Hari itu hari yang cerah. Tan Hoat menyusuri padang rumput di sebuah desa terpencil. Perintah dari Ciangbunjinnya yang baru, sudah diketahuinya. Cara anggota Bu Tong menyampaikan berita memang unik. Jika pusat perguruan menurunkan perintah atau berita, maka cukup satu orang saja membawa kabar itu ke sebuah desa di kaki gunung. Tidak sampai 5 hari, berita itu sudah tersebar luas di kalangan Bu Lim (kalangan kaum persilatan). Kebesaran dan ketenaran Bu Tong-pay memang jarang ada bandingannya.
Berita-berita rahasia juga disampaikan dengan cara yang unik. Para murid Bu Tong-pay memiliki sandi-sandi rahasia dan bahasa-bahasa tertentu yang hanya bisa dipahami mereka. Setiap angkatan memiliki sandi rahasia tersendiri. Biasanya, sandi atau pesan-pesan rahasia ini tertulis di tempat yang sering dilewati orang, namun tidak mudah untuk diperhatikan.
Begitulah cara mereka bertukar berita. Begitu pulalah cara Tan Hoat menerima berita kematian sang Guru Besar, beserta perintah untuk mencari murid. Sebenarnya, ia ingin pulang secepatnya untuk menziarahi makam sangGuru Besar, namun perintah Ketua Lau mengharuskannya mencari murid terlebih dahulu. Sebelum mendapatkan calon murid hebat, maka para murid angkatan ke-3 ini tidak diijinkan naik ke BuTong-san (gunung Bu- Tong).
Perasaannya sedih sekali. Kecintaan rakyat jelata kepada mendiang Thio Sam Hong saja, sudah besar sekali. Apalagi kecintaan para muridnya sendiri. Itulah mengapa Tan Hoat merasa terharu dan sedih sekali. Sepanjangjalan, ia mendengar nama Thio Sam Hong disebut-sebut dengan penuh rasa hormat. Dimana-mana, orang-orang memujinya. Dimana-mana, orang-orang berdoa untuk kedamaian arwah Thio Sam Hong.Sebagai murid Bu Tong, Tan Hoat merasa bangga dan terharu.
Kabar beritanya sendiri, ia lihat melalui goresan pedang di pintu sebuah rumah makan di kotaraja. Goresan pedang itu kecil saja, tidak akan terlihat jika mata tidak awas. Tapi sebagai murid Bu Tong angkatan ke 3, hal-hal begini sudah menjadi bagian hidupnyasehari-hari.
Membaca pesan-pesan rahasia itu hatinya bagai teriris-iris. Tapi sebagai pendekar, ia sudah mampu menahan perasaannya. Ia tidak meneteskan airmatanya di tengah keramaian. Ia berlari secepatnya. Namun begitu sampai di luar gerbang ibukota, air matanya tumpah bagai air bah.
Butuh waktu lama sekali bagi Tan Hoat untuk menguras air matanya. Setelah merasa tenang dan kuat, ia melanjutkan lagi perjalanannya. Kali ini, ia punya tugas baru dari sang Ciangbunjin (Ketua). Mencari murid baru. Padahal ia sedang dalam perjalanan menumpas perampok-perampok yang mulai berani menggerayangi ibukota.
Tan Hoat memutuskan untuk mengunjungi rumah salah seorang kerabatnya, bernama Cio Kim. Cio Kim adalah sahabat lama Tan Hoat sejak mereka masih kecil. AyahCio Kim adalah salah seorang pemimpin pasukan perlawanan yang berhasil mengusir penjajah. Ia berpikir, mungkin ayah Cio Kim belum mendengar kabar meninggalnya Thio Sam Hong.
Rumah Cio Kim berada di sebuah desa yang terkenal. Para penghuni desa ini adalah para petani yang berhasil membangun pertanian mereka menjadi sebuah perdagangan yang lumayan besar. Mereka membentuk perkumpulan tani yang berhasil mengurusi hasil tani mereka dengan baik. Pengelolaan yang baik ini membuat desa mereka makmur dan sangat terkenal di Tionggoan (China daratan).
