Setelah beberapa saat berlalu rasa sakit itu mulai menghilang dan saat ini Askara merasa bahwa tubuhnya semakin sehat dan bugar, serta rasa lelah akibat bertapa beberapa hari di puncak air terjun telah hilang begitu saja.
Tak hanya itu, dia juga merasakan bahwa kekuatannya meningkat dari sebelumnya. Dia merasakan kebahagiaan dan rasa syukur yang luar biasa karena berhasil mengatasi segala rintangan dan mencapai tujuannya.
“Bukalah matamu, kau telah berhasil melewati segala rintangan dan godaan. Kau sudah mendapatkan Ajian : Dastha Madyantara (Penghancur Semesta)” ucap suara tak bermuasal tersebut, kemudian tak berselang lama suara itu menghilang begitu saja.
“Terimakasih” balas pemuda itu kepada suara tak bermuasal tersebut.
“Aku akan membuka mataku sekarang” ucap pemuda itu di dalam batinnya, kemudian dia membuka sepasang matanya secara perlahan, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali.
“Tidak mungkin, bagaimana bisa aku melihat begitu jelas di kegelapan malam?” tanya pemuda itu dengan rasa takjub yang begitu besar. Sebelumnya, penglihatannya sama seperti orang kebanyakan, namun sekarang dia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebelumnya setelah menyelesaikan pertapaannya.
“Dan aku bisa mendengar suara hewan malam dengan jelas, walau hewan itu berada jauh dari tempat ini. Apa ini kemampuan tambahan yang di dapat dari mempelajari Ajian : Dastha Madyantara?” tanya pemuda itu di dalam batinnya.
Tap
Terdengarlah desingan tapakan kaki yang melangkah di atas pucuk - pucuk pohon. Tak lama kemudian, bunyi tapakan kaki itu berhenti, dan orang yang membuat suara itu berdiri di depan Askara. Membuat pemuda itu terkejut sampai ia mundur beberapa langkah.
“Sepertinya Cucuku sudah berhasil menguasai ilmu membelah lautan dan langit” ucap Kakek itu menduga, kemudian dia tersenyum hangat kepada cucunya.
"Ya, Kek. Askara telah berhasil menguasai ilmu pamungkas ini. Saya ingin bertanya, apakah seseorang yang menguasai ilmu ini dapat memperoleh kemampuan untuk melihat dengan jelas dalam kegelapan malam, dan juga memperoleh penglihatan jarak jauh? Apakah dia juga akan mampu mendengar suara dari kejauhan?" tanya pemuda itu dengan rasa penasaran yang begitu membara.
“Ya, cucuku. Orang yang berhasil menguasai ilmu pamungkas ini memang akan memperoleh kemampuan - kemampuan seperti itu. Namun, ingatlah bahwa kekuatan dan kemampuan yang kamu miliki tidak boleh digunakan untuk hal - hal yang tidak baik atau merugikan orang lain. Kekuatan yang kamu miliki harus digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab,” jawab Kakek dengan tegas dan bijaksana.
“Baik, Kek. Askara akan selalu mengingat pesan dan nasihat dari Kakek,” jawab Askara dengan penuh hormat dan rasa syukur.
Kakek hanya tersenyum dan mengangguk, merasa bangga dengan keberhasilan Cucunya dalam menguasai ilmu pamungkas yang begitu sulit untuk di dapatkan. Dia berharap bahwa Askara akan menjadi seorang yang bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan kekuatan yang dimilikinya.
"Jika begitu, marilah kita kembali ke gubuk. Sudah subuh ini dan kamu juga harus makan. Terakhir kali kau makan sudah beberapa hari yang lalu," ujar Kakek, mengajak Askara untuk pulang.
“Baik, Kek” balasnya, kemudian mereka kembali pulang dengan di temani lentera lilin sebagai pencahayaan mereka.
Di Pagi Hari
“Askara, kemarilah Cucuku!” ucap Kakek memberikan perintah dengan nada yang lembut dan penuh kasih.
“Ya, Kek. Ada apa?” tanya pemuda itu.
Kakek mengeluarkan buku dengan sampul berwana putih lalu di lilit dengan kain berwarna putih juga. Kemudian, pria sepuh itu juga mengeluarkan keris dengan bilah berwarna hitam mengkilap.
“Kakek ingin memberikan dua pusaka ini kepada kamu Cucuku” ucap Kakek, kemudian dia memberikan dua pusaka itu kepada Askara dan pemuda itu menerimanya tanpa adanya bantahan sedikitpun.
“Baik, Kek. Terimakasih, Askara akan menjaga dua pusaka Kakek dengan sebaik mungkin” balas pemuda itu dengan rasa hormat dan senang.
"Terima kasih, Cucuku. Ketahuilah Cucuku aku akan melangsungkan moksa, dan aku akan memberikanmu wasiatku. Pertama, kamu akan mewarisi ilmu pamungkas yang telah kumiliki dan kau telah menguasainya. Kedua, aku akan mewariskan dua pusakaku, yaitu Kitab Danuraja (Mahkota) dan Keris Krastala (Kekuasaan)..." ucap Kakek dengan tatapan serius, lalu menghentikan perkataannya sejenak.
"Cucuku, engkau harus menyadari bahwa dua pusaka itu banyak yang mengincarnya. Dahulu, pusaka itu sering diperebutkan oleh banyak pendekar, dan aku yang memenangkan perebutan tersebut sehingga menjadi pemilik tunggal dari dua pusaka yang memiliki kedigdayaan yang tak terkira. Selain itu, karena pusaka itulah banyak pendekar yang gugur dalam upaya memperolehnya. Karena itu, jagalah kedua pusaka itu dengan baik. Jangan sampai jatuh ke tangan yang salah, sebab akan menimbulkan akibat yang mengerikan. Pelajarilah Kitab Danuraja secepatnya untuk menambah kekuatanmu. Siapa tahu, suatu saat kau akan bertemu dengan seseorang yang dapat mengimbangi kekuatanmu atau bahkan mengalahkanmu," ucap Kakek dengan nada serius, melanjutkan perkataannya yang sempat terhenti sejenak.
“Baik, Kakek. Askara akan ingat semua nasihat dan perkataan Kakek” balas pemuda itu dengan nada yang sedih dan linangan air mata mengalir dari pelupuk matanya.
“Jangan bersedih hati Cucuku, kelak kita pasti akan bertemu kembali” ucap Kakek, kemudian tersenyum hangat kepada Cucu angkatnya.
"Benar sekali, Kakek. Kita pasti akan bertemu lagi," ucap Askara dengan suara penuh hormat.
"Askara ingin berterima kasih karena Kakek telah merawat saya dengan baik, hingga menjadikan Askara seperti sekarang ini. Meskipun Askara hanya Cucu angkat Kakek yang ditemukan di tengah hutan belantara, Kakek telah memperlakukan Askara seperti Cucu atau anak sendiri dan memberikan segala yang terbaik untuk Askara. Askara tidak akan pernah melupakan budi baik Kakek, dan akan selalu menghormati Kakek dengan segenap hati" lanjutnya dengan nada yang penuh rasa terimakasih.
"Sudah menjadi kewajibanku untuk memperlakukanmu dengan baik, Cucuku. Karena itulah, aku telah memberikan segala yang terbaik untukmu," ucap Kakek dengan tegas. "Sekarang saatnya aku menunaikan kewajibanku yang lain, yaitu melakukan moksa."
Setelah itu, Kakek langsung bertapa dan tidak lama kemudian cahaya merah marun muncul dari keningnya. Kedua mata Kakek tertutup rapat, menunjukkan bahwa dia sedang fokus dalam meditasinya.
Beberapa saat kemudian, tubuh pria sepuh itu mulai berubah dan berubah menjadi gundukan pasir kecil. Setelah itu, gundukan pasir terbang terbawa angin dan berserakan di sekitar tempat tersebut, meninggalkan kehampaan yang terasa begitu dalam. Tak ada satu pun suara yang terdengar, kecuali angin yang berhembus pelan mengusap rerumputan dan pepohonan di sekitarnya.
“Kakek!” teriaknya histeris, kemudian linangan air mata mengalir deras dari pelupuk matanya, selama beberapa saat hanya suara isakan tangis yang terdengar di tempat tersebut.
Kemudian setelah Askara dapat mengendalikan kesedihannya, dia langsung pergi dari tempat tersebut dengan membawa dua pusaka keramat yang akan dia jaga hingga dia menemui ajalnya.
"Dua pusaka ini akan Askara jaga dengan penuh tekad dan keberanian, bahkan jika harus mempertaruhkan nyawa Askara, Kek," ucap pemuda tersebut dengan tegas. Setelah itu, ia segera naik ke dalam mobil Mercedes yang terparkir di sekitar tempat tersebut dan memacu mobil tersebut dengan cepat meninggalkan lokasi.
BersambungSorot mata Askara terpaku dengan sinisme dan ketajaman yang menusuk, memancarkan aura kepuasan yang sulit disembunyikan. Senyuman mencolok terukir dengan apik di bibir pemuda itu, memberikan kesan bahwa dia menikmati melihat musuhnya terbakar amarah karena tingkah lakunya. Dalam pandangan sinisnya yang tajam, mata Askara menembus ke dalam jiwa musuhnya, mencerminkan kepuasan tak terduga yang tersirat di dalamnya. Serentak, senyumnya yang menggoda memperkuat kesan bahwa ia benar - benar menikmati momen ketegangan dan kesal yang melanda musuhnya akibat ulahnya sendiri. Mata yang tajam dan sinis itu seperti memancarkan pesona tersendiri, mengejek dan menantang musuhnya dengan sikap yang begitu jelas. Setiap gerak wajahnya, dari sorot mata tajam hingga senyuman yang menantang, memberi kesan bahwa dia menikmati setiap detik dari situasi yang telah dia ciptakan. “Menghancurkan empat senjata pusaka yang berada di langit malam” ucap Askara, lalu ia mulai melafalkan mantra dengan cepat. Tib
Awan hitam melingkupi langit dengan kuasa yang mencekam, menciptakan suasana yang gelap dan misterius. Gemuruh guntur menggelegar di langit, saling bersahutan dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Di tengah keheningan menakutkan, tiga senjata pusaka yang dimiliki oleh perguruan Ratri bergetar dengan intensitas yang meningkat, seakan - akan merasakan beban berat yang mereka tanggung. Mereka bergetar karena menahan serangan penghancur yang tak terkira kuatnya dari keris Krastala, senjata yang telah menjadi legenda dan paling terkenal di antara semua senjata pusaka yang pernah ada. Ketika serangan penghancur itu mendekat, aura kekuatan yang menakutkan memancar dari keris Krastala. Gelombang energi yang menggetarkan ruang dan waktu terlepas dari bilahnya yang perkasa. Cahaya kebiruan yang melingkupi senjata itu memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan, seakan-akan menjadi penanda akan kehancuran yang akan datang. Namun, di hadapan serangan dahsyat ini, tiga senjata pusaka milik pergu
