Share

celah

Aku membereskan semua barang yang hendak dibawa ke Bali besok pagi. Malam ini tidak boleh aku terlupa satu barang pun agar aku tidak kena marah si Bos menyebalkan yang satu itu. Aku harus membereskan malam ini karena besok harus pergi pagi dan tidak boleh terlambat.

"Mbak lagi ngapain sih, berisik banget jam segini belum tidur?" protes Desi, teman satu kosku.

"Mbak lagi beresin perlengkapan buat pergi ke Bali besok. Lu baik-baik, jagain kontrakan ini jangan sampai lu bawa cowok kedalam. Awas aja  ya lengang dari pengawasan, Mbak nggak ada bukan berarti lu bebas ngapain aja," ujarku.

"Sendiko dawuh, Ibu Ratu," kelakarnya.

Desi adalah anak tetangga di desa tempat Bunda tinggal. Kebetulan orang tuanya menitipkan dia untuk aku awasi saat bekerja. Dia karyawan di salah satu mall terbesar di kota ini.

"Bakal berapa hari di Bali, Mbak?"

"Enggak tahu pasti. Bos kadang suka memperpanjang waktu atau memperpendek tergantung mood dan keinginan dia aja, Mbak si berharap nggak lama karena berlama-lama dengan bos yang satu itu bikin tensi suka naik. Bisa stress dan hipertensi tiap hari," ucapku.

Bos Zidan memang seperti itu, tetapi kadang dia suka melakukan perihal yang bikin kami semua mati berdiri. Kadang marah tiba-tiba tanpa sebab, kadang juga diam ketika kami semua melakukan pekerjaan yang sedikit salah, hanya sekedar menegur lalu pergi begitu saja. Itu jika dia mood sedang baik dsn kalau sedang sebaliknya bisa kiamat kita semua. Dia bos yang cukup dipertimbangkan dalam dunia entertainment karena sikap tegas dan dinginnya.

Aku langsung merebahkan badan di ranjang setelah semua pekerjaan selesai. Aku sambil membaca tugas dan kewajiban yang harus aku kerjakan besok. Terlalu lama membaca, aku merasa mata ini berat dan akhirnya terpejam. 

Pukul empat pagi, aku sudah dibangunkan oleh suara alarm yang aku setel lebih pagi daripada biasanya. Aku langsung bergerak turun dari ranjang dan langsung ke kamar mandi untuk mandi.

Aku sengaja tidak membangunkan Desi karena biasanya dia akan bangun ketika sudah jam 5 pagi. Dinginnya air keran tidak membuat aku mengurungkan mandi. Demi menghindari keterlambatan datang ke bandara, aku rela mandi dan bersiap meski sepertinya badan ini menolak untuk lebih awal mandi dan bersiap.

Hacih!

Berulang kali aku bersin setelah mandi karena dinginnya air kran. Desi sampai terbangun dan menatapku bingung.

"Mbak, jam segini sudah mandi, pantas saja bersin-bersin. Nggak takut masuk angin?" ucapnya sambil menguap lebar.

"Mbak harus bergegas pergi setelah ini. Jarak menuju bandara lumayan, Mbak takut telat. Lu buru salat subuh, sebentar lagi Mbak mau berangkat."

Terdengar helaan napas beratnya, mungkin ia sangat malas melakukan segala perintahku. Tapi, dia juga harus  sadar jika ada orang tuanya yang mencemaskannya setiap hari. Aku meleng aja membiarkan Desi, maka ibunya akan merepet sepanjang jalan kenangan. Eh...

Aku sudah selesai berkemas, juga sudah selesai solat. Tinggal menunggu Desi mengantarku, itu jika dia mau. 

"Des, antar Mbak ya ke bandara."

"Naik motor?" tanyanya kaget.

"Iya dong. Masa naik pesawat, pan lu bukan pilot. Ya? Kelamaan pake taksi, takut macet."

"Tapi, Mbak. Badan Mbak Mantra kan ...."

"Iya-iya. Nggak usah dijelaskan juga Mbak udah tahu Mbak subur. Mbak yang bawa deh, lu bonceng. Pulangnya lu bisa pakai motor Mbak. Tapi inget, jangan buat kelayapan."

Tampak wajah bahagia tergambar. Desi memang selama ini aku antar jemput. Walau dia bukan saudara kandung, tapi aku adalah tipe orang penyayang pada siapa pun. 

