat?" celetuk Tania di depanku dengan tersenyum mengejeknya.

"Asem bener dah nasib gue,  udah kemarin habis putus sama Dino, eh sekarang si Bos  nyuruh gue buat siap-siap pergi ke Bali besok. Bisa dibayangkan nggak pemirsa ini ke Bali, Bali guys," ucapku pasrah.

"Loh bukannya bagus pergi ke Bali bisa refresing otak dan nyembuhin patah hati sekalian lihat bule-bule tampan di pantai. Siapa tahu mereka ada yang tertarik dengan badan lu yang semok ini," cibir Tania.

"Ngehina nih ceritanya?" tanyaku sengaja membuat dia sadar bahwa perkataannya termasuk sebuah cibiran yang menyakitkan.

"Bukan gitu, Tra. Kita ini terlalu sayang sama loe dari dulu belum pernah punya gebetan, mau gue kenalin takut temen gue nggak mau gimana dong?" 

"Nggak usah repot-repot cariin gue laki, 'Jodoh Pasti Bertemu' entar lagi pasti dapat, caya deh," ucapku pede. Padahal aku juga belum tahu siapa lelaki yang Tuhan jodohkan untukku, mustahil rasanya mengingat berat badanku yang kian hari bertambah banyak angkanya. Awalnya 20 kilo saat berusia 5 tahun dan lama-kelamaan setiap tahunnya bertambah banyak lemak di badan membuat berat beban hidup ini bertambah pula karena kini sudah  mencapai angka 90 kilo. Benar-benar rekor yang sangat membuat setiap orang tercengang melihatnya. Jika sudah menikah nggak masalah, ini aku masih gadis gaes. Mana ada coba lelaki ya naksir. Jangankan melirik, menatappun enggan.

Aneh juga sih, bagiku karena semua keluarga perempuan dari pihak ibu berbadan semok dan gemuk aku pun harus bisa pasrah dan menerima segala sesuatu yang Tuhan berikan, siapa tahu calon suamiku nanti dia mencintaiku bukan karena fisik melainkan hatinya, hokyaaa ....

"Tra, kenapa lu tidak mencoba diet saja? Pan siapa tahu ada lelaki yang mencintaimu saat lo nanti sedikit kurusan," ucap Tania sok tahu. 

"Gue cinta diri gue apa adanya. Bukan sekedar mencari lelaki yang hanya memandang fisik, tetapi hati. Gue yakin, banyak di luar sana lelaki yang mau sama cewek berbadan gemuk kayak gue. Buktinya, Bunda sama Ayah bisa menikah dan memiliki 10 anak. Berarti, penampilan bukanlah patokan mendapat jodoh. Karena jodoh, mutlak kuasa Allah," ucapku sok iya. Padahal, hati ngenes denger para haters yang suka bully badan montok aku ini.

"Iya-iya. Serah lu aja deh, Tra. Gue sih sekedar ngingetin. Lagian, gemuk itu nggak sehat. Gue saranin lu diet biar badan lu sehat bugar," ucapnya tak mau kalah dengan segala asumsi yang aku lontarkan tadi. Dasar otak bebal, mau aku bicara apa juga dia nggak bakal paham maksudnya.

Lemi yang baru selesai makan siang mendekat ke arahku. Dia membawa berkas di tangannya dan meletakkan di meja kerjaku.

"Nih, disuruh bos buat selesaikan tugas si Joni. Lu katanya besok ikut si  Bos ke Bali? Jadi, harus selesai dan dibawa besok pagi." Dengan wajah yang sedikit bingung, aku mengambil berkas yang dibawa Lemi tadi. File data pertemuan antar anggota dewan redaksi, hm ... ini semua bukan juga tugasku. Mungkin bos sedang memberiku kode dan mengujiku naik pangkat, eh siapa tahu beneran kan. Coba dulu, perihal nggak bisa dan berantakan hasilnya nanti, bukanlah salahku karena ini memang bukan bidangku. Aku tim redaksi, yang tugasnya menyusun agenda berita yang masuk. Mengkaji dan menyaring berita, bukan mengerjakan tugas penting yang berhubungan dengan relasi begini.

"Gila ntu si bos. Masa gue harus ngerjain tugas Joni nyusun ini bahan rapat di sana. Ini bos nguji bakat atau nguji nyali si. Serem banget dah tugasnya, mana gue nggak tahu beginian lagi," keluhku.

"Mang berkas apaan?"

"Nih!" Aku menunjukan pada Tantri susunan data dan juga bahan rapat kolega stasiun televisi yang akan mengikuti rapat besok. Tentu saja ini berat, selama ini tugasku hanya menyusun berita masuk kemudian memberinya pada reporter yang bertugas. 

"Ini sih gue juga nggak paham, coba lu tanya Joni. Lu telepon dia, tanyain gimana ngerjainnya. Siapa tahu dia mau bantu," ucap Tantri ada betulnya.

"Iya deh, gue coba. Siapa tahu ada jalan menuju Roma," ucapku bergaya sok terzalimi.

"Semangat, Mantra Sekar Widodari. Lu pasti bisa," kata Lemi dengan senyum merekahnya. Aku balas dengan senyuman palsu yang aku paksakan. Ini semua gara-gara Joni yang nggak izin aku buat libur lama, seenggaknya aku bisa jaga-jaga atau paling nggak alasan tidak memilih jadi asisten. Jika sudah begini, mau gimana selain sabar dan ikhlas. Bismillah, Mantra. Keluarkan ajian mata melekmu, batinku menyemangati diri sendiri

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status