Setelah melintasi padang rumput, kini Tan Hoat menyusuri jalan setapak menuju desanya. Tadi saat di padang rumput, desanya telah terlihat dari kejauhan. Kini semakin dekat, rasa haru yang ada di hati Tan Hoat semakin menguat.
Begitu sampai di gerbang desa, ia sudah disambut oleh beberapa penduduk yang sedang menggarap sawah. Sebagai ‘bekas’ penduduk desa itu, apalagi murid perguruan Bu Tong, ia memang lumayan dikenal di desa itu.
Setelah mengucap salam dan menanyakan kabar orang-orang yang tadi menyapanya, ia menanyakan kabar keluarga Cio.
Wajah orang-orang itu segera berubah. Kata mereka, “Tan-tayhiap (Pendekar Besar Tan) belum dengar? Wah, kalau begitu, Tayhiap secepatnya saja kesana.”
“Memangnya ada apa?” tanya Tan Hoat penasaran.
“Lebih baik Tayhiap kesana dulu. Nanti pasti ada yang bercerita disana....,” jawab salah seorang penduduk desa dengan wajah khawatir.
Penasaran, Tan Hoat segera menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh). Nalurinya sebagai seorang pendekar mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Ia berlari. Bahkan mungkin melayang. Karena kakinya hanya menginjak tanah sesekali. Orang-orang desa hanya melihat kelebatan bayangan. Tapi mereka tidak tahu bayangan apa itu sebenarnya.
Sebuah belokan lagi, Tan Hoat tiba di depan rumah keluarga Cio. Begitu berbelok, ia kaget setengah mati. Tempat yang dulunya rumah keluarga Cio, sudah kosong melompong. Tidak ada lagi rumah di tempat itu. Berganti onggokan kayu-kayu kering bekas terbakar.
Seorang penduduk yang kebetulan lewat disitu, mengenal Tan Hoat.
“Ah, Tan-tayhiap baru datang rupanya.”
“A.. apa yang sudah terjadi? Apakah ada kebakaran?” tanya Tan Hoat terbata-bata.
“Bukan kebakaran, Tayhiap... Bukan kebakaran...,” jawab orang itu.
“Lalu apa?” tanya Tan Hoat lagi penasaran.
“Bencana besar... Rumah Cio-wangwe (Saudagar Cio) dirampok orang!!” orang itu menjawab juga dengan terbata-bata.
“Siapa yang berani?”
Dalam amarahnya, Tan Hoat mengerahkan tenaga dalamnya sambil menghentakkan kakinya. Orang di depannya merasa seperti sebuah gempa bumi dahsyat sedang terjadi.
“Ti.. tidak tahu..., Tayhiap..., kejadiannya cepat sekali,” jawab orang itu kini ketakutan.
“Lalu dimana keluarga Cio sekarang?” tanya Tan Hoat lagi. Kegarangannya belum berkurang.
“Su.. su.. sudah....,” ia terbata-bata.
“Sudah apa?” Tan Hoat sudah maju mendekati orang itu.
Orang itu ketakutan, tanpa sengaja ia mundur perlahan-lahan.
“Su... sudah...,” ia ketakutan.
Menyadari orang yang dihadapannya itu ketakutan, Tan Hoat mulai menghaluskan bahasanya.
“Jawablah, Lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua). Tidak usah takut. Maaf, tadi saya tidak bisa menahan diri...,” kata Tan Hoat.
“Su.. sudah meninggal semua, Tayhiap,” jawab orang itu.
“Apa?!”
Kata-kata itu keluar bersamaan dengan jatuhnya tubuh Tan Hoat ke tanah. Ia berlutut, matanya memandang ke tanah. Ia seperti tidak percaya atas apa yang didengarnya.
Berita kematian Guru BesarThio Sam Hong saja, sudah menguras tenaga dan semangatnya. Ia butuh waktu lama untuk bisa menguasai hatinya. Bahkan sepanjang perjalanan dari ibukota ke desa ini, yang membutuhkan waktu 5 hari, ia kadang menangis. Kini ditambah lagi berita ini, Tan Hoat seperti kehilangan separuh nyawanya. Kekuatan hati yang berusaha dikumpulkannya sepanjang perjalanan akhirnya hilang, buyar begitu saja. Tan Hoat lemas seketika.
Lopek didepannya kemudian mengangkat dan menuntunnya ke dalam rumah. Diletakkannya Tan Hoat diatas dipan.Lantas mengambil air danmemberikannya pada Tan Hoat.
“Minumlah, mungkin bisa membuatmu sedikit tenang,” kata orang tua itu.
“Maaf, saya tidak bisa menahan diri, Lopek,” jawab Tan Hoat. Ia masih berbaring diatas dipan. Tapi kesadaran jiwanya sudah mulai ia coba pulihkan. Lanjutnya, “Saya mengalami hal-hal besar akhir-akhir ini, sehingga tidak mampu menguasai diri lagi, Lopek. Maafkan saya, Lopek.”
“Tidak apa-apa, Tayhiap. Sejak Tayhiap masih kecil, aku sudah kenal Tayhiap. Aku dulu bekerja sebagai buruh Cio-wangwe. Tapi setelah punya uang, aku membuka sawahku sendiri,” kata lopek itu. Ia meneruskan, “Tan-tayhiap adalah kebanggaan desa ini. Kau maafkanlah aku yang tidak bisa berbuat apa-apa atas kejadian keluarga Cio-wangwe.”
“Sebenarnya, bagaimana kejadiannya?” tanya Tan Hoat. Ia bertanya sambil bangun untuk duduk.
“Kejadiannya berlangsung cepat. Ada rombongan perampok yang masuk desa ini. Jumlahnya puluhan orang. Mereka memakai topeng. Ilmu silat mereka tinggi sekali. Kami orang desa yang mencoba melawan tidak bisa melakukan apa-apa. Kami dibekuk dan diikat,” kisah si lopek.
“Kapan kejadiannya? Kenapa aku tidak pernah mendengar?” tanya Tan Hoat.
“Baru beberapa hari, Tayhiap. Mungkin baru 4 atau 5 hari. Kami sudah mengirim laporan ke kotaraja. Mungkin dalam beberapa hari mereka akan mengirimkan petugas-petugas kemari,” jawab lopek itu.
Tan Hoat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa ia tidak mendengar kabar perampokan ini? Cio-wangwe adalah tokoh yang lumayan terkenal. Jasa-jasanya dalam perjuangan membuat ia patut mendapat pemakaman layaknya pahlawan negara. Tapi Tan Hoat akhirnya paham, bahwa kabar ini tertutupi oleh kabar kematian mendiang Guru Besarnya sendiri, Thio Sam Hong.
“Benar tidak ada keluarga tersisa? Cio Kim bagaimana?” tanya Tan Hoat.
“Kami sudah mengirim orang untuk memberitahukan kabar ini kepadanya. Dalam beberapa hari ini, Cio-siucai (Sastrawan Cio) pasti sudah kesini.”
“Syukurlah. Kupikir ia berada disini juga menjadi korban. Dimana dia tinggal sekarang? Terakhir yang kutahu, ia tinggal disini,” tanya Tan Hoat lagi.
“Beliau pindah mengikuti istrinya.”
“Ke tempat Li Swat Ing? Dimana itu? Apakah di GoBi-pay (Partai Silat Go Bi)?”
“Iya, beliau ikut Li-liehiap (Pendekar Wanita Li) ke puncak GoBi. Dengar-dengar, Ketua Go Bi-pay sedang sakit keras dan memerintahkan seluruh muridnyauntuk kembali,” jawab lopek itu.
“Ah iya, benar. Kenapa aku bisa lupa. Aku dengar GoBi-pay-ciangbunjin (KetuaPartai Silat GoBi) memang sedang sakit keras beberapa tahun ini.”
“Iya, benar. Menurut kabar yang saya dengar, mereka sekeluarga tinggal di kaki gunung Go Bi, jadi bila ada apa-apa, Li-liehiap bisa langsung naik ke atas,” kata lopek.
Tan Hoat menghela nafas, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukannya.
“Apakah penguburan Cio-wangwe sudah dilaksanakan?” tanyanya tiba-tiba.
“Sudah, Tayhiap. Kondisi mayat mereka mengenaskan. Mereka diikat dan dibakar hidup-hidup. Kami langsung menguburkan mayat mereka begitu para perampok itu kabur,” jawab kakek tua itu.
“Tolong antarkan aku ke kuburan mereka,” kata Tan Hoat menahan kegeramannya. Hatinya membayangkan penderitaan Cio-wangwe sekeluarga.
“Baiklah. Mari ikut saya.”
Kuburan anggota keluarga Cio-wangwe terletak di halaman belakang rumah mereka sendiri. Mereka dikumpulkan dalam satu liang, karena kondisi mayat mereka tidak lagi dapat dibedakan dan lengket satu sama lain. Kakek itu menceritakan hal ini kepada Tan Hoat, yang mendengarkannya sambil meneteskan air mata.
Hatinya teringat Cio Kim. Bagaimana perasaannya mendengar kabar pembantaian ini. Tan Hoat ikut bersedih pula memikirkan nasib Cio Kim.
Saat pikirannya melayang-layang itulah terdengar suara orang minta tolong.
“Tolong...!! Tolong…….!!!!”
Gaduh sekali karena ketambahan lagi suara orang lain yang minta tolong.
Secepat kilat Tan Hoat berlari ke arah suara gaduh itu.
Ternyata suara itu berasal dari gerbang selatan desa. Tan Hoat berlari kesana. Nampak penduduk desa sedang mengelilingi seekor kuda dan keretanya.
Alangkah kagetnya hati Tan Hoat, ketika melihat isi kereta itu adalah Cio Kim beserta istrinya. Mereka sudah berlumuran darah. Tapi masih hidup. Walaupun wajah Cio Kim berlumuran darah, Tan Hoat masih mengenal wajah saudara angkatnya ini.
“Cio Kim, apa yang terjadi? Ya Tuhan.. Apa yang terjadi?” Tan Hoat bertanya sambil menyalurkan tenaga murni ke dada Cio Kim.
“Jangan.. Salurkan ke istriku saja...,” kata Cio Kim. Walaupun tidak mengerti ilmu silat, istrinya adalah seorang pendekar, tentunya Cio Kim paham maksud tindakan Tan Hoat.
Segera Tan Hoat menyalurkan tenaga dalamnya melalui punggung Li Swat Ing. Saat itu posisinya memang tidur tertelungkup. Tubuh Li Swat Ing sudah penuh luka bacokan. Darah ada dimana-mana. Keadaannya mungkin lebih parah dari suaminya.
“Selamatkan anakku... Selamatkan anakku,” kata Li Swat Ing terbata-bata.
Ternyata ia menelungkup sambil memeluk anaknya. Beberapa penduduk langsung mengangkat anak ini. Ia menangis meraung-raung saat dipisahkan dari pelukan ibunya.
“Aku mau Ibu… Aku mau Ibu..,” tangisnya.
“Sudahlah. Tan-tayhiap.... jangan memaksa diri... Aku sudah tidak mungkin tertolong,” kata Li Swat Ing. Dengan perlahan, ia mendorong tangan Tan Hoat.
“Siapa yang melakukan ini semua?” tanya Tan Hoat.
“Tidak tahu.... Kami diserbu orang ditengah jalan... enam sampai delapan orang. Koko (Kakak, panggilannya terhadap suami) terus menggeber kuda... Aku menahan penyerang-penyerang itu...,” jawab Li Swat Ing. Nafasnya sudah satu-satu.
“Aku titip anakku kepadamu. Jaga dia baik-baik...,” kata Cio Kim.
“Thia... (Ayah)...,” teriak sang anak yang sedang dalam gendongan salah seorang penduduk.
“San-ji (‘Ji’ adalah panggilan untuk anak)... kau jadilah manusia yang baik... Jangan jadi orang pendendam... Tidak usah kau balas ini. Semua terjadi ada karmanya... Tidak usah kau teruskan dendam mendendam...,” kata Cio Kim kepada anaknya.
“Thia... Thia... Cio San dengar, Thia....”
“Kau harus patuh kepada Tan-gihu.. Mulai sekarang dia adalah Gihu (Ayah Angkat) mu....,” kata Cio Kim.
“Iya, Thia...,” si anak menjawab sambil menangis.
“Ayah pergi dulu… Ingat kata-kata Ayah, ya.... Ing-moay, aku pergi duluan... Kutunggu kamu, adindaku sayang.” Cio Kim mengecup kening istrinya dengan bersusah payah, saat itu juga, nyawanya melayang pergi.
