Mag-log inRadit adalah prototipe kegagalan: seorang pemilik warung kaki lima di ambang kebangkrutan yang hanya mampu menyajikan nasi goreng hambar, takut mengambil risiko dalam hidup maupun di dapur. Kehidupannya yang menyedihkan berubah drastis ketika ia secara ajaib mendapatkan "Sistem Citarasa Ilahi," sebuah sistem mistis yang menjanjikan Skill memasak legendaris. Namun, anugerah ini datang dengan kontrak gaib yang mengerikan: untuk menaikkan Level, Radit harus mempersembahkan hidangan istimewa yang dibuatnya kepada berbagai Entitas Gaib Nusantara mulai dari hantu lokal hingga dewi laut. Dengan sistem yang baru diperolehnya, ia menjadi magnet baru di dunia kuliner.
view moreRadit menggenggam spatulanya dengan erat. Spatula itu meliuk-liuk, mengaduk masakan di wajan cekung. Api dari kompor menyala-nyala, mengeluarkan hawa panas di sekitar.
Klang! Deng! Klang! Suara bising spatula baja yang menghantam dasar wajan cekung itu terdengar lelah, nyaris tanpa gema. Hanya bunyi logam mati yang beradu dalam kepulan asap tipis beraroma sangit. Bagi Radit, itu adalah musik pengiring kegagalan. Ritme monoton dari seorang pecundang yang bahkan sudah terlalu letih untuk merasa putus asa. Pemuda itu mengaduk nasi dengan gerakan mekanis, matanya kosong menatap butiran-butiran putih yang melompat enggan di atas minyak jelantah yang mulai menghitam. Ini adalah piring kelima belas hari ini. Dan seperti empat belas piring sebelumnya, ia tahu persis rasanya bahkan sebelum mencicipi. Rasa hambar. Sebuah kekosongan yang bisa dikunyah. Nasi goreng tanpa jiwa. “Satu lagi sampah,” gumamnya dengan nada kecewa pada diri sendiri. Suaranya serak dan tertutup oleh desis wajan. Api dari kompor gas di bawahnya menjilat-jilat malas, seolah ikut merasakan keengganan si pengguna. Panasnya tidak cukup untuk menciptakan aroma hangus khas yang menjadi napas dari setiap nasi goreng legendaris. Api itu hanya cukup untuk memasak, lebih. Dengan satu gerakan terakhir yang lunglai, Radit menuang isi wajan ke atas piring kaleng. Sebutir telur mata sapi yang pucat dan sedikit gosong di tepinya ia letakkan di puncak gunungan nasi. Tanpa hiasan, tanpa acar, tanpa kerupuk. Persis seperti gambaran hidupnya saat ini: telanjang, menyedihkan, dan tidak menarik. Warung kaki lima itu sendiri adalah monumen dari kejatuhannya. Tiga meja reyot dengan kursi-kursi plastik yang warnanya telah memudar menjadi saksi bisu dari ketiadaan. Tak ada pelanggan sejak jam makan siang tadi. Alih-alih pelanggan yang datang, hanya lalat-alat yang berdengung malas, seolah mengejek kesunyian yang mencekam. Spanduk kain di depan warung, yang dulu bertuliskan “Nasi Goreng Warisan Kakek Jaya” dengan warna merah menyala, kini lusuh dan berdebu, warnanya luntur menjadi jingga pucat yang muram. Warisan. Kata itu terasa seperti duri di tenggorokannya. Radit meletakkan piring nasi goreng ke-15 itu di atas meja saji, bergabung dengan barisan piring lain yang mendingin. Ia tidak akan menjualnya. Ia tahu tak ada yang mau membelinya. Baginya ini hanyalah ritual penyiksaan diri. Upaya sia-sia untuk menemukan kembali percikan sihir yang pernah dimiliki kakeknya di wajan yang sama ini. Tangannya merogoh saku celana kargo yang berbau asap. Jemarinya yang kapalan menyentuh secarik kertas yang sudah lecek. Surat itu. Ia menariknya keluar, membukanya untuk yang kesekian kali. Tulisan yang dicetak dengan tinta hitam tebal itu seolah melompat dan menampar wajahnya. PEMBERITAHUAN PENGOSONGAN PAKSA TERAKHIR. Jatuh Tempo: Hari Ini. Mata Radit menatap sendu surat itu. “Hari ini,” bisiknya, napasnya tercekat. “Ternyata sudah sampai juga di ujung jalan.” Radit menatap sekeliling warungnya. Setiap sudut menyimpan kenangan dari masa lalu yang lebih bahagia. Di sana, di pojok dekat dispenser air, kakeknya biasa duduk sambil mengupas bawang. Senyumnya yang ompong selalu merekah setiap kali Radit kecil berhasil memecahkan telur tanpa membuat cangkangnya jatuh ke dalam mangkuk. Radit mengalihkan pandnagan ke arah lain. Di dinding yang kini terkelupas catnya, dulu tergantung sebuah foto hitam-putih. Kakek Jaya, berdiri gagah di depan gerobak pertamanya, wajannya berkilat di bawah matahari. Foto itu sudah ia simpan, tak sanggup lagi melihat sorot mata penuh harapan di dalamnya. “Maaf, Kek,” ucapnya lirih, matanya mulai panas. Ia berbicara pada udara kosong, pada arwah kenangan. “Maaf, Radit tidak bisa. Warisan Kakek… resep Kakek… semuanya hancur di tangan cucumu yang tidak berguna ini.” Ada rasa sakit yang tertancap di hati pemuda itu. Ia mengepalkan tangannya, surat tagihan itu remuk di dalam genggamannya. Kemarahan yang tumpul dan kesedihan yang tajam berperang di dalam dadanya. Mengapa ia tidak bisa? Ia mengikuti resepnya kata demi kata. Takaran garam, kecap, bawang, semua persis sama. Tapi hasilnya selalu berbeda. Masakan kakeknya adalah sebuah simfoni rasa yang meledak di mulut, meninggalkan kehangatan yang menjalar hingga ke hati. Sedangkan Masakan buatannya? Hanya kebisingan hambar. “Kau terlalu takut, Radit,” seolah suara kakeknya berbisik di telinganya, sebuah gema dari nasihat bertahun-tahun lalu. “Rasa itu bukan cuma di resep, tapi di keberanianmu. Berani mencoba, berani gagal, berani menemukan rasamu sendiri!” “Aku sudah mencoba, Kek! Aku sudah gagal!” Radit balas berteriak dalam hati, frustrasi membakarnya. “Aku takut! Aku takut kalau aku mengubah resep Kakek, aku akan menghancurkan satu-satunya peninggalanmu. Tapi dengan tidak mengubahnya pun… aku tetap menghancurkannya.” Paradoks itu mencekiknya. Ketakutannya untuk berinovasi telah membunuhnya perlahan-lahan. Ia hanya menjadi mesin fotokopi yang buruk, menghasilkan salinan resep yang pucat dan tak bernyawa. Di dunia kuliner yang kejam, di mana setiap hari muncul pesaing baru dengan ide-ide gila, nasi gorengnya yang ‘aman’ adalah tiket satu arah menuju kebangkrutan. Dan inilah stasiun terakhirnya. Dengan langkah gontai, Radit berjalan ke belakang warung. Kompor ia matikan. Desis wajan berhenti. Keheningan yang menyergap terasa lebih memekakkan telinga. Ia mencuci wajan kesayangannya, pusaka terakhir dari sang kakek, dengan gerakan penuh hormat. Besi tuanya ia gosok hingga bersih, meski kilaunya tak akan pernah kembali. Ini adalah upacara penutupan. Ritual terakhir sebelum menyerah. Matanya terpaku pada sebatang arang sisa bakaran sate semalam, tergeletak di dekat tumpukan kayu. Benda hitam itu terasa pas di genggamannya. Berat. Definitif. Seperti sebuah batu nisan. Radit berjalan kembali ke depan warung. Kakinya terasa diseret oleh beban tak kasatmata. Ia berdiri di depan spanduk lusuh itu. “Nasi Goreng Warisan Kakek Jaya”. Sebuah kebohongan besar. Tidak ada lagi ‘Jaya’ di sini. Hanya ada kegagalan. Radit mengangkat tangannya yang gemetar. Arang itu siap mencoretkan kata yang akan mengakhiri segalanya. Empat huruf yang akan membebaskannya dari penderitaan ini, sekaligus menguburnya dalam rasa malu abadi. T. U. T. U. P. Ujung arang yang tajam hanya berjarak satu sentimeter dari kain spanduk. Napasnya tertahan. Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang kotor oleh jelaga. Inilah akhirnya. Selamat tinggal, mimpi. Selamat tinggal, warisan. Selamat ting… [Memulai inisialisasi… Mencari wadah yang cocok…] Suara itu datang dari ketiadaan dan dari segala arah. Bukan di telinganya, tapi langsung di dalam tempurung kepalanya. Dingin, tanpa emosi, dan jernih seperti kristal. [Wadah terdeteksi. Tingkat keputusasaan: 98.7%. Sinkronisasi spiritual: Memadai. Kompatibilitas dengan warisan rasa: Sempurna.] Radit membeku. Arang di tangannya jatuh berdebum ke tanah. Matanya membelalak ngeri, menatap kosong ke jalanan yang gelap. Halusinasi? Apakah ia sudah mulai gila karena stres? [Selamat, Radit Jaya. Anda telah terpilih sebagai pengguna Sistem Citarasa Ilahi.] Radit mematung. Suara barusan, suara apa itu? Dan… Sistem Citarasa Ilahi? Apakah ini kegilaan lainnya?Keheningan yang menyusul gema suara itu bukanlah kekosongan, melainkan