Share

Bab 2

Hari itu hari yang cerah. Tan Hoat menyusuri padang rumput di sebuah desa terpencil. Perintah dari Ciangbunjinnya yang baru, sudah diketahuinya. Cara anggota Bu Tong menyampaikan berita memang unik. Jika pusat perguruan menurunkan perintah atau berita, maka cukup satu orang saja membawa kabar itu ke sebuah desa di kaki gunung. Tidak sampai 5 hari, berita itu sudah tersebar luas di kalangan Bu Lim (kalangan kaum persilatan). Kebesaran dan ketenaran Bu Tong-pay memang jarang ada bandingannya.

Berita-berita rahasia juga disampaikan dengan cara yang unik. Para murid Bu Tong-pay memiliki sandi-sandi rahasia dan bahasa-bahasa tertentu yang hanya bisa dipahami mereka. Setiap angkatan memiliki sandi rahasia tersendiri. Biasanya, sandi atau pesan-pesan rahasia ini tertulis di tempat yang sering dilewati orang, namun tidak mudah untuk diperhatikan.

Begitulah cara mereka bertukar berita. Begitu pulalah cara Tan Hoat menerima berita kematian sang Guru Besar, beserta perintah untuk mencari murid. Sebenarnya, ia ingin pulang secepatnya untuk menziarahi makam sangGuru Besar, namun perintah Ketua Lau mengharuskannya mencari murid terlebih dahulu. Sebelum mendapatkan calon murid hebat, maka para murid angkatan ke-3 ini tidak diijinkan naik ke BuTong-san (gunung Bu- Tong).

Perasaannya sedih sekali. Kecintaan rakyat jelata kepada mendiang Thio Sam Hong saja, sudah besar sekali. Apalagi kecintaan para muridnya sendiri. Itulah mengapa Tan Hoat merasa terharu dan sedih sekali. Sepanjangjalan, ia mendengar nama Thio Sam Hong disebut-sebut dengan penuh rasa hormat. Dimana-mana, orang-orang memujinya. Dimana-mana, orang-orang berdoa untuk kedamaian arwah Thio Sam Hong.Sebagai murid Bu Tong, Tan Hoat merasa bangga dan terharu.

Kabar beritanya sendiri, ia lihat melalui goresan pedang di pintu sebuah rumah makan di kotaraja. Goresan pedang itu kecil saja, tidak akan terlihat jika mata tidak awas. Tapi sebagai murid Bu Tong angkatan ke 3, hal-hal begini sudah menjadi bagian hidupnyasehari-hari.

Membaca pesan-pesan rahasia itu hatinya bagai teriris-iris. Tapi sebagai pendekar, ia sudah mampu menahan perasaannya. Ia tidak meneteskan airmatanya di tengah keramaian. Ia berlari secepatnya. Namun begitu sampai di luar gerbang ibukota, air matanya tumpah bagai air bah.

Butuh waktu lama sekali bagi Tan Hoat untuk menguras air matanya. Setelah merasa tenang dan kuat, ia melanjutkan lagi perjalanannya. Kali ini, ia punya tugas baru dari sang Ciangbunjin (Ketua). Mencari murid baru. Padahal ia sedang dalam perjalanan menumpas perampok-perampok yang mulai berani menggerayangi ibukota.

Tan Hoat memutuskan untuk mengunjungi rumah salah seorang kerabatnya, bernama Cio Kim. Cio Kim adalah sahabat lama Tan Hoat sejak mereka masih kecil. AyahCio Kim adalah salah seorang pemimpin pasukan perlawanan yang berhasil mengusir penjajah. Ia berpikir, mungkin ayah Cio Kim belum mendengar kabar meninggalnya Thio Sam Hong.

Rumah Cio Kim berada di sebuah desa yang terkenal. Para penghuni desa ini adalah para petani yang berhasil membangun pertanian mereka menjadi sebuah perdagangan yang lumayan besar. Mereka membentuk perkumpulan tani yang berhasil mengurusi hasil tani mereka dengan baik. Pengelolaan yang baik ini membuat desa mereka makmur dan sangat terkenal di Tionggoan (China daratan).