Li Swat Ing tersenyum, ia seperti berbicara kepada arwah suaminya, “Aku bahagia bisa mati bersamamu, Koko...” Ia lalu menoleh kepada Tan Hoat.
“Tan-tayhiap, di GoBi-san ada..ada..,” Li Swat Ing terbata-bata.
“Ada apa, Li-liehiap?” tanya Tan Hoat.
“Ada.. ada...” Nafasnya berhenti.
“Ayah....!! Ibu......!!!”
Tangisan si kecil membahana. Tangisan orang-orang desa pun membahana.
Hari ini adalah hari yang terlalu berat bagi Tan Hoat. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.“Cio San..,” kata Tan Hoat, “Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu, bukan? Mulai sekarang aku adalah gihumu”.“Iya, Gihu....,” kata Cio San.“Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah aku ke Bu Tong. Kau akan kuangkat menjadi muridku,” kata Tan Hoat perlahan.Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada, “Gihu..., Gihu adalah orang yang paling ‘anak’ hormati. Ayah dan Ibu sudah sering bercerita tentang Gihu”.Lanjutnya, “Bukannya ‘anak’ kurang ajar, tetapi ‘anak’ tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik. Gihu, ampuni ‘anak’...”Tan Hoat hanya memandangnya kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini sudah begitu paham adat dan sopan santun.Cio San lalu melanjutkan lagi, “Apakah boleh ‘anak’ belajar i
“Lalu, Nikow Bi Goat itu berasal dari golongan mana?” tanya Tan Hoat.“Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu, termasuk di luar Go Bi-pay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Go Bi-pay sebelumnya,” jawab Cio San.“Memang dari yang ‘anak’ dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak Ciangbunjin terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Saat beliau meninggal dan menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.”“Ah.. Kacau juga ini...... Eh, lalu kau tahu cerita ini dari siapa?” tanya Tan Hoat lagi.“Ayah dan Ibu sering mengobrol,” jawab Cio San.“Lalu kau mencuri dengar, bukan?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.Cio San hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum. “Anak nakal. Lain kali, kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang, tidak mencuri istri orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang.”“’Anak’ mendengar, Gihu....”“Sa
Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai di Bu Tong-san. Tan Hoat langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Di sana, ia berlutut dan bersujud lama sekali. Di sana, ia menumpahkan air mata. Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah sering terjadi saat anak murid Bu Tong-pay yang baru mendengar kabar kematian itu tiba di kuburan.Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya, Tan Hoat baru membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Ingin ia bertemu dengan Ciangbunjinnya yang baru, tapi Lau-ciangbunjin berada di biliknya dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim. Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Go
Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. Memang kesaktian Thay Suhunya itu sudah tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Liong sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia Kang Ouw, bahkan setara dengan pemimpin Siau Lim-pay (Partai Silat Shao-Lin) sekarang. Nama Lau Tian Liong mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia Kang Ouw. Bisa dibayangkan, betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-ciangbunjin dalam satu pukulan saja!“Pikir-pikirkanlah ucapan Thay Suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu tajam.”“Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus, Suhu...,” kata Tan Hoat.“Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja,” kata Lau-ciangbunjin.“Eh. Kenapa, Suhu?”“Ah, sungguh berat mengatakannya. Aku tak tahu harus memulainya darimana...”Lalu Lau Tian Liong melanjutkan, “Sebelum Thay Suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia
Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa hampir seluruh kelimabelas murid itu sebelumnya memang sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Bu Tong-pay. Mereka sebagian besar berasal dari keturunan ahli silat atau keluarga terpandang.Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar belakangnya. Walaupun anak dari seorang ahli silat Go Bi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat Go Bi-pay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat, walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat. Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana g
Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga totokan itu hanya lewat di depan matanya.Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terlihat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik, sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkat 5.Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Bu Tong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Bu Tong ini bergerak sang
Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya, tidak seperti ini wajah gihunya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali turun-naik gunung untuk menunaikan tugas perguruan. Melihat ada gihunya di samping, Cio San merasa senang sekali.Namun gihunya bertanya dengan ketus, “Kau sudah siuman?”“Iya, Gihu,” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara.“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaimana ia menceritakan ini kepada gurunya? S
Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari, gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramu-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa atau berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui kondisi kesehatannya.Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat, Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Bu Tong-pay yang sedang berlatih