Home / Fantasi / Kinari dan Benang Waktu / Bab XLIII Wounds beyond Blood

Share

Bab XLIII Wounds beyond Blood

Author: Niskala
last update Last Updated: 2025-08-26 00:47:56

Sore menua menjadi jingga.

Kael menghitung lembaran dengan canggung, membagi tip juga pada Deka.

Mereka kemudian menuju toko pakaian bekas—jendela kacanya memantulkan pantai dan langit seperti dua halaman kitab yang berdempetan.

Penjualnya bertanya apakah mereka sedang dalam acara festival; Kael hanya tertawa, berkeringat, lalu berkata mereka “artis jalanan”.

Kinari menyentuh kain-kain yang tergantung; tak ada satu pun berkilau aether atau ditenun dari serat abyssal—namun sentuhan ringannya membuat kain-kain itu seperti berbisik dalam bahasa baru: keperluan, bukan kemewahan.

Ia memilih jaket ringan bernuansa laut pucat, rok selutut, dan sepatu yang memeluk telapak—bukan hal yang akan ia pilih, tapi malam ini Bumi meminta kompromi.

Kael memilih kaus gelap, hoodie, dan celana yang memberinya kebebasan gerak; bilah eter di punggungnya disamarkan sebagai “alat panggung lipat”.

Di kasir, Kinari menatap alat pembaca kartu dengan curiga. “Apakah ini juga dewa?” bisiknya.

“Buk
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab XLIX Symphony of Nora Batara

    Mereka mengintai pengelola pasar; pria itu duduk di sebuah bilik kecil di pojok pasar, dikelilingi kertas-kertas yang seperti daun-daun mati. Ia menutup jendela saat Kael mendekat; di raknya ada foto-foto pejabat kota, jabat tangan, segel, surat perjanjian. Kinari menyentuh pintu bilik—Sutera Lumen merayap menjilati kaca, memperlihatkan rekaman pantulan: notasi tanda tangan yang bergeser, angka-angka yang dinaikkan lalu diturunkan, bukti-bukti transfer yang tidak pernah sampai pada kasir pasar. Pengelola itu menoleh, wajahnya pucat ketika ia melihat kenyataan tercermin di kaca. Bukan hanya malu: ia melihat retak pada waktunya sendiri—keputusan yang ia ambil menggetarkan benang ruang di bawahnya. Namun pengelola menjadi marah, bukan menyesal. Ia menggeram bahwa pemerintah kota tak cukup memberi alokasi, bahwa biaya pasar semakin menekan, bahwa sulit menyeimbangkan buku. Dalam bahasa yang tampak rasional itu terselip sebuah pilihan: korupsi adalah jalan pintas, pilih

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab XLVIII Echoes of the Tainted Pact

    Pasar Nora Batara menatap mereka seperti mulut raksasa yang mengunyah bara. Lampu-lampu minyak di kios-kios memantul pada lembar-lembar kain, pada timbangan kuno, pada wajah-wajah penjual yang terkadang tangannya bersandar pada kebiasaan lama—kebiasaan yang menumbuhkan korosi pada waktu. Di udara ada bau rempah, ikan asin, keringat, dan parfum tiruan — sebuah simfoni manusia yang hidup sekaligus rapuh. El’Thyren di dada Kinari berdenyut tak tenang; denyutnya seperti nadi yang ditusuk jarum, berganti cepat dari lembut menjadi getar tajam. Sutera Lumen yang mereka tenun di seantero kota meriak di kaca-kaca; jalinan kecil itu menangkap gema niat yang berlalu, lalu menyalurkannya pada kalung sang ratu. Kael menutup matanya sejenak dan membaca pola: bukan satu retakan besar yang tunggal, melainkan ratusan retak halus—retak halus yang menjalar dari dua pusat yang berbahaya. Kerakusan kecil di sudut-sudut pasar, dan keputusan besar yang disepuh oleh korupsi lembaga. Mereka berjalan

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab XLVII The Plan B

    Malam kedua, Plan B diuji. Di pasar malam, seorang pria muda berdiri terlalu lama di depan dompet-dompet yang tergantung.Matanya melayang, telunjuknya sesekali bergerak. Di atas tarikan nafsu kecil itu, kopi panas di kaca pun memunculkan cincin yang tak normal; sutera jala bergetar. El’Thyren menyala sekali—detak singkat. “Lihat,” Kael menunjuk dengan dagu dari atap seng, “jalinannya bernyanyi.” Kinari menutup mata—mencari nada lemah—lalu menghembuskan jeda halus. Di bawah, sinar lampu neon tiba-tiba mengerjap. Napas pria itu tertahan tanpa sebab, dan di sela satu detik yang memanjang—ia melihat bayangan ibunya, mungkin, atau anak yang menunggu makan di rumah. Tangannya turun. Retakan yang siap dirajut tidak jadi menganga. Jala tenang kembali. “Begitu caranya,” Kael berbisik. “Satu denting. Satu dunia batal runtuh.” Namun tidak semua niat berhenti oleh rasa iba. Ada yang lebih keras—lebih tua—seperti dendam berkaki tajam. Dini hari ketiga, di gang yang bau besi dan bawang g

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab XLVI The Silken Weave of Lumen

    Malam itu, peta kota terbentang di dinding apartemen seperti kulit naga yang direntang. Garis-garis jalanan menjelma nadi, simpang menjadi simpul saraf, dan lampu-lampu kecil di kejauhan berkedip bagai bintang yang turun merasakan tanah. Kael menandai beberapa titik dengan kapur putih, sementara Kinari menggambar tanda-tanda laut di sela sudut peta—sigil arus, mata badai, dan huruf Aumeta yang melingkar seperti pusaran. “Rencana awal,” Kael membuka suara, “kita mengamati manusia. Kita kotak-kotakkan berdasarkan pola—rakus, putus asa, gengsi, dendam, kebetulan. Lalu kita pantau; lihat siapa yang bergetar ke arah retakan.” Kinari mengangguk, mata birunya memantulkan pendar El’Thyren. “Kita bentuk regu kecil dari para ‘cosplayer’ itu, mereka bisa jadi mata.” “Kita bisa,” sambung Kael, “tapi jumlah manusia terlalu banyak. Kota ini sendiri adalah samudra kepala, dan tiap kepala membawa ribuan niat—sebagian tak sempat jadi perbuatan, sebagian mekar diam-diam. Kita akan terbakar

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab XLV The Sword and Trydent

    Senja di Bumi turun dengan warna yang tidak pernah Kinari lihat di Thalu’mera. Langit seperti diwarnai kuas raksasa, oranye berbaur ungu, cahaya matahari terakhir memantul di dedaunan basah setelah hujan singkat sore itu. Udara terasa manis, lembab, dan di tangan kanannya ia menggenggam sesuatu yang membuat matanya berbinar sejak pertama kali mencicipinya—es krim. “Es… krim,” ia menggumam, lidahnya masih menyimpan dingin yang lembut, manis yang merayap, sesuatu yang tak pernah ia rasakan di Lumethar. Tidak ada gulungan gelombang, tidak ada garam laut. Hanya dingin yang larut perlahan di mulutnya, meninggalkan rasa bahagia yang sederhana, nyaris kekanak-kanakan. Ia bahkan sempat tersenyum sendiri, tak peduli tatapan heran seorang anak kecil yang meliriknya dari bangku taman. Namun keheningan itu pecah dalam sekejap. Dari sudut matanya, Kinari melihat seorang lelaki muda menyambar tas seorang ibu tua. Gerakannya cepat, gesit, bagaikan ikan hiu kecil yang melintas di bawah ka

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab XLIV Beneath the Earth's Veil

    Hari-hari di Bumi merayap, lalu mengalir—lambat, hangat, dan anehnya menenteramkan. Dari tumpukan pasir pantai ke trotoar yang dipenuhi lampu neon, Kinari dan Kael belajar satu bahasa baru: rutinitas. Mereka mengasahnya seperti pedang, sabar dan pelan. Dan di antara tumpukan serba-baru itu, Ratu Laut menemukan sesuatu yang tak pernah ia kira: kenyamanan yang bukan berasal dari tahta, melainkan dari hal-hal kecil yang manusia sebut “kehidupan sehari-hari.” Mereka berubah menjadi aktor jalanan yang dilatih: gerak, pose, ledek, senyum. Video-video amatir anak-anak yang menyorot aksinya viral; ribuan jempol digital menumpuk seperti kerang di pantai. Uang yang mengumpul dari toples plastik seakan betumbuh dengan cepat—bukan karena keserakahan, tetapi karena mata uang adalah yang paling mereka butuhkan saat ini. Pakaian hangat, sewa satu kamar di sebuah gedung tua, lalu sebuah ruangan kecil yang mereka anggap sebagai “singgasana”. Singgasananya bukan takhta marmer, melaink

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status