Share

BAB XIII Donor Bulu

“Kita butuh api atau air hangat untuknya. Bagaimana cara mendapatkannya?” Kinara memandang ke arah Rhara penuh harap.

“Ada batu api. Hanya saja menurut peta jaraknya sangat jauh dari kebun wortel ini. Setidaknya membutuhkan waktu satu hari satu malam. Jika kita pergi selama itu manusia ayam tidak tertolong lagi.”

“Oh, tidak! Ia harus segera harus diselamatkan. Ia sedang sekarat di depan kita. Menurutmu apa tidak ada cara lain untuk membantunya bertahan?”

“Ada, tetapi sangat menyakitkan dan beresiko.”

“Katakan! Akan kucoba sebisaku!” kata-kata Kinara bak pahlawan kesiangan.

“Kau yakin mampu melakukannya? Pertimbangkan baik-baik sebelum memutuskan sesuatu. Manusia ayam hipotermia karena kehilangan semua bulunya. Tempat ini jauh dari sumber api. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya adalah dengan memberinya bulu.”

“Apa maksudmu Rhara? Haruskah aku mencabuti buluku?” ide gila Rhara mengagetkan Kinara.

“Jika kau tulus ingin menyelamatkan jiwanya, donorkanlah beberapa bulumu untuknya!” kata-kata Rhara setajam pisau.

            Terbayang betapa sakit mencabuti bulu-bulunya. Kinara meringis membayangkan pedih, perih, dan ngilu yang akan menderanya. Namun, hanya itu satu-satunya cara untuk membantu manusia ayam. Jika dalam kehidupan di dunia asal Kinara belum pernah melakukan donor darah, kini sebagai makhluk terkutuk ia ditantang melakukan donor bulu. Akankah ia merelakan dan mampu menahan rasa sakit?

            Kinara mendekati Rhara dan mengajaknya sembunyi di balik tanaman wortel. Tangannya sedikit gemetar. Ia gugup untuk sekedar berkata-kata. Rhara paham maksud Kinara.

“Kau yakin akan mencobanya di sini?” tanya Rhara.

“Aku akan bertahan sebisaku. Lakukan dengan cepat kira-kira sepuluh helai yang besar-besar!”

“Maafkan aku karena tega melakukan ini padamu!”

            Rhara menyentuh bulu-bulu halus Kinara. Ia memilih yang ukurannya tidak terlalu panjang. Sebenarnya nyalinya meredup. Ia bagaikan eksekutor yang siap menembak mati seorang terdakwa. Kekurangannya adalah tidak tahu cara menembak yang benar.

“Arrrrrrgh......!” Kinara menjerit keras membuat merinding siapun yang mendengarnya.

Rhara terus mencabut hingga lima helai lalu menangis sejadi-jadinya. Ia sudah tidak sanggup melakukannya lagi. Kinara berdarah dan penuh luka cabutan. Badannya lemas dan tenaganya habis untuk menahan sakit dan menjerit. Napas Kinara tidak teratur. Ia mencoba bertahan sebisanya. Rhara berlari menuju manusia ayam. Lima helai bulu yang berharga itu ia tata diatas badan manusia ayam hingga tertutup separuh badan. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia kembali kepada Kinara.

Wajah Kinara semakin pucat. Bibirnya memutih dan keringat dingin keluar dari kening dan lehernya. Kulit yang terluka masih mengeluarkan darah segar. Bau anyir mulai tercium. Rhara tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kinara jelas mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan orang lain. Sedangkan ia merasa belum bisa berbuat apa-apa. Kekhawatiran yang lain tiba-tiba datang. Kinara semakin melemah.

Manusia ayam belum beranjak. Pikiran Rhara tambah kacau karena di antara keduanya belum ada yang membaik. Ia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk terhadap Kinara. Tidak sengaja darah Kinara jatuh ke atas mahkota bunga kecil di bawah tanaman wortel. Darah itu membasahi permukaan mahkotanya. Bunganya seketika menjadi layu dan mendadak mati. Ternyata tidak terhenti sampai di situ saja. Seluruh tanaman wortel juga ikut mati. Seperti virus yang menyebar tanpa terbendung, dalam sekejab kebun wortel habis. Darah Kinara bagaikan hama tanaman. Setelah itu tanah bergetar. Sesuatu muncul dari dalam. Wujudnya menyerupai akar. Semakin besar dan semakin tinggi. Rhara ketakutan menatapnya.

“hmmm... ada yang membangunkan tidur panjangku rupanya,” sesosok akar besar muncul dari dalam tanah dan menyembul ke atas.

“Kau siapa?” tanya Rhara sambil menyembunyikan ketakutannya.

“Aku penjaga kebun wortel yang telah lama tertidur karena sihir jahat. Kebun bunga di sebelah terkena imbasnya. Tanah di sana menyimpan dendam hingga menumbuhkan bunga beracun yang bisa membunuh siapa saja yang menyentuhnya. Kutukannya hilang jika ada darah suci berbau bunga melati yang membasahi tanah ini dan mampu membangunkanku dari tidur panjang selama seratus tahun.”

“Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang kau bicarakan,” kata Rhara.

“Falseland menyimpan banyak rahasia yang tidak bisa terungkap semuanya. Namun, kini kau bersama si pemilik darah suci. Tuangkan ini pada bagian tubuhnya yang terluka!” Akar memberi ramuan dalam botol kecil kepada Rhara.

            Rhara mengambil dengan cepat dan mengobati Kinara dengan hati-hati. Ramuan itu berwarna biru tosca dan berbau mirip getah karet, tetapi lebih dekat baunya dengan bublegum yang biasa ia makan sewaktu masih kecil. Sedikit demi sedikit luka ditubuh Kinara mengering. Lalu tumbuh bulu-bulu baru dengan warna kuning keemasan. Mata Kinara kini terbuka. Ia duduk dan menatap Akar besar yang ada di depannya.

“Selamat datang Kinara. Terimakasih sudah membangunkanku dari kutukan sihir jahat.”

“Tubuhku sekarang terasa ringan dan segar bugar. Tadi aku kesakitan setengah mati. Kupikir hidupku akan selesai di sini.”

“Tugasmu belum selesai. Misimu harus terus dilanjutkan!” sekali lagi Akar mengeluarkan botol kecil berisi cairan abu-abu mengkilat.

“Apalagi ini/” tanya Rhara.

“Ini adalah hadiah untk Kinara. Bunga abadi terletak di hutan jati. Kau bisa menemukannya di sana! Mahkotanya berwarna jingga terang. Daunnya lebar menyirip. Setelah kau temukan, tuangkan cairan ini di atasnya! Bunga itu akan menyampaikan pesan penting tentang misimu di Falseland,” Akar memberi petunjuk.

            Tiba-tiba tanah disekitar Akar mendadak ambles dan sedikit bergetar. Kemudian merapat kembali. Artinya urusannya dengan Kinara telah selesai. Peristiwa seperti ini sudah tidak mengagetkan lagi untuk Kinara. Falseland dan semua penghuninya menyimpan misteri, tetapi selalu memberikan informasi kepada Kinara sesuai dengan porsinya sehingga tidak membuang-buang waktu yang berharga.

“Lihat Kinara! Hutan jati tidak terlalu jauh dari tempat ini. Haruskah kita kesana sekarang?” tanya Rhara sudah tidak sabar.

“nanti dulu. Aku ingin melihat kondisi manusia ayam.”

“oke kita cek sekali lagi.”

            Mereka berjalan menuju tempat manusia ayam. Tampaknya mereka tidak perlu khawatir lagi. Manusia ayam sudah berdiri dan bisa tersenyum. Bulu-bulunya yang asli sudah mulai tumbuh. Ia menatap Rhara dan Kinara dengan senyuman hangat.

“Terimakasih Kinara dan Rhara. Tanpa bantuan dari kalian aku pasti sudah celaka di tempat ini.”

“Jangan berkata begitu. Kita memang harus saling membantu,” kata Kinara.

“Maaf tadi aku sempat mendengarkan percakapan kalian dengan Akar. Kalian akan menuju hutan jati bukan?”

“Iya. Kami mencari sesuatu,” jawab Rhara.

“Sebelum pergi carilah jawaban mengapa clarinet yang ku bawa tidak pernah bisa menghasilkan suara?”

“Oh, itu sih kasusnya sama dengan alat musikku,” jawab Rhara.

“Jadi bukan hanya milikku yang tidak berbunyi?”

“Benar. Alat musik di sini bagaikan aksesoris yang wajib dijaga tanpa tahu kapan akan berfungsi,” jawab Rhara.

            Percakapan itu tidak bisa diikuti oleh Kinara. Pasalnya ia sendiri tidak membawa apapun. Kata Ganesha tugasnya adalah menari. Aduh, dirinya menjadi ingat lagi pada Kinari. Hal itu membuat hatinya bagaikan tersengat listrik tegangan tinggi.

“Kinara, bawalah telur-telurku ini. Isinya bukan calon ayam. Ini semacam senjata. Lemparkan pada musuh yang menghalangi tujuanmu! Jumlahnya tidak banyak. Gunakan dengan bijak. Jangan sampai terbuang sia-sia,” manusia ayam menyerahkan telur-telur itu.

“Terimakasih. Benda ini akan sangat membantu.”

“Kalian pasti bukan makhluk terkutuk biasa,” kata manusia ayam.

“Apa yang membuatmu berpikir demikian?” tanya Kinara.

“Peta yang Rhara bawa. Aku sudah lama tinggal di Falseland. Baru kali ini ada yang memilikinya. Terlebih lagi Kinara spesial. Tindakanmu luar biasa. Jangan pernah berhenti berbuat kebaikan! Akan ada balasan yang setimpal. Satu hal lai yang mendukung argumenku. Kinara tidak membawa alat musik. Kau berpeluang besar menjadi si terpilih.”

“Si terpilih?” Kinara tidak tahu harus berkomentar apa lagi.

“Iya. Beritanya memang masih simpang siur. Entah seperti apa kebenarannya. Makhluk mitologi di sini menanti kedatangannya. Konon katanya nasib kami bisa kembali ke dunia asal atau tidak, 50% bergantung pada si terpilih dan 50% lagi tergantung pada keberhasilan misi yang kita emban karena setiap makhluk memiliki tugas yang berbeda,” manusia ayam berbagi pengetahuan yang ia punyai.

“Ku pikir cerita itu hanya omong kosong. Aku pernah mendengar cerita yang hampir sama dari manusia serigala. Waktu itu kami bertemu saat gerhana bulan. Sayangnya, manusia serigala mati. Ada luka besar menganga di dada sebelah kiri. Mungkin bekas pertarungan dengan pemangsa yang lain,” Rhara menguatkan argumen.

“Kemana tujuanmu?” tanya Kinara kepada manusia ayam.

“Ke gunung es. Aku harus memenuhi misiku di sana. Terimakasih banyak telah membantuku. Jika bukan kau, mungkin tidak terpikir mencabut bulu sendiri demi menyelamatkan orang lain yang tidak kau kenal. Perbuatanmu begitu mulia. Tadi aku mendengar kau berteriak sangat keras. Pasti darahmu keluar banyak.”

“Sudahlah. Itu juga salah satu pemenuhan misi dan aku senang bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.” Jawab Kinara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status