Bagitu menyusuri padang rumput yang luas, Tan Hoat teringat pada masa kecilnya. Ia adalah anak seorang petani. Keluarganya bukan asli orang desa itu, tapi merupakan perantauan dari daerah lain. Karena mendengar nama desa itu yang terkenal, ayahnya memutuskan untuk memboyong keluarganya ke sana dan mulai berusaha di sana.
Di sanalah Tan Hoat yang baru berusia 10 tahun itu bertemu dengan Cio Kim. Mereka yang masih seumur memang langsung akrab. Setelah itu mereka menjadi sahabat dekat. Ayah Cio Kim adalah kepala desa.
Pergolakan perang pengusiran bangsa Goan, membuat ayah Cio Kim, yang bernama Cio Hong Lim bergabung dengan tentara perlawanan. Dengan bakat dan kecerdasannya, Cio Hong Lim malah mempunyai pangkat tinggi dalam ketentaraan itu, padahal ia tidak bisa ilmu silat.
Cio Hong Lim memiliki otak yang sangat cerdas, sehingga ia diangkat menjadi ahli strategi. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh penting berhasilnya pengusiran itu. Tidak seperti kebanyakan orang, ia memilih mundur dari jabatannya setelah perjuangan selesai. Ia memilih bertani, membangun perkumpulan petani yang dulu sempat terbengkalai di jaman perjuangan itu. Usahanya kemudian berhasil. Desanya berkembang lagi. Sejak saat itu, Cio Hong Lim menjadi orang yang termasuk kaya. Kekayaan yang didapatkannya secara jujur, melalui kerja keras.
Saat berusia 15 tahun, Tan Hoat kehilangan kedua orangtuanya. Ibu Tan Hoat meninggal lantaran sakit. Beberapa bulan kemudian, ayah Tan Hoat juga meninggal. Kepergian Tan Leng, ayah Tan Hoat itu, mungkin disebabkan rasa cintayang mendalam dan kesedihankarena ditinggal sang istri. Tan Hoat yang telah menjadi yatim-piatu, kemudian diasuh oleh keluarga Cio selama hampir setahun. Oleh Cio Hong Lim, Tan Hoat dikirimkan ke perguruan Bu Tong-pay. Posisi Cio Hong Lim dulu saat menjadi ahli strategi, membuatnya dekat dan kagum dengan para pendekar Bu Tong. Cio Hong Lim sendiri, walaupun tidak menyukai ilmu silat, mempunyai pandangan yang luas. Ia melihat Tan Hoat memiliki bakat untuk mempelajari ilmu silat, sehingga mengirimkan anak itu ke Bu Tong.
Cio Hong Lim tidak memaksakan pandangannya yang anti ilmu silat itu terhadap Tan Hoat. Bahkan juga kepada anaknya semata wayang,Cio Kim. Namun Cio Kim memang tidak memiliki bakat ilmu silat. Cio Kim malah memiliki ketertarikan kepada sastra. Cio Hong Lim mengirimkannya belajar ke ibukota, hingga berhasil mendapat gelar Siucai (Sastrawan).
Kini Tan Hoat sudah berusia 32 tahun. Ia belum menikah. Pada jaman itu, usia begitu sudah dianggap sangat terlambat untuk menikah. Tan Hoat sendiripun tidak peduli. Walaupun tidak ada larangan menikah bagi anggota Bu Tong angkatan ke-3, Tan Hoat sendiri memang lebih suka menjadi bujang. Menurutnya, itu malah membuatnya bisa lebih bebas dan tidak terikat.
Walaupun sudah menjadi murid Bu Tong-pay, Tan Hoat masih sempat mengunjungi desa itu beberapa kali. Yang pertama, saat ia menemani salah seorang gurunya mengerjakan sebuah keperluan. Yang kedua, saat ia menjadi murid angkatan ke-3 dan turun gunung untuk pertama kalinya. Itu sudah 7 atau 8 tahun yang lalu.
Desanya pun tidak banyak berubah. Walaupun ini desa yang makmur, penduduknya tidak serta-merta langsung berubah gaya hidupnya bagaikan saudagar kaya. Memang ada beberapa yang seperti itu. Namun sifat sebagian besar penduduknya yang sederhana, membuat desa itu tetap asri, walaupun diakui sebagai salah satu desa yang paling makmur di Tionggoan.
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding