Share

BAB XII Petualangan di Kebun Bunga

Tanah di sekitar Kinara sedikit bergetar karena Rhara masih melompat-lompat kegirangan seolah-olah mendapatkan juara I dalam sebuah perlombaan basket antar sekolah. Ia mengayun-ayunkan tangannya yang memegang gulungan kertas itu tanpa tahu apa isinya. Sedangkan Kinari masih terpekur menengadahkan kedua telapak  tangannya yang membawa sebuah kunci terbuat dari berlian asli pemberian dari Ganesha. Terpaan matahari membuat benda itu berkilauan indah sekali.

            Ganesha pergi begitu saja tanpa memberi tahu kunci apa yang ia berikan. Banyak misteri yang menyelimuti hidup Kinara. Pikirannya penuh tanda tanya. Mengapa dirinya harus bertemu banyak makhluk-makhluk aneh yang selalu memberinya teka-teki? Seharusnya ada sedikiut clu tentang kunci itu. Terlepas dari informasi tentang Kinari yang sangat membantu, Ganesha tidak membuka sejujurnya tentang kunci hingga Kinara menjadi penasaran luar biasa.

“hore...hore...! aku dapat hadiah! Hore!” suara Rhara sangat berisik.

“Diamlah Rhara! Aku sedang berpikir keras.”

            Rhara menghentikan kelakuannya yang kekanak-kanakan. Ia menatap Kinara terheran-heran.

“Mukamu tidak terlihat senang. Lihatlah kunci permata yang kau dapatkan! Itu harta karun sungguhan.”

“Iya, seandainya di dunia asalku. Di sini untuk apa kunci ini? Tidak mall, tidak ada toko. Semua sudah disediakan oleh alam. Aku juga belum pernah menjumpai rumah atau bangunan di sini. Kecuali terowongan tanah buatanmu.”

“Jangan sedih! Aku yakin benda itu istimewa. Kita pasti akan menemukan fungsinya. Bukankah kita masih harus menyelesaikan misi yang diberikan oleh Ganesha? Menurutku akan ada petunjuk di dalamnya.”

“Benar juga. Bunga abadi mungkin tahu sesuatu, tetapi bagaimana kita menemukannya?”

“Melelahkan! Apa tidak ada sesuatu semacam petunjuk arah di tempat ini?”

“hmm... lihat dulu gulungan kertas yang kau terima. Aku penasaran apa isinya?”

“Mari kita buka dan lihat bersama-sama!”

            Tangan Rhara membuka tali yang melilit gulungan itu dengan hati-hati. Lalu dibukanya dari bawah ke atas. Seperti seorang prajurit kerajaan yang hendak membacakan titah dari raja, Rhara kemudian berseru.

“Ini peta Falseland.”

            Kebahagiaan menyelimuti Rhara dan Kinara. Mereka berpegangan tangan dan berputar pelan dengan posisi kepala menengadah ke langit. Senyum terpancar dari wajah kedua sahabat itu. Bertemu Ganesha benar-benar berkah. Pasti kunci itu jauh lebih berharga dari peta.

“Coba kita lihat. Di mana saja letak kebun bunga?” Kinara bersemangat.

“Sekarang kita ada di ujung selatan Falseland. Kebun bunga tersebar di mana-mana. Ada sekitar tujuh tempat. Kira-kira bunga apa yang dimaksud Ganesha?”

“Di dunia asalku ada juga bunga abadi. Hidupnya di gunung-gunung. Namanya bunga edelweis. Entahlah di sini ada bunga seperti itu atau tidak?”

“Aku baru dengar ada bunga seperti itu. Lagi pula aku sama sekali tidak paham dengan nama-nama bunga yang aneh. Kalau masih yang umum seperti mawar atau melati aku masih tahu.”

“Andai saja ada saudaraku di sini. Kau pernah melewati tempat mana saja?” tanya Rhara.

“Kebun bunga amarilis yang berdampingan dengan lili dan tulip. Kemudian aku pernah makan di kebun jelai dan jewawut.”

“Ini tempatnya ada di sebelah timur. Mau coba arah barat? Ada dua kebun bunga di sana.”

“Siapa takut. Naiklah ke punggungku lagi! Petualangan kita semakin menantang.”

            Mereka terbang ke arah barat menuju kebun bunga. Perjalannya cukup jauh. Butuh waktu berhari-hari untuk sampai di tempat tujuan. Sesekali mereka berhenti didekat sumber air untuk beristirahat dan menghilangkan dahaga. Jika malam tiba, Rhara membuat terowongan di bawah pohon yang rindang sebagai tempat untuk mereka tidur. Mereka beruntung karena tidak perlu menempuh dengan jalur darat. Kaki Rhara pasti pegal-pegal jika harus berjalan sejauh itu. Menjadi manusia kelinci tidak selamanya baik. Kedua kakinya jadi lebih pendek. Begitu juga dengan tinggi badannya yang banyak berkurang dari sebelumnya. Dua gigi depannya menonjol dan memanjang. Daun telinganya besar dan panjang. Ia juga mendengar bunyi-bunyian yang belum pernah ia dengar selama menjadi manusia normal.

