Share

4. Pohon Keluarga

last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-02 03:09:21

Washington DC, Amerika Serikat, 12.44 waktu setempat

Si pria gundul berkeriput kembali memberi kode. Pelayan datang. Kali ini benda yang diminta sang majikan adalah ponsel lain, dan itu yang muncul. Setelah pria gundul mengambil ponsel, pelayan pun pergi.

Kesenangan kecil berlanjut. Jus jeruk disesap. Pria gundul menekan nomor pada alat komunikasi. Ia hanya tersenyum ketika sang cucu melambai dari kolam renang, lalu lanjut menempelkan ponsel ke telinga.

Jurajura, Indonesia, 23.44 waktu Indonesia

Kamar hotel itu remang, hanya diterangi lampu tidur. Sunyi. Kacanya menampakkan langit gelap berhiaskan gemerlap kota. Dua insan telanjang di balik selimut saling berpelukan setelah bergumul melepas nafsu.

Ponsel di meja lampu berdering. Pria berwajah kotak itu bangun untuk mengangkatnya. “Hello, it’s Mario .... Oh, Tuan Anderson! Senang mendengar kabar Anda.”

Percakapan terus berlangsung. Namun, seiring waktu telepon, wajah Mario berubah serius dan sesekali mengangguk. “Tentu, tentu, akan kulaksanakan .... Okay, enjoy your vacation, Sir.”

Telepon ditutup. Mario kembali berbaring memeluk pasangannya yang juga terbangun akibat dering barusan. Tak lain wanita itu adalah Una.

“Ada apa, Mario?” tanya Una dengan suara mengantuk.

“Investor perusahaanku menelepon. Katanya, ada saingan bisnis yang harus disingkirkan.”

Una masih terpejam. “Kedengarannya kejam banget.”

“Una, my love, semuanya sah-sah saja dalam persaingan bisnis. Menjadi peran jahat di dalam kisah orang lain pun bukan masalah.”

“Apa kamu bisa melakukannya?”

Mario terkekeh. “Kalau mendapatkanmu saja bisa kulakukan, apalagi menyingkirkan semut kecil. It’s piece of cake. Kamu akan melihat kalau aku jauh lebih berkuasa dari suamimu.”

Keduanya tersenyum, lalu saling memberi ciuman. Una kemudian membenamkan kepalanya dalam dekapan dada bidang Mario. Hangat. Namun, Mario tidak tahu ekspresi murung yang sedang tampak di wajah Una.

***

Hunian megah berbentuk layaknya benteng berdiri kokoh di atas padang rumput. Dindingnya putih mulus. Ada bendera biru bergambar perisai segi enam. Lantainya marmer. Sepanjang koridor menuju aula, berjejer lukisan indah dari era renaisans.

Kantuk Reza setelah perjalanan panjang seakan hilang. Ia tercengang. Pemandangan di depan matanya seakan lembar buku cerita dongeng yang ditarik ke dunia nyata. Namun, ada satu kejanggalan. Tempat itu sepi.

Reza mengernyit. “Umm ... Felix? Ini istana, ‘kan? Mana pelayan lainnya?”

Felix terus berjalan mendampingi Reza. “Mereka mengundurkan diri setelah malam pembantaian itu, Tuan. Kini hanya ada saya.”

Demikianlah percakapan antara Reza dan Felix setelah 17 jam perjalanan dari Indonesia ke Jerman. Felix bergerak cepat. Ia mempersiapkan tempat tidur di kamar paling atas, lalu mempersilakan Reza melepas lelah.

Reza mendengkur enam jam lamanya. Hidungnya mengembang. Matanya lantas terbuka perlahan ketika aroma wangi daging panggang menyambangi. Ia pun bangkit dan menemukan Felix sudah masuk ke kamarnya, berpakaian layaknya pelayan istana dan membawa meja hidangan.

“Tempat ini sunyi sekali. Kamu yakin tidak ada vampirnya?” Reza tertawa.

“Kalau ada vampir, sudah pasti keluarga Hazerstein runtuh lebih awal, Tuan.” Felix tersenyum seraya menghidangkan makanan pada Reza.

“Ah, mumpung kamu membahasnya, Felix. Saya—” Reza menyipitkan mata. “Maaf, rasanya formal banget. Boleh saya gunakan ‘aku kamu’?”

“Terserah Anda, Tuan Reza. Saya sendiri akan tetap memanggil Anda dengan sopan.”

“Baiklah. Kalau gitu, aku mau tahu. Sebenarnya siapa keluarga Hazerstein?”

Reza mulai memotong daging steik, dan langsung terpana dengan tampilan dalamnya. Ia menggigit sambil menunggu penjelasan dari sang pelayan. Sementara Felix masih berdiri tegap dan memberi anggukan sopan.

“Keluarga Hazerstein adalah konglomerat Jerman yang sudah berdiri sejak abad 19. Kalian menguasai banyak sektor bisnis di penjuru bumi. Otomotif, minyak, emas, investasi alutsista, dan banyak lagi. Kalau dalam istilah orang biasa ... keluarga Hazerstein bisa disebut sebagai elit global.”

Seketika Reza tersedak. Felix buru-buru menyodorkan gelas jus jeruk.

“Ada apa, Tuan? Apa dagingnya terlalu keras?”

“Gundulmu! Kamu bilang, keluarga ini elit global? Berarti keluarga ini bertanggung jawab atas tiga perempat masalah di muka bumi!”

