Share

Sakit Terlalu Dalam

"Astaga!" pekik seorang pria yang sedang mengerem mobil. Ia terkejut karena mendapati seorang wanita tengah berpakaian baju pengantin dan terjatuh tepat di depan mobilnya.

Fanno Bagaskara langsung ke luar dari mobil. Ia langsung melihat kondisi wanita tersebut. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya sembari celingak-celinguk menatap keadaannya.

Namun, Luna sepertinya enggan bertatapan dengan pria itu. Pandangannya tertunduk ke bawah, hingga tak melihat dengan jelas. Ia pun lantas bangkit berdiri dan segera berlari kecil.

Fanno merasa agak sedikit heran melihat wanita itu. Berpakaian baju pengantin, tetapi terlihat kumal, riasan wajahnya sudah mulai luntur, dan rambut yang jadi acak-acakan, tak karuan. Namun, itu semua membuatnya jadi penasaran. Ia sekilas melihat wajah wanita itu.

"Dia kenapa, ya? Sekilas terlihat cantik, sih." Fanno terus geleng-geleng kepala sambil memikirkannya.

Fanno jadi memikirkan wanita itu yang sudah berjalan cukup jauh. Lantas, ia pun kembali lagi masuk ke dalam mobil dan segera menuju ke kantor. Pria berusia dua puluh lima tahun itu semakin penasaran dibuatnya.

"Siapa namanya, ya? Aku jadi penasaran." Fanno sudah duduk di balik kemudi dan akan segera melajukan mobilnya.

***

Luna terengah-engah saat dirinya sudah hampir sampai di rumahnya sendiri. Wanita itu sedari tadi berjalan tak tahu ke mana arah tujuan. Hampir menjelang sore hari, barulah ia pulang ke rumah.

Masih dalam keadaan menangis, Luna sama sekali tak peduli lagi dengan penampilannya. Pasti semua make-up yang ia pakai jadi luntur. Beberapa helai rambutnya pun luruh ke daerah mata. Tak peduli lagi, mau bagaimana penampilannya sekarang.

Tepat di depan sebuah rumah bernuansa putih krim dengan dua tingkat, Luna ingin masuk ke dalam. Ia pun mengetuk pintu rumahnya beberapa kali dan mengucapkan salam. "Assalamualaikum," ujar Luna.

"Waalaikum salam." Bu Tari membukakan pintu, disertai oleh Pak Agus di sebelah. Kedua orang tuanya tengah menatapnya sedemikian tajam. "Benar-benar bikin malu, ya, kamu! Bisa-bisanya gagal nikah. Semua temen Ibu dan koleganya Ayah hadir, loh, tadi."

Luna masih menangis deras, ditambah lagi saat sang Ibu berucap seperti ini. Makin membuat hatinya semakin sakit. Tentu saja tak mudah ditinggalkan saat sedang hendak ijab kabul. Pria yang tak tahu malu itu tega meninggalkannya dan membuat malu keluarganya.

"Mau ditaruh di mana muka Ayah, Lun?! Ayah dan Ibu malu banget kamu gak jadi nikah!" ketus Pak Agus.

"Maafkan aku. Ini bukan salah aku, Yah, Bu." Luna mencoba untuk membela diri.

"Ya tetap aja, kamu tuh udah bikin aib keluarga!" Bu Tari begitu marah dengan anaknya sendiri.

Luna bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Ia menangis dengan deras untuk meminta permohonan maaf. Namun, tetap saja kedua orang tuanya tak mau memaafkannya. Padahal ini bukan salah Luna, tapi kesalahan dari Agam.

Pak Agus memberi isyarat pada sang istri untuk naik ke atas kamar. Bu Tari mengerti dengan tatapan mata yang diberikan oleh suaminya itu. Wanita paruh baya itu langsung naik ke atas kamar Luna.

"Maafin Luna, Yah," ucap Luna sambil memegangi kedua kaki ayahnya.

"Ayah dan Ibu rasanya malu banget punya anak kayak kamu. Gk berguna sama sekali!" ketus Pak Agus.

Tak berapa lama, muncullah Bu Tari dengan membawa sebuah koper berwarna merah muda. Luna sontak memandang ke arah koper miliknya.

Bu Tari langsung memberikan koper itu pada Luna. Kedua orang tuanya ingin menyuruhnya agar pergi dari rumah ini.

