Share

Bab 3

Setelah melintasi padang rumput, kini Tan Hoat menyusuri jalan setapak menuju desanya. Tadi saat di padang rumput, desanya telah terlihat dari kejauhan. Kini semakin dekat, rasa haru yang ada di hati Tan Hoat semakin menguat.

Begitu sampai di gerbang desa, ia sudah disambut oleh beberapa penduduk yang sedang menggarap sawah. Sebagai ‘bekas’ penduduk desa itu, apalagi murid perguruan Bu Tong, ia memang lumayan dikenal di desa itu.

Setelah mengucap salam dan menanyakan kabar orang-orang yang tadi menyapanya, ia menanyakan kabar keluarga Cio.

Wajah orang-orang itu segera berubah. Kata mereka, “Tan-tayhiap (Pendekar Besar Tan) belum dengar? Wah, kalau begitu, Tayhiap secepatnya saja kesana.”

“Memangnya ada apa?” tanya Tan Hoat penasaran.

“Lebih baik Tayhiap kesana dulu. Nanti pasti ada yang bercerita disana....,” jawab salah seorang penduduk desa dengan wajah khawatir.

Penasaran, Tan Hoat segera menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh). Nalurinya sebagai seorang pendekar mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Ia berlari. Bahkan mungkin melayang. Karena kakinya hanya menginjak tanah sesekali. Orang-orang desa hanya melihat kelebatan bayangan. Tapi mereka tidak tahu bayangan apa itu sebenarnya.

Sebuah belokan lagi, Tan Hoat tiba di depan rumah keluarga Cio. Begitu berbelok, ia kaget setengah mati. Tempat yang dulunya rumah keluarga Cio, sudah kosong melompong. Tidak ada lagi rumah di tempat itu. Berganti onggokan kayu-kayu kering bekas terbakar.

Seorang penduduk yang kebetulan lewat disitu, mengenal Tan Hoat.

“Ah, Tan-tayhiap baru datang rupanya.”

“A.. apa yang sudah terjadi? Apakah ada kebakaran?” tanya Tan Hoat terbata-bata.

“Bukan kebakaran, Tayhiap... Bukan kebakaran...,” jawab orang itu.

“Lalu apa?” tanya Tan Hoat lagi penasaran.

“Bencana besar... Rumah Cio-wangwe (Saudagar Cio) dirampok orang!!” orang itu menjawab juga dengan terbata-bata.

“Siapa yang berani?”

Dalam amarahnya, Tan Hoat mengerahkan tenaga dalamnya sambil menghentakkan kakinya. Orang di depannya merasa seperti sebuah gempa bumi dahsyat sedang terjadi.

“Ti.. tidak tahu..., Tayhiap..., kejadiannya cepat sekali,” jawab orang itu kini ketakutan.

“Lalu dimana keluarga Cio sekarang?” tanya Tan Hoat lagi. Kegarangannya belum berkurang.

“Su.. su.. sudah....,” ia terbata-bata.

“Sudah apa?” Tan Hoat sudah maju mendekati orang itu.

Orang itu ketakutan, tanpa sengaja ia mundur perlahan-lahan.

“Su... sudah...,” ia ketakutan.

Menyadari orang yang dihadapannya itu ketakutan, Tan Hoat mulai menghaluskan bahasanya.

“Jawablah, Lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua). Tidak usah takut. Maaf, tadi saya tidak bisa menahan diri...,” kata Tan Hoat.

“Su.. sudah meninggal semua, Tayhiap,” jawab orang itu.

“Apa?!”

Kata-kata itu keluar bersamaan dengan jatuhnya tubuh Tan Hoat ke tanah. Ia berlutut, matanya memandang ke tanah. Ia seperti tidak percaya atas apa yang didengarnya.

Berita kematian Guru BesarThio Sam Hong saja, sudah menguras tenaga dan semangatnya. Ia butuh waktu lama untuk bisa menguasai hatinya. Bahkan sepanjang perjalanan dari ibukota ke desa ini, yang membutuhkan waktu 5 hari, ia kadang menangis. Kini ditambah lagi berita ini, Tan Hoat seperti kehilangan separuh nyawanya. Kekuatan hati yang berusaha dikumpulkannya sepanjang perjalanan akhirnya hilang, buyar begitu saja. Tan Hoat lemas seketika.

Lopek didepannya kemudian mengangkat dan menuntunnya ke dalam rumah. Diletakkannya Tan Hoat diatas dipan.Lantas mengambil air danmemberikannya pada Tan Hoat.

“Minumlah, mungkin bisa membuatmu sedikit tenang,” kata orang tua itu.

“Maaf, saya tidak bisa menahan diri, Lopek,” jawab Tan Hoat. Ia masih berbaring diatas dipan. Tapi kesadaran jiwanya sudah mulai ia coba pulihkan. Lanjutnya, “Saya mengalami hal-hal besar akhir-akhir ini, sehingga tidak mampu menguasai diri lagi, Lopek. Maafkan saya, Lopek.”

“Tidak apa-apa, Tayhiap. Sejak Tayhiap masih kecil, aku sudah kenal Tayhiap. Aku dulu bekerja sebagai buruh Cio-wangwe. Tapi setelah punya uang, aku membuka sawahku sendiri,” kata lopek itu. Ia meneruskan, “Tan-tayhiap adalah kebanggaan desa ini. Kau maafkanlah aku yang tidak bisa berbuat apa-apa atas kejadian keluarga Cio-wangwe.”

“Sebenarnya, bagaimana kejadiannya?” tanya Tan Hoat. Ia bertanya sambil bangun untuk duduk.

“Kejadiannya berlangsung cepat. Ada rombongan perampok yang masuk desa ini. Jumlahnya puluhan orang. Mereka memakai topeng. Ilmu silat mereka tinggi sekali. Kami orang desa yang mencoba melawan tidak bisa melakukan apa-apa. Kami dibekuk dan diikat,” kisah si lopek.

“Kapan kejadiannya? Kenapa aku tidak pernah mendengar?” tanya Tan Hoat.

“Baru beberapa hari, Tayhiap. Mungkin baru 4 atau 5 hari. Kami sudah mengirim laporan ke kotaraja. Mungkin dalam beberapa hari mereka akan mengirimkan petugas-petugas kemari,” jawab lopek itu.

Tan Hoat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa ia tidak mendengar kabar perampokan ini? Cio-wangwe adalah tokoh yang lumayan terkenal. Jasa-jasanya dalam perjuangan membuat ia patut mendapat pemakaman layaknya pahlawan negara. Tapi Tan Hoat akhirnya paham, bahwa kabar ini tertutupi oleh kabar kematian mendiang Guru Besarnya sendiri, Thio Sam Hong.

“Benar tidak ada keluarga tersisa? Cio Kim bagaimana?” tanya Tan Hoat.

“Kami sudah mengirim orang untuk memberitahukan kabar ini kepadanya. Dalam beberapa hari ini, Cio-siucai (Sastrawan Cio) pasti sudah kesini.”

“Syukurlah. Kupikir ia berada disini juga menjadi korban. Dimana dia tinggal sekarang? Terakhir yang kutahu, ia tinggal disini,” tanya Tan Hoat lagi.

“Beliau pindah mengikuti istrinya.”

“Ke tempat Li Swat Ing? Dimana itu? Apakah di GoBi-pay (Partai Silat Go Bi)?”

“Iya, beliau ikut Li-liehiap (Pendekar Wanita Li) ke puncak GoBi. Dengar-dengar, Ketua Go Bi-pay sedang sakit keras dan memerintahkan seluruh muridnyauntuk kembali,” jawab lopek itu.

“Ah iya, benar. Kenapa aku bisa lupa. Aku dengar GoBi-pay-ciangbunjin (KetuaPartai Silat GoBi) memang sedang sakit keras beberapa tahun ini.”

“Iya, benar. Menurut kabar yang saya dengar, mereka sekeluarga tinggal di kaki gunung Go Bi, jadi bila ada apa-apa, Li-liehiap bisa langsung naik ke atas,” kata lopek.

Tan Hoat menghela nafas, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukannya.

“Apakah penguburan Cio-wangwe sudah dilaksanakan?” tanyanya tiba-tiba.

“Sudah, Tayhiap. Kondisi mayat mereka mengenaskan. Mereka diikat dan dibakar hidup-hidup. Kami langsung menguburkan mayat mereka begitu para perampok itu kabur,” jawab kakek tua itu.

“Tolong antarkan aku ke kuburan mereka,” kata Tan Hoat menahan kegeramannya. Hatinya membayangkan penderitaan Cio-wangwe sekeluarga.

“Baiklah. Mari ikut saya.”

Kuburan anggota keluarga Cio-wangwe terletak di halaman belakang rumah mereka sendiri. Mereka dikumpulkan dalam satu liang, karena kondisi mayat mereka tidak lagi dapat dibedakan dan lengket satu sama lain. Kakek itu menceritakan hal ini kepada Tan Hoat, yang mendengarkannya sambil meneteskan air mata.

Hatinya teringat Cio Kim. Bagaimana perasaannya mendengar kabar pembantaian ini. Tan Hoat ikut bersedih pula memikirkan nasib Cio Kim.

Saat pikirannya melayang-layang itulah terdengar suara orang minta tolong.

“Tolong...!! Tolong…….!!!!”

Gaduh sekali karena ketambahan lagi suara orang lain yang minta tolong.

Secepat kilat Tan Hoat berlari ke arah suara gaduh itu.

Ternyata suara itu berasal dari gerbang selatan desa. Tan Hoat berlari kesana. Nampak penduduk desa sedang mengelilingi seekor kuda dan keretanya.

Alangkah kagetnya hati Tan Hoat, ketika melihat isi kereta itu adalah Cio Kim beserta istrinya. Mereka sudah berlumuran darah. Tapi masih hidup. Walaupun wajah Cio Kim berlumuran darah, Tan Hoat masih mengenal wajah saudara angkatnya ini.

“Cio Kim, apa yang terjadi? Ya Tuhan.. Apa yang terjadi?” Tan Hoat bertanya sambil menyalurkan tenaga murni ke dada Cio Kim.

“Jangan.. Salurkan ke istriku saja...,” kata Cio Kim. Walaupun tidak mengerti ilmu silat, istrinya adalah seorang pendekar, tentunya Cio Kim paham maksud tindakan Tan Hoat.

Segera Tan Hoat menyalurkan tenaga dalamnya melalui punggung Li Swat Ing. Saat itu posisinya memang tidur tertelungkup. Tubuh Li Swat Ing sudah penuh luka bacokan. Darah ada dimana-mana. Keadaannya mungkin lebih parah dari suaminya.

“Selamatkan anakku... Selamatkan anakku,” kata Li Swat Ing terbata-bata.

Ternyata ia menelungkup sambil memeluk anaknya. Beberapa penduduk langsung mengangkat anak ini. Ia menangis meraung-raung saat dipisahkan dari pelukan ibunya.

“Aku mau Ibu… Aku mau Ibu..,” tangisnya.

“Sudahlah. Tan-tayhiap.... jangan memaksa diri... Aku sudah tidak mungkin tertolong,” kata Li Swat Ing. Dengan perlahan, ia mendorong tangan Tan Hoat.

“Siapa yang melakukan ini semua?” tanya Tan Hoat.

“Tidak tahu.... Kami diserbu orang ditengah jalan... enam sampai delapan orang. Koko (Kakak, panggilannya terhadap suami) terus menggeber kuda... Aku menahan penyerang-penyerang itu...,” jawab Li Swat Ing. Nafasnya sudah satu-satu.

“Aku titip anakku kepadamu. Jaga dia baik-baik...,” kata Cio Kim.

“Thia... (Ayah)...,” teriak sang anak yang sedang dalam gendongan salah seorang penduduk.

“San-ji (‘Ji’ adalah panggilan untuk anak)... kau jadilah manusia yang baik... Jangan jadi orang pendendam... Tidak usah kau balas ini. Semua terjadi ada karmanya... Tidak usah kau teruskan dendam mendendam...,” kata Cio Kim kepada anaknya.

“Thia... Thia... Cio San dengar, Thia....”

“Kau harus patuh kepada Tan-gihu.. Mulai sekarang dia adalah Gihu (Ayah Angkat) mu....,” kata Cio Kim.

“Iya, Thia...,” si anak menjawab sambil menangis.

“Ayah pergi dulu… Ingat kata-kata Ayah, ya.... Ing-moay, aku pergi duluan... Kutunggu kamu, adindaku sayang.” Cio Kim mengecup kening istrinya dengan bersusah payah, saat itu juga, nyawanya melayang pergi.

Li Swat Ing tersenyum, ia seperti berbicara kepada arwah suaminya, “Aku bahagia bisa mati bersamamu, Koko...” Ia lalu menoleh kepada Tan Hoat.

“Tan-tayhiap, di GoBi-san ada..ada..,” Li Swat Ing terbata-bata.

“Ada apa, Li-liehiap?” tanya Tan Hoat.

“Ada.. ada...” Nafasnya berhenti.

“Ayah....!! Ibu......!!!”

Tangisan si kecil membahana. Tangisan orang-orang desa pun membahana.

Hari ini adalah hari yang terlalu berat bagi Tan Hoat. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dayutugus Dayutya
Aku suka citra nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status