Share

Perkenalan

"Lun, kok, kamu bawa koper segala, sih?" tanya Agam saat melihat Luna.

"Apa pedulimu, hah?!" Luna menatap tajam ke arah Agam. "Sana pergi! Urusi saja si Sabrina!"

Agam meraih pergelangan tangan Luna, tapi sedetik kemudian langsung ditepisnya dengan kasar. Ia sudah tak peduli lagi dengan mantan kekasihnya itu. Luna memutuskan untuk terus berjalan.

Namun, Agam rupanya masih mengikuti langkahnya. Pria itu lalu mencekal pergelangan tangannya lagi.

"Apa, sih?! Lepasin tangan aku gak?!" Luna naik pitam dan berusaha berontak, melepaskan cekalan Agam dari pergelangan tangannya.

Agam menggelengkan kepalanya dan berucap, "aku gak akan lepasin kamu. Kamu ceritakan dulu apa yang terjadi."

Luna mencebik sesaat. Rupanya pria itu tak sadar diri karena terus ingin tahu apa yang terjadi. Padahal Luna seperti ini karena Agam juga.

"Kamu gak perlu tahu lagi apa yang terjadi sama aku, Gam! Hubungan kita pun sudah berakhir, kan?" Luna berhasil melepaskan cekalan tangan Agam dari pergelangannya. Pria itu agak melunak sekarang. Maka dari itu, Luna segera menjauh darinya.

Agam menatap kepergian Luna. Wanita itu terlihat buru-buru pergi sambil menyeret kopernya.

"Maafkan aku, Lun."

***

Luna tak tahu harus pergi ke mana sekarang. Ia terus melangkah dan menyeret koper berwarna merah mudanya. Beberapa pasang mata menatap ke arahnya sambil berbisik-bisik.

"Ya Tuhan, aku harus ke mana lagi?" Luna berhenti sejenak di bawah pohon rindang. Ia mengibas-ngibaskan telapak tangan ke wajah agar merasakan hawa sejuk.

Keningnya penuh dengan buliran keringat. Luna merasa wajahnya agak sedikit lengket karena sedari tadi terus menitikkan air mata.

Tiba-tiba, Luna menoleh ke belakang. Di sana ada penjual nasi dan perutnya merasa lapar. Namun, ia tak membawa uang sepeser pun untuk membeli makanan. Lidahnya mengecap-ngecap beberapa kali. Hanya mengandalkan keberuntungan, Luna mencoba untuk menghampiri si penjual tersebut. 

Si penjual itu sontak menatap ke arahnya. "Mau apa?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi. Penjual itu memperhatikan Luna dari atas sampai ke bawah.

"Saya lapar, Bu. Boleh ngutang dulu gak?" ucap Luna.

"Kamu pikir ini warung makan punya nenek moyangmu?! Enak aja mau ngutang! Gak bisa, pergi sana!" Si penjual itu langsung mengusir Luna pergi dari sini.

Luna masih berdiam diri di tempat. Pandangan beberapa pengunjung yang sedang bersantap di warung makan itu tampak memperhatikannya. Si penjual dengan nada tinggi kembali membentak. Dengan tatapan yang nanar serta perut yang mulai keroncongan, Luna melangkah pergi dari sini.

"Mbak, tunggu!" Fanno berteriak untuk memanggil Luna.

Teriakan dari seorang pria membuat Luna menoleh lagi. Ia menatap ke arah pria itu yang melambaikan tangan ke arahnya. Detik itu juga, Luna langsung mendekat.

"Mbak lapar, ya? Mau makan di sini?" Fanno bertanya pada Luna.

"I–iya, tapi aku gak punya uang." Luna menatap sekilas ke arah si penjual warung makan itu.

Fanno menjulurkan tangan ke arah Luna seraya ingin mengajak berkenalan. "Namaku Fanno, nama Mbak siapa, ya?" tanyanya.