kehadiran. Kehadiran ribuan tahun yang terdiam, kehadiran kekuatan-kekuatan purba yang kini memusatkan seluruh atensi mereka pada sebuah panggung kecil di tengah planet biru yang fana. Udara di dalam stadion menjadi padat, berat dengan tekanan ekspektasi kosmik. Setiap molekul oksigen terasa seperti sebutir pasir dalam jam pasir raksasa yang berhenti berdetak.Di antara penonton, orang-orang bahkan lupa cara bernapas. Di tepi panggung, Luna dan Adrian mencengkeram pagar pembatas begitu erat hingga buku-buku jari mereka memutih, mata mereka terpaku pada langit buatan yang kini telah menjadi jendela menuju keabadian.Lalu, prosesi itu dimulai.Dari piring hitam legam milik Ki Gendeng, esensi spiritual Rendang Kiamat mulai terangkat. Bukan sebagai uap, melainkan sebagai pusaran energi berwarna ungu-hijau yang pekat dan beracun. Pusaran itu berputar dengan liar, membawa serta jeritan-jeritan bisu dari ego yang disulin
… adalah doa.”Suara Maestro Tanaya, meski serak karena emosi, terdengar seperti dentang lonceng di kuil kuno—jernih, khidmat, dan membelah kebisingan batin setiap orang. Ki Gendeng membeku, kata-kata terakhirnya yang penuh amarah tersangkut di tenggorokan seolah berubah menjadi batu.“Doa?” desisnya, nadanya adalah campuran antara cemoohan dan kengerian yang tak ia sadari. “Orang tua ini sudah gila! Ini kompetisi memasak, bukan rumah ibadah!”Namun, tak ada yang memedulikannya. Semua mata tertuju pada Maestro Tanaya, yang tatapannya masih terpaku pada sosok Radit yang terbaring. “Hidangan pertama,” lanjut sang maestro, kini menoleh pada para juri lainnya yang masih pucat, “adalah sebuah mantra. Ia menjerat, ia memaksa, ia membius. Sebuah kejahatan yang dibungkus dalam kenikmatan. Namun, hidangan kedua… hidangan dari anak itu… ia tidak meminta apa-apa. Ia hanya memberi. Ia menceritakan kisah tanah, keringat para petani, harapan seorang kakek. Ia mengingatkan kita pada rumah yang mung
“Adalah sebuah kejahatan.”Dua kata itu jatuh ke dalam stadion yang hening seperti dua bilah es, membekukan gelombang ekstasi palsu yang diciptakan Ki Gendeng. Untuk sesaat, bahkan para juri yang masih terjerat dalam adiksi Rendang Kiamat pun tersentak, sendok mereka berhenti di tengah jalan menuju mulut.Ki Gendeng, yang tadinya berdiri angkuh, tersentak seolah ditampar. Seringai iblisnya retak, digantikan oleh ekspresi tidak percaya yang kemudian mendidih menjadi amarah murni. “Kejahatan?” desisnya, suaranya bergetar karena murka yang tertahan. “Orang tua pikun! Kau menyebut evolusi sebagai kejahatan? Kau tidak mengerti! Ini adalah masa depan! Rasa yang tidak lagi dibatasi oleh nostalgia bodohmu!”“Justru karena aku mengerti, aku menyebutnya demikian,” balas Maestro Tanaya, matanya yang tua namun jernih menatap lurus ke arah Ki Gendeng tanpa gentar. Ia tidak meninggikan suaranya, tetapi setiap suku katanya bergema dengan otoritas yang tak terbantahkan. “Kau tidak menciptakan rasa.
Gedebuk!Suara tubuh Radit yang menghantam lantai panggung terdengar lebih keras dari bel akhir waktu, sebuah tanda titik yang brutal dalam simfoni memasak yang baru saja usai. Untuk sesaat, seluruh stadion membeku. Keheningan yang tadinya mencekam karena antisipasi kini berubah menjadi keheningan syok.“RADIT!” Jeritan Luna merobek keheningan itu, penuh kepanikan murni. Ia melompati pagar pembatas tanpa ragu, disusul oleh Adrian yang bergerak sigap, wajahnya pucat pasi. Tim medis yang siaga di sisi panggung segera berlari, mengabaikan segala protokol kompetisi.Di seberang panggung, Ki Gendeng tertawa. Bukan tawa kemenangan yang meledak-ledak, melainkan tawa serak yang puas, seperti suara ular derik yang baru saja menyuntikkan bisanya.“Hah… hah… lihatlah sang pahlawan rakyat,” desisnya, napasnya masih terengah setelah mengerahkan seluruh sihirnya. “Menumpahkan jiwa ke dalam sepiring nasi? Bodoh. Jiwa itu untuk dikendalikan, bukan untuk dibagikan.”Ia sama sekali tidak peduli pada ke






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.