Share

Perhatian Fanno Bagaskara

Setelah mandi, Luna segera mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna putih, serta celana jeans. Tak banyak pakaian yang berada di dalam koler berukuran size 16 itu. Ia juga tak menemukan pakaian kesayangannya di dalam saja. Maklum saja karena Bu Tari yang asal-asalan menaruh baju-baju ini.

Mengingat hal tersebut, Luna jadi bersedih lagi. Mimik wajahnya berubah drastis, tak seceria tadi. Di pojok ranjang, Luna kembali menitikkan bulir bening di sudut matanya.

Ia mendongak, menatap ke langit-langit kamar berwarna cream muda ini. Bagaimana pun, kedua orang tuanya telah lancang mengusirnya dari rumah hanya karena gagal bersanding dengan Agam hari ini.

"Aku seperti trauma untuk membuka hati lagi setelah kejadian ini. Agam dan Sabrina benar-benar sudah kelewatan! Bisa-bisanya mereka berkhianat di belakang aku," ujarnya disertai dengan isak tangis.

Walaupun begitu, nasi sudah menjadi bubur. Untuk mengeluh pun, tiada guna lagi. Luna mencoba untuk melupakan kejadian terburuk dalam hidupnya, tetapi masih belum mampu. Luka hatinya makin menganga ketika mengingat kembali kejadian tadi pagi.

"Sabrina sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Tapi, dia tega melakukan ini sama aku." Luna meremas-remas seprai yang ia duduki saat ini.

Kedua bola mata indahnya masih mengeluarkan tetesan air bening yang meluruh ke pipi. Ia mengusap wajahnya dan berhenti menangis.

Tok! Tok!

Ketukan pintu dari luar membuat Luna segera berdiri. Ia membuka pintu tersebut dan mendapati seorang pembantu yang menyuruhnya ke meja makan.

"Permisi, Nona. Di meja makan, Tuan Fanno sudah menunggu Anda." Pembantu itu menunduk ke arah Luna.

"Baiklah, aku akan menemui Fanno di bawah," balas Luna.

Wanita berfostur tubuh dengan tinggi 160 sentimeter itu tampak melenggak menuju ke bawah. Perlahan menuruni anak tangga satu per satu. Rambut Luna masih basah karena sehabis keramas. Tentu saja dengan pakaian alakadarnya yang tersedia di dalam koper.

Setelah sudah berada di meja makan, wanita itu berpapasan dengan Fanno. Kemudian, duduk bersama di ruang makan yang besar dan berlimpah dengan makanan. Pria di hadapannya tampak tersenyum kecil, lalu mengajak untuk doa bersama.

"Selamat makan, Luna." Fanno mengambil sendok serta garpu, lalu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Luna membalas ucapan Fanno tersebut sambil tersenyum pula. "Iya, selamat makan juga."

***

Tepat pukul delapan malam, Fanno ingin mengajak Luna untuk pergi ke luar berdua. Dengan berpenampilan sederhana, akhirnya ia mau diajak juga untuk menghirup udara bebas. Barangkali untuk menjernihkan pikirannya yang masih kalut karena ditinggal menikah. Sementara itu, Fanno selalu memberinya semangat agar tak bersedih lagi.

"Aku harap, kamu bakalan melupakan laki-laki cemen itu sepenuhnya. Gak usah ingat dia lagi. Jangan sedih. Terlalu mahal air matamu itu." Fanno menoleh ke samping, tepatnya pada Luna.

Luna yang sudah duduk di sebelah kursi kemudi tampak mengangguk pada Fanno. Mendengar ucapan pria itu terlontar, sungguh manis didengar, membuat hatinya kian menghangat. Tanpa Fanno sadari, kini senyum manis yang singkat tampak terukir indah di sudut bibirnya. Kedua bola mata indahnya pun kian menoleh sekilas ke arah pria itu.

"Makasih ya, Fan. Kamu baik banget sama aku," balas Luna.

Mobil yang mereka tumpangi sudah berjalan menjauhi halaman rumah. Luna tak tahu, Fanno akan membawanya ke mana. Namun, yang jelas, pria itu tak akan berniat untuk macam-macam.