"Pergi kamu dari sini! Ibu dan Ayah gak mau liat muka kamu lagi!" Bu Tari menunjuk-nunjuk ke arah wajah Luna.

"Ayah, Ibu, jangan usir aku dari sini. Aku minta maaf. Aku mohon, jangan usir aku, ya." Luna lalu bersimpuh di kaki sang Ibu.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal oleh calon suami dan kini hendak diusir oleh kedua orang tuanya sendiri. Mereka berdua bahkan tak peduli sama sekali dengan Luna, karena dirinya sudah dianggap sebagai aib keluarga yang harus segera disingkirkan.

Pak Agus memegang kedua tangan Luna dengan kasar dan menyuruhnya segera berdiri. Ia menyeret tangan Luna agar menuju ke gerbang depan.

"Ayah, jangan usir aku dari sini," pinta Luna sambil terisak menangis. Namun, Pak Agus sama sekali tak peduli dengan tangisan sang anak.

Di belakang Pak Agus ada Bu Tari yang sedari tadi membawa koper merah muda itu. Saat Luna sudah berada di depan pintu masuk, Pak Agus langsung mengusirnya dari sini. Bu Tari juga menjatuhkan koper itu ke halaman.

"Pergi kamu dari sini! Bisanya cuma bikin aib aja! Ayah dan Ibu sudah gak mau lagi ketemu sama kamu!" Ucapan Pak Agus begitu ketus pada Luna.

Luna masih memohon pada kedua orang tuanya agar tak diusir dari rumah ini. Ke mana lagi ia akan tinggal? Luna tak ingin hidupnya makin menderita lagi dan luntang-lantung di jalan. Luka dalam hati pun masih belum kering.

Bu Tari juga sepertinya tak peduli sama sekali. Ia juga tak menginginkan keberadaan Luna lagi di sini. Ia setuju dengan sang suami untuk mengusir jauh Luna dari hidup mereka.

"Bu, aku mohon, jangan usir aku, ya," lirih Luna sambil menangis.

"Ibu udah malu banget sama kamu. Mending kamu pergi deh dari sini."

Saat kedua orang tuanya hendak berbalik dan masuk ke dalam, Luna pun ingin menyusul keduanya. Namun, Bu Tari sepertinya sudah sangat membenci sang anak dan mendorong tubuh Luna hingga terjatuh. Mereka berdua tetap ngotot ingin Luna pergi dari sini. Wanita itu mencoba kuat dalam menghadapi masalah ini.

"Baiklah, kalau ini yang kalian mau, Luna akan pergi jauh dari sini dan gak akan pernah kembali lagi."

Perlahan-lahan, Luna mencoba untuk bangkit dan mulai berjalan pelan menuju ke arah kopernya.

"Aku gak akan pernah ke sini lagi, walau dalam keadaan apa pun!"

Bersama harapannya yang hancur, Luna berjalan menjauhi rumah dan kedua orang tuanya. Sesuai dengan permintaan mereka, ia pun akan pergi jauh dari sini dan mungkin tak ingin kembali lagi. Kalau sudah dibuang seperti ini, Luna bertekad akan membalas dendam pada mereka suatu hari nanti.

Tatapan Luna begitu nanar. Ia merasa sakit hati sekali karena telah diperlakukan seperti ini. Harusnya sang orang tua berada di sampingnya untuk menguatkan Luna, tapi ini malah sebaliknya.

Luna sakit hati dan berniat balas dendam pada kedua orang tuanya sendiri. Ia tak peduli lagi pada mereka. Ayah dan ibunya pun sudah membuangnya dengan cara seperti ini.

Ia terus berjalan tak tentu ke mana arah tujuan sambil menenteng sebuah koper. Luna menyusuri setiap jalan dan bertatapan dengan para tetangga. Mereka tengah berbisik-bisik sambil menatap sinis ke arah Luna.

Dengan baju pengantin yang lusuh dan penampilannya sama sekali tak menarik lagi, membuat para tetangga mencibirnya. Apalagi berita tentang kegagalannya menikah membuat heboh para tetangga. Berita itu mereka manfaatkan dengan baik untuk memberi hinaan pada Luna.

Luna terus berderai air mata. Ia tak mau mendengar sama sekali bisikan-bisikan dari para tetangganya. Dengan terus melangkah, ia membawa hati yang tengah terluka.

"Luna!"

Teriakan seorang pria berhasil membuat Luna menoleh ke belakang. Ia sontak terkejut dan tak menyangka akan bertemu di sini.

"Kamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status