Dalam keheningan yang tegang, Jaya Danu melantunkan mantra dengan suara yang penuh kekuatan, menggugah energi magis yang tersembunyi di dalam dirinya. Dari pergelangan tangannya, sebuah cahaya berkilauan mulai memancar, tumbuh semakin besar hingga menyinari seluruh ruang lingkupnya. Cahaya itu kemudian meredup dengan perlahan, mengekspos sebuah senjata pusaka yang luar biasa sebuah tombak yang memancarkan cahaya kuning kemerahan yang begitu menggoda mata. Tombak itu menyimpan kekuatan yang tak tergoyahkan, bergetar dalam aura keperkasaannya yang menghebohkan. Kilauan cemerlang yang memancar dari senjata pusaka itu menembus kegelapan, mencerminkan keberanian dan kekuatan yang melebihi batas. Mata Jaya Danu menajam, melintasi sekelilingnya yang dipenuhi oleh puluhan pendekar berilmu tinggi, yang secara berhati - hati mengelilingi mereka. Dalam tatapan tajamnya, terpancar keberanian yang tersembunyi dan tekad yang tak tergoyahkan. Cahaya tombaknya melintas di sekitar tempatnya berpijak
Askara menghentikan mobil mewah buatan Eropa tepat di depan pintu rumah Lisa. Gadis jelita itu dengan anggun turun dari kendaraan, memancarkan pesona yang memukau. Mata lentiknya memandang wajah tampan Askara dengan tatapan hangat, seakan menyirami hati pemuda itu dengan kasih sayang yang tulus. Sorotan mata Lisa, yang mengalir dengan kelembutan dan keceriaan, mencerminkan kehangatan yang mengalir dalam setiap sudut hatinya. Tatapannya seperti sinar matahari yang menerangi ruangan, menghadirkan kilauan kebahagiaan di wajah Askara. Dalam pandangan mereka, terpancar keakraban dan kedekatan yang dalam, seolah mengikat dua jiwa yang telah saling memahami. Saat mereka bertatap muka, suasana terisi dengan sentuhan kehangatan. Lisa memancarkan aura yang mempesona, dengan setiap gerakan anggunnya yang menarik perhatian. Mata mereka terhubung dalam satu ikatan yang tak terucapkan, mengalirkan energi positif yang memancar dari hati mereka. “Jadi, apa kalian tidak mau mampir Askara dan Ayu, l
Dengan tatapan tajam yang menusuk kegelapan malam, laki - laki itu mengangkat tangan dan secara magis menggepakkan sepasang sayap anginnya. Seperti kilatan cahaya yang meluncur di antara bintang-bintang, ia melintasi langit malam yang terhampar dengan keindahan tak terkira. Setiap gerakan sayapnya menghasilkan suara angin yang berirama, seakan menyapa ribuan bintang yang bersinar dengan gemerlap di langit. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menyusuri lapisan atmosfer yang melayang di antara cahaya bintang-bintang yang memancar. Tanah pun seolah berguncang dengan kekuatan energi yang dikeluarkan oleh sayap anginnya. Dalam sekejap, laki - laki itu mendarat dengan kelembutan yang sempurna di sebuah tempat yang menakjubkan. Di hadapannya, terdapat sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di tengah malam yang sunyi. Bangunan tersebut menawarkan kombinasi sempurna antara kemegahan dan keaslian tradisional. Dinding-dindingnya yang kokoh menggambarkan kejayaan masa lalu
Pemuda itu menatap dengan tajam ke arah bilah keris pusakanya, lalu dengan sangat lembut ia mengelusnya sambil membaca mantra dengan cepat. Bilah keris itu berpendar dengan intensitas merah menyala, dan dari sana mengalir keluar asap tipis yang mengambang di sekelilingnya. "Askara, kau akan mati di tempat ini!" ucap Arya dengan tegas, lalu dengan penuh ketegasan ia mengarahkan Naga tersebut untuk menyerang Askara. Dengan kecepatan yang luar biasa, Naga angin meluncur menuju pemuda itu. Moncongnya terbuka lebar, memperlihatkan putaran angin yang berputar dengan cepat di dalamnya. Jika ada makhluk hidup yang terjebak di dalamnya, tubuhnya akan terbelah menjadi beberapa bagian dengan kejam. “Kangsanaga Waskita: Genggahan Pambelah Wadra (Senjata pusaka: Tebasan yang membelah udara)” ucap Askara dengan penuh kekuatan, saat ia mengayunkan dengan lincah keris Krastala ke arah Naga angin tersebut, menciptakan tebasan yang membelah udara. Dalam langit senja yang mempesona, dua ajian yang