Beberapa saat kemudian, suasana di dalam mobil sedan berwarna hitam ini tampak hening. Keduanya tak ada yang mengeluarkan suara sepatah kata pun. Baik Luna maupun Fanno, tampak dengan pikiran masing-masing. Luna mengalihkan pandangannya dan fokus menatap ke kaca mobil.

Namun, suasana saling diam ini terasa amat mencekam. Hingga, Luna tak ingin di dalam kondisi seperti ini. Alhasil, ia hendak mengeluarkan suara agar suasana jadi mencair.

"Fanno?" Luna menoleh ke arah pria dengan rahang tegas tersebut.

"Iya, Lun, kenapa?" tanya Fanno.

Luna ingin bertanya, ke mana mereka berdua akan pergi. "Kita mau ke mana, ya? Bisa kasih tahu aku?"

"Sebenarnya aku ingin menuju ke rumah mantanmu itu, sih. Ah, cuma lihat-lihat aja, kok, sekilas." Fanno berkata terus terang mengenai niatnya ini.

"Loh, kenapa mau ke sana? Kamu pengen ngapain?" Luna mendadak syok mendengarnya.

"Kenapa kamu masih peduli sama dia?" tanya Fanno balik. "Bukankah dia sudah menyakiti hatimu?"

Fanno berniat akan membalaskan dendam dan rasa sakit hati Luna terhadap pria itu dengan caranya sendiri. Namun, sepertinya Luna masih sedikit peduli dengan Agam.

"Bukannya peduli. Aku kaget aja, ngapain kamu mau ke sana?" Wajah Luna sekarang tampak bingung.

Tiba-tiba, Fanno menepikan mobilnya di pinggir jalan. Kedua mata Luna tampak membulat sempurna. Ia langsung menoleh ke arah pria itu dan hendak bertanya lebih lanjut.

"Fanno, kenapa berhenti?" Suasana hati Luna mendadak gugup bukan main.

"Aku ingin tahu, di mana alamat rumah mantanmu itu," balas Fanno.

Pria itu tetap dengan pendiriannya. Luna mengembuskan napas panjang dan menyandarkan tubuhnya disandaran kepala jok mobil. Akhirnya, Luna mengalah dan memberitahukan segalanya pada Fanno.

Alhasil, Fanno segera tancap gas kembali dan menuju ke rumah Agam. Luna tak bisa membohongi perasaannya, bahwa masih ada sedikit rasa cinta di hatinya terhadap pria cemen tersebut, pria yang sudah meninggalkannya begitu saja di depan penghulu, orang tua kedua belah pihak, serta tamu undangan. Namun, mungkin inilah cara Tuhan untuk menyelamatkannya dari orang yang salah.

"Kenapa kamu peduli sama aku, Fan? Padahal kita baru aja ketemu." Suara Luna tiba-tiba jadi serak, seolah-olah hendak menangis karena terharu oleh sikap Fanno.

"Dulu, aku juga dikhianati sama pasanganku sendiri. Dan, itu gak enak sama sekali, Lun. Beruntung pada saat itu, kami berdua belum ke jenjang yang lebih serius." Fanno mengambil jeda di antara ucapannya, lalu melanjutkan lagi beberapa kalimat. "Dan, kasus kamu ini, aku ngerti, itu sakit banget. Apalagi kalian sudah mau ijab kabul."

Luna mendadak membisu. Ternyata, orang baru yang saat ini berada di sampingnya begitu peduli dengan perasaannya sekarang. Terkadang, hubungan yang tak sedarah jauh lebih peka dan memberikan perhatian begitu dalam, ketimbang orang terdekat kita sendiri, misalnya keluarga.

Luna menitikkan air mata. Mulutnya tak henti-henti mengucapkan terima kasih pada Fanno. Pria itu memberi perhatian tulus terhadapnya.

"Kamu jangan nangis, Lun. Apa yang aku lakukan ini, anggap saja karena aku peduli sama kamu. Gak seharusnya, pria itu memperlakukan wanita secantik kamu begini." Fanno tetap fokus menyetir dan menatap ke depan.

"Makasih ya sudah peduli sama aku. Meskipun kita baru aja kenal, tapi perhatian kamu ini sangat berarti buat aku."

Ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Fanno kepada Luna. "Lun, aku sebenarnya–"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status