“Untuk sekarang, Tuan Reza tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Fokus saja membangun kembali keluarga ini.” Felix berdehem. “Kecuali Tuan ingin kembali ke Indonesia, dan tetap kehilangan segalanya.”

Mendengar itu, Reza perlahan tertunduk murung. Mulutnya rapat. Reza dilanda bimbang. Pandangannya tertuju pada steik hangat yang sama-sama menunggu nasib apakah akan lanjut dimakan.

***

Mobil silver nan mewah Mario melaju di jalanan kota Jurajura. Langit cerah. Namun, sangat kontras dengan suasana hati Mario saat ini. Sang sopir hanya bisa diam melihat wajah gelisah majikannya lewat kaca spion.

Bukan tanpa alasan Mario berekspresi demikian. Mobilnya sudah berkeliling. Ada tujuh gedung perusahaan besar di Jurajura yang dipegang sahamnya oleh sanak famili Hazerstein, tapi semuanya tak mengindikasikan komunikasi dengan keluarga konglomerat itu.

Harusnya itu bagus. Itu pertanda bahwa tidak ada yang perlu disingkirkan. Sayangnya, pria gundul Washington memberi dua patah kalimat lewat telepon yang membuat Mario ketar-ketir.

“Kaukira aku melantur karena usiaku? Cepat cari dia, atau kariermu berakhir!”

Bayangan gedung-gedung kota bergantian menerpa wajah gelisah Mario. Ia mendecak. Dalam hati menggerutu, mengejek si gundul. Satu-satunya yang bisa menghibur hati Mario saat ini tentu bertemu sang wanita hasil rampasan.

Kamar hotel diketuk. Una membukakan. Wanita itu muncul dengan senyum manis menggoda di wajah cantiknya, tapi terkesan simpul. Mario masuk, menutup pintu lalu mendaratkan ciuman, kemudian sadar ada yang salah.

“Ada apa, Sayang?”

Una menunduk. Tangannya saling menggenggam ketika Mario merangkulnya ke ranjang. “Tidak .... Aku hanya kepikiran, mungkin caraku mengusir Reza kemarin terlalu kejam.”

“Come on, Una. Kamu pantas bahagia! Lagi pula separah apa, sih, Reza setelah dicampakkan olehmu?” Mario menyalakan televisi.

“.... Setidaknya lima orang tewas dalam kasus penembakan dan ledakan di Grand Jurajura Hotel. Berikut wajah terduga pelaku dari tangkapan gambar rekaman CCTV.”

Terpampang wajah Reza. Una dan Mario sama-sama terperangah.

***

Segarnya udara pagi menyambut Reza ketika membuka jendela. Tetap sunyi. Sudah tiga hari sejak Reza menghuni kediaman megah Hazerstein, dan suasana hatinya belum bisa lepas dari sendu. Pagi itu terlalu indah untuk Reza yang memiliki segudang beban pikiran.

Felix datang membawakan sarapan. Namun, aroma kopi dan peanut butter toast tidak juga menggugah selera makan Reza. Sang pelayan pun hanya bisa menghela napas.

“Ada apa lagi, Tuan? Masih mengkhawatirkan kekacauan dunia yang disebabkan keluarga Anda?”

Reza tak berpaling dari jendela. “Itu juga, sih. Tapi sekarang, aku juga memikirkan istriku. boleh aku minta waktu sendirian, Felix?”

Felix tak membantah. Setelah meja hidangan sudah rapi, pria mancung itu pun meninggalkan kamar. Kini tinggallah Reza memandangi pekarangan istana Hazerstein. Lalu muncullah pikiran aneh ketika Reza menunduk melihat bebatuan di bawah.

Sedetik kemudian, Reza memanjat jendela.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Keturunan Terakhir Elite Global   52. Apa lagi artinya?

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   51. Srategi Manusia Bertopeng

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   51. Di Ujung Maut

    Dor! Letusan senapan menggema di hutan. Disusul teriakan si pria kekar. Tangannya hancur. Darah dan serpihan kulit terciprat mengenai jaket pria sopir jip. Kapak menabrak daun kering di tanah, membuat Isabelle sadar telah lolos dari maut. “Reza?” Isabelle segera menoleh, mencari sang penyelamat hidupnya. Sayang, yang hadir di antara kabut adalah si pelayan bermata bulat. Moncong senapan laras panjang masih mengacung gagah setelah muntah. Itu senapan si penjahat. Dan sekarang Felix yang menguasainya. “Aku sudah bilang, pakai senapan itu saja biar cepat!” pekik si sopir jip pada rekannya. Pria kekar masih merangkak, menangis memegangi pergelangan tangannya yang penuh darah. “Kau yang minta supaya eksekusinya tidak menghasilkan suara, psikopat keparat!” Isabelle mengambil kesempatan itu. Ia segera berlari. Sopir jip hampir menggapainya, tapi tercegah oleh letusan kedua dari senapan. Sepuluh detik, sang putri Vanlomraat pun berhasil berdiri di sebelah si pelayan setia. “No on

  • Keturunan Terakhir Elite Global   50. Pilihan Seorang Wanita

    Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m

  • Keturunan Terakhir Elite Global   49. Strategi Sekumpulan Musuh

    “Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan

  • Keturunan Terakhir Elite Global   48. Misi Penyelamatan

    Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status