            Kinara bangga memiliki sayap. Bulu-bulunya hangat dan sehalus sutera. Warnanya merah jambu di bagian atas dan semakin merah di ujungnya. Spesies burung jelmaannya mirip flamingo. Ia teringat saat pertama kali menjelma menjadi manusia burung. Betapa kagetnya ia dengan bulu-bulu yang tumbuh semakin lebat. Sesuatu yang masih sangat mengganggu hingga sekarang adalah paruhnya. Ketampanannya sepenuhnya hilang gara-gara paruh sialan itu. Ia ingin makan steak, burger, pizza, ayam, sosis, dan masih banyak lagi. Saat kesedihan muncul, ia terus menghibur diri dengan kenyataan bahwa ia bisa terbang. Hal itu membuatnya bahagia. Misinya sangat terbantu dengan kemampuan istimewanya itu. Bayangkan jika harus selalu berjalan kaki. Otot-otot kakinya akan membesar dan perjalanan akan menjadi lebih lama.

            Falseland juga lebih indah dilihat dari atas. Kinara bisa menjangkau lebih luas untuk mengamati keadaan sekitarnya. Udara bersahabat dengannya. Tempat ini sepertinya tidak mengenal musim salju. Ia tidak lagi ketergantungan dengan mantel bulu tebal dan duduk di dekat perapian. Hal yang merepotkan di sini adalah hujan api. Tempat ini berubah layaknya neraka. Panas dan asap di mana-mana. Sejenak aktivitas yang menunjang keberhasilan misi menjadi terhenti. Kalau di dunia asalnya mungkin akan menyenangkan karena Kinara tidak harus sekolah dan bisa main game sepuasnya. Sayangnya, di sini tidak tersedia peralatan modern seperti itu. Meski demikian, Falseland memiliki tingga keajaiban tinggi yang mampu mengalahkan kecanggihan mesin tercanggih di abad 21.

            Kebun bunga pertama yang mereka singgahi ditumbuhi oleh berbagai jenis anggrek dengan segala warna. Tidak ada yang spesial di sana. Bahkan Rhara sudah mondar-mandir mencari petunjuk, tetapi masih nihil. Saking gemasnya ia mencoba mengajak bicara bunga-bunga seperti orang gila. Kinara terhibur melihat tingkah konyol temannya. Ia sampai sakit perut saking kebanyakan tertawa.

            Semangat mereka masih membara meski di kebun bunga pertama tidak menemukan apa-apa. Perjalanan menuju kebun bunga kedua tidak semulus sebelumnya. Mereka harus berlindung di terowongan selama dua hari. Sebab, ada torpedo datang disertai dengan hujan meteor. Kondisinya tidak separah hujan api. Namun, hal itu menguras kesabaran Kinara. Berkali-kali ia mondar-mandir. Sesekali mengamati keadaan di luar menggunakan teropong anti api. Kunci berlian yang ia taruh di dalam tas kecil buatan Rhara yang terbuat dari rumput ilalang kering menambah kepanikan dalam dirinya.

            Kinari, Kinari, Kinari. Menyebut namanya membuat hati Kinara berdesir. Terbentuk lubang rindu yang dari hari ke hari kian membesar. Entah itu hukuman atau anugerah, yang pasti Kinara menjadi gampang murung. Layaknya merasakan kasih yang tak sampai. Sosok perempuan burung yang masih abstrak terus melintas dalam benaknya. Dadanya menjadi sesak.

            Perjalanan penuh aral melintang menuju kebun bunga kedua berakhir dengan penuh kekecewaan karena belum membuahkan hasil. Bunga-bunga di sana tampak biasa saja. Tidak ada yang istimewa, misal paling besar, paling berbau atau apalah. Kinara terlalu letih untuk kembali terbang. Ia dan Rhara memutuskan untuk berjalan sambil mencari tempat bermalam yang cocok. Tubuh mereka membutuhkan istirahat yang cukup setelah melakukan perjalanan melelahkan selama berhari-hari.

            Menjelang senja mereka melewati sebuah kebun wortel. Rhara kegirangan dan meminta Kinara untuk mampir sebentar. Ia perlu beberapa buah sebagai bekal dalam pencarian panjangnya. Sebenarnya Kinara enggan menuruti keinginan temannya, tetapi Rhara tampak kelaparan. Maka Kinara mengalah dan mereka memasuki kebun wortel bersama-sama. Baru saja Rhara menggali dan mendapatkan sekitar empat wortel, terdengar suara.

“Tolong! Tolong! Siapapun tolong aku!” suara itu sedikit parau.

“Kau dengar Kinara? Seseorang meminta pertolongan.”

“Iya, sepertinya dari arah kanan. Ayo bergegas!”

            Betapa kagetnya Kinara melihat manusia ayam tanpa bulu tergeletak tidak berdaya. Wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil.

“Kenapa kau seperti ini?” tanya Kinara.

“Bulu-buluku rontok karena terkena serbuk sari bunga beracun. Jangan sentuh satu bunga pun dikebun bunga sebelah kebun wortel ini!”

“Apa yang kau rasakan?” tanya Rhara iba.

“Dingin! Sangat dingin! Tolong aku!” manusia ayam berjuang untuk tetap bertahan.

“Mari kita cari dedaunan kering untuk membantunya menghangatkan badan! Buatlah juga sarang cekung dari jerami kering!” Rhara memberi arahan.

            Kinara dan Rhara sibuk mencari bahan-bahan yang dibutuhkan dan segera membuat sarang sebisanya. Rhara mencoba masuk ke dalamnya. Ia merasa lebih hangat. Bersama-sama Rhara dan Kinara mengangkat tubuh manusia ayam ke sarang. Lalu mulai menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan dedaunan kering.

“Bagaimana? Apakah kau sudah merasa lebih baik?” tanya Kinara.

“Masih sangat dingin,” tubuh manusia ayam bergetar hebat.

“Ia bisa mati jika terus-menerus seperti ini,” Rhara sangat panik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status