Setelah pintu terkunci, kami bergegas ke bandara. Dengan memakai jaket tebal, Desi justru menertawakanmu.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Mbak mirip kaya buntelan nasi." Aku menoyor kepalanya pelan. Bocah yang satu ini memang butuh ilmu tata krama sama orang tua kayak aku. Eh, kok jadi mengaku tua. Ya sih, aku sama Desi memang selisih banyak. Aku 26 dia 20. Well, nggak begitu tua kan aku. Masih bisa lah dapatin cowok ganteng seumuran Kyung Soo. Hahaha

"Mau jalan nggak? Malah ngelamun." Tepukan keras Desi di pundak membuat aku segera memutar kunci motor dan menaiki matik Varia hadiah dari kantor tempatku bekerja.

Jalanan mulai terlihat ramai. Walau baru jam setengah enam, tapi matahari sudah tak sabar naik ke permukaan. Mirip kayak aku yang sudah tak sabar naik ke pelaminan. Bismillah, semoga di Bali beneran dapat calon suami dan membawanya pulang ke Wonogiri.

Motor tiba di bandara tepat pukul enam pagi. Penerbangan masih sejam lagi dan aku bisa menunggu sembari sarapan di dalam.

"Lu jaga si Vivi kesayangan Mbak. Jangan dibuat ngelayab ya. Nanti Mbak minta ibu kos ngontrol Lu sepanjang malam." 

"Iya-iya. Mbak ini cerewetnya melebihi ibuku. Dah sana, nanti telat dimarahi bos Mbak yang galak itu. Desi jalan dulu, Mbak juga hati-hati di sana. Wassalamualaikum," salamnya lalu mencium tanganku dan pergi menaiki si Vivi, motor kesayanganku.

Aku seret koper berisi beberapa file laporan dan tugas dari Bos Zidan kemarin. Serta beberapa pakaian gantiku. Aku mencari benda pipih yang ternyata lupa tidak aku bawa.

Kenapa bisa seceroboh ini. Bagaimana jika Bos menelpon, mati aku. Lebih baik aku mau minta tolong seseorang untuk menelpon kan Desi untuk mengantarnya ke sini.

Aku menghampiri seorang pria yang sedang duduk di ruang tunggu bandara. Dari umurnya, aku rasa tidak jauh berbeda dengan si bos.

"Maaf, Tuan. Maaf mengganggu, bolehkah saya pinjam ponsel Anda untuk menelepon adik saya? Ponsel saya ketinggalan, saya hendak memintanya untuk mengantar ponsel saya ke sini karena jadwal penerbangan saya masih satu jam lagi. Please," ucapku memohon. Aku berharap dia mau meminjamkannya karena jika tidak, aku pasti dalam posisi berbahaya.

"Silakan." Aku lega saat ia memberikan ponsel miliknya dan aku segera memanggil nomor Desi. Beruntung nomornya langsung tersambung dan dia menggerutu kesal karena aku suruh mau kembali ke bandara.

"Terima kasih, Tuan." Aku mengembalikan ponsel padanya dan dia tersenyum manis kepadaku.

"Sama-sama. Saya Ronald, boleh tahu kemana anda mau pergi?"

"Saya hendak melakukan kunjungan kerja ke Bali bersama bos saya. Sepertinya dia belum datang," ucapku sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan bos  Zidan.

"Oh, Semoga perjalanannya menyenangkan. Permisi orang yang saya tunggu sudah datang, mari!" pamitnya lalu berdiri hendak pergi meninggalkanku yang masih mencari keberadaan Bos Zidan.

"Baik, terima kasih atas bantuannya. Semoga hari anda menyenangkan juga," balasku.

Aku melihatnya mendekati seorang wanita yang sedang melambaikan tangan padannya. Mungkin wanita itu adalah kekasihnya, karena aku melihat dia mencium pipi kanan dan kiri kemudian pelukan. Sungguh sangat membuat jiwa jombloku ini kepanasan.

"Tra."

Aku menengok ke arah sumber suara.

"

"Berkas sudah siap?" tanya Bos Zidan berjalan menghampiriku.

"Sudah, Pak. Tapi_"

"Ayo!" Dia langsung pergi tanpa mendengar ucapanku. Aku berjalan sedikit berlari mengejar ketertinggalan langkah Bos Zidan. Sesekali menengok ke belakang untuk memeriksa apakah Desi sudah sampai ke sini atau belum. 

"Pak tunggu, aku lagi nunggu_"

"Pesawat akan terbang lima menit lagi," ucapnya langsung memberikan tiket pesawat pada petugas bandara untuk check in.

"Pak, tapi saya lagi nunggu teman saya untuk_"

"Tak ada waktu untuk perpisahan dengan pacar sekarang. Seminggu lagi kalian akan bertemu, tenang saja," ucapnya sok tahu.

Aku hanya pasrah. Bosku yang satu ini memang susah sekali dibantah. Mau bagaimanapun, posisinya selalu benar.

"Pak, bentar napa jalannya jangan cepet-cepet. Nafas saya ngos-ngosan ini. Bapak enak jalan nggak bawa beban, lah saya? Beban hidup berat ditambah beban lemak pula. Tungguin napa, Pak." Aku terus merepet hingga tak sadar jika Bos Zidan berhenti di depanku.

Bluk!

Badan Bos Zidan sedikit terdorong ke depan saat badanku menyeruduknya. Sedikit ya, nggak sebanyak yang kalian pikirkan. Aku kaget dan hanya bisa nyengir saat dia menatapku tajam.

"Jalan pake mata, sana kamu depan. Biar nggak saya tinggalkan," ucapnya.

Tumben dia baik, biasanya aku selalu dimarahi kalau berbuat salah. Mungkin dia sadar telah membuat gadis gemuk ini kesulitan bernafas karena jalannya begitu cepat. 

"Seriusan?"

"Kalau kamu tak mau, biar saya tinggal saja. Kita tak punya banyak waktu. Dengar nggak suara pengumuman itu? Cepat kita naik pesawat."

"Pak, saya lagi_"

Bos Zidan justru meninggalkanku dengan  cepat menaiki pesawat dan ninggalin aku dibelakang. Takut menambah Bos marah, aku memilih pasrah. Akan aku jelaskan nanti saja saat di Bali bahwa ponselku ketinggalan.

Aku duduk di kursi yang masih kosong. Aku memilih duduk di samping jendela di belakang kursi bos Zidan. Dan jujur, ini baru kali pertama aku menaiki pesawat. Dulu saat liburan sekolah, aku sempat ke Bali tapi memakai jalur darat. 

Saat sudah nyaman duduk, lelaki berjenggot tebal duduk d sampingku. Tanpa permisi, justru ia mengedipkan mata genit padaku. Aku jadi merinding melihat hal itu dan memilih menjaga jarak dengannya.

Aku merasa kesal kali ini. Ternyata berbadan gemuk membuat kursi yang aku duduki serasa sesak.

Suara pramugari menyatakan bahwa pesawat akan segera terbang dan kini aku merasa gugup. Aku mencoba biasa saja namun sedikit kaget saat sebuah tangan mendarat nakal di pahaku. Serentak aku kaget dan langsung berdiri.

"Hey, Tuan. Kalau punya tangan di jaga! Mau saya laporkan anda atas tindakan pelecehan di pesawat ini?!" Semua orang memandangku. Aku tak peduli karena aku kini benar-benar marah. Dia seperti tak mau kalah, lelaki tad juga ikut berdiri.

"Hey wanita gemuk! Jangan asal bicara. Secantik apa hingga anda terlalu pede untuk saya lecehkan. Anda tidak bisakah membiarkan penumpang untuk duduk dengan tenang? Hah?!" elaknya tak terima. Aku sungguh malu, semua orang menatapku tak percaya. Niat hati ingin membuat ia malu dan jera, justru kini aku yang malu sendiri.

Aku melihat ke arah Bos Zidan yang tenang tanpa melirikku. Dia baru berdiri saat bisik-bisik para penumpang terdengar. Pramugari juga mendekat ke arah kami untuk membuat kondisi kembali tenang.

"Bisakah anda duduk di tempat adik saya? Dia marah karena saya tinggal saat masuk pesawat tadi, jadi memilih tempat duduk sendiri. Akhirnya, dia kesal pada orang lain. Please," ucap Bos Zidan pada penumpang lelaki di sebelahnya. Aku sungguh terkejut karena Bos Zidan mengaku bahwa aku adalah adiknya.

"Oh, Mbaknya adik Mas? Beda sekali. Baiklah, saya akan pindah. Semoga adiknya tak marah lama-lama," ucapnya lalu pindah posisi duduk di kursi yang aku duduki tadi.

Aku ditarik oleh si bos untuk duduk di sebelahnya. Aku masih menatapnya sebal karena sudah mengajakku naik pesawat dan akhirnya menjadikan aku bahan gunjingan penumpang sepanjang perjalanan di dalam pesawat ini.

"Pak_"

"Duduk dan diam atau kamu mau saya  pindahkan lagi ke belakang!" ucapnya dingin. Sungguh aku ingin menelannya hidup-hidup. Dari tadi aku hendak bicara tapi ia tak memberikan aku waktu bicara. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status