Bagitu menyusuri padang rumput yang luas, Tan Hoat teringat pada masa kecilnya. Ia adalah anak seorang petani. Keluarganya bukan asli orang desa itu, tapi merupakan perantauan dari daerah lain. Karena mendengar nama desa itu yang terkenal, ayahnya memutuskan untuk memboyong keluarganya ke sana dan mulai berusaha di sana.

Di sanalah Tan Hoat yang baru berusia 10 tahun itu bertemu dengan Cio Kim. Mereka yang masih seumur memang langsung akrab. Setelah itu mereka menjadi sahabat dekat. Ayah Cio Kim adalah kepala desa.

Pergolakan perang pengusiran bangsa Goan, membuat ayah Cio Kim, yang bernama Cio Hong Lim bergabung dengan tentara perlawanan. Dengan bakat dan kecerdasannya, Cio Hong Lim malah mempunyai pangkat tinggi dalam ketentaraan itu, padahal ia tidak bisa ilmu silat.

Cio Hong Lim memiliki otak yang sangat cerdas, sehingga ia diangkat menjadi ahli strategi. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh penting berhasilnya pengusiran itu. Tidak seperti kebanyakan orang, ia memilih mundur dari jabatannya setelah perjuangan selesai. Ia memilih bertani, membangun perkumpulan petani yang dulu sempat terbengkalai di jaman perjuangan itu. Usahanya kemudian berhasil. Desanya berkembang lagi. Sejak saat itu, Cio Hong Lim menjadi orang yang termasuk kaya. Kekayaan yang didapatkannya secara jujur, melalui kerja keras.

Saat berusia 15 tahun, Tan Hoat kehilangan kedua orangtuanya. Ibu Tan Hoat meninggal lantaran sakit. Beberapa bulan kemudian, ayah Tan Hoat juga meninggal. Kepergian Tan Leng, ayah Tan Hoat itu, mungkin disebabkan rasa cintayang mendalam dan kesedihankarena ditinggal sang istri. Tan Hoat yang telah menjadi yatim-piatu, kemudian diasuh oleh keluarga Cio selama hampir setahun. Oleh Cio Hong Lim, Tan Hoat dikirimkan ke perguruan Bu Tong-pay. Posisi Cio Hong Lim dulu saat menjadi ahli strategi, membuatnya dekat dan kagum dengan para pendekar Bu Tong. Cio Hong Lim sendiri, walaupun tidak menyukai ilmu silat, mempunyai pandangan yang luas. Ia melihat Tan Hoat memiliki bakat untuk mempelajari ilmu silat, sehingga mengirimkan anak itu ke Bu Tong.

Cio Hong Lim tidak memaksakan pandangannya yang anti ilmu silat itu terhadap Tan Hoat. Bahkan juga kepada anaknya semata wayang,Cio Kim. Namun Cio Kim memang tidak memiliki bakat ilmu silat. Cio Kim malah memiliki ketertarikan kepada sastra. Cio Hong Lim mengirimkannya belajar ke ibukota, hingga berhasil mendapat gelar Siucai (Sastrawan).

Kini Tan Hoat sudah berusia 32 tahun. Ia belum menikah. Pada jaman itu, usia begitu sudah dianggap sangat terlambat untuk menikah. Tan Hoat sendiripun tidak peduli. Walaupun tidak ada larangan menikah bagi anggota Bu Tong angkatan ke-3, Tan Hoat sendiri memang lebih suka menjadi bujang. Menurutnya, itu malah membuatnya bisa lebih bebas dan tidak terikat.

Walaupun sudah menjadi murid Bu Tong-pay, Tan Hoat masih sempat mengunjungi desa itu beberapa kali. Yang pertama, saat ia menemani salah seorang gurunya mengerjakan sebuah keperluan. Yang kedua, saat ia menjadi murid angkatan ke-3 dan turun gunung untuk pertama kalinya. Itu sudah 7 atau 8 tahun yang lalu.

Desanya pun tidak banyak berubah. Walaupun ini desa yang makmur, penduduknya tidak serta-merta langsung berubah gaya hidupnya bagaikan saudagar kaya. Memang ada beberapa yang seperti itu. Namun sifat sebagian besar penduduknya yang sederhana, membuat desa itu tetap asri, walaupun diakui sebagai salah satu desa yang paling makmur di Tionggoan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status