"Jangan panggil Mbak, panggil aja Luna." Luna menyambut uluran tangan Fanno dengan hangat.

Pria itu mengajaknya untuk makan di warung makan ini. Luna melirik sekilas ke arah si penjual tadi yang sempat membentaknya. Fanno membantu menyeret koper berwarna merah muda itu masuk ke dalam. Mereka berdua akan makan di sini.

Fanno langsung memesan makanan yang akan disantap bersama dengan Luna. Wanita itu sangat berterima kasih padanya. Tanpa menunggu lama, makanan sudah tersaji di atas meja dalam keadaan hangat.

Fanno menatap ke arah wajah Luna. Menurutnya, Luna sangat cantik dan manis. Ingin sekali ia bertanya apa yang sudah menyebabkannya menangis dan berpakaian baju pengantin.

"Hmm, kenapa kamu berpakaian pengantin kayak gini?" tanya Fanno saat hendak menyuapkan nasi ke dalam mulut.

Baru saja Luna hendak menyendokkan nasi, ia langsung mendapat pertanyaan yang membuatnya gugup. Sendok yang digenggamnya, diletakkan kembali ke atas piring. Kemudian, Luna menatap mata beriris kecokelatan itu dengan dalam.

"Hari ini aku gagal menikah. Calon suamiku pergi bersama dengan sahabatku sendiri." Luna menyeringai saat ingat dengan Agam dan Sabrina. "Dan, sekarang aku diusir oleh kedua orang tuaku karena dianggap sebagai aib."

Fanno mencerna setiap ucapan yang Luna lontarkan. Ia sangat kasihan dengan wanita yang ada di depannya saat ini.

"Lalu, kamu mau tinggal di mana setelah ini?" tanya Fanno tampak antusias ingin mendengar lebih lanjut.

Luna mengedikkan kedua bahunya. "Aku gak tahu, mau ke mana sekarang. Gak ada tujuan sama sekali soalnya."

"Apa kamu mau tinggal di rumahku?" tanya Fanno.

Sontak, Luna langsung terdiam. Ia tampak gugup saat di dekat Fanno seperti ini. Ia bingung harus mengiyakan atau tidak. Kalau tidak, dirinya akan tinggal di mana lagi.

"Baiklah, aku mau tinggal di rumah kamu sementara waktu." Luna mengangguk dan tersenyum manis ke arah Fanno.

Mungkin, ini adalah rencana dari Tuhan untuknya karena dipertemukan dengan Fanno. Pria itu sepertinya orang yang baik. Luna tak merasa curiga sedikit pun dengannya.

"Apa orang tuamu gak marah kalau aku menginap di rumahmu?" Luna bertanya pada Fanno dan menunggu jawabannya.

Fanno menggeleng lemah dan berucap, "orang tuaku sudah tiada."

Luna langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan dan meminta maaf. Ia sama sekali tak tahu soal ini.

"Maaf, aku gak tahu sama sekali soal ini," ucap Luna.

"Gak apa-apa, kok. Santai aja. Mending kita lanjut makan aja." Fanno melanjutkan makan kembali bersama dengan Luna.

Luna merasa bersalah karena menanyakan pertanyaan tadi kepada Fanno. Harusnya ia tak bertanya soal itu. Ia melihat ekspresi Fanno yang terlihat biasa-biasa saja.

Mendengar curhatan Luna tadi membuat Fanno ingin melakukan sesuatu untuknya. Ia hendak membantu wanita itu untuk membalas dendam. Ia tahu, betapa sakitnya ditinggalkan seperti itu oleh orang yang disayangi.

Tiba-tiba, Fanno kembali berucap pada Luna. "Lun?" panggilnya.

"Iya, kenapa?" Pandangan mata Luna menatap manik mata Fanno.

"Kamu tentu sakit hati kan sama mantanmu itu?" Fanno meletakkan sendok makannya dan kembali bicara serius dengan Luna.

Luna tersenyum kecut dan berusaha tegar di hadapan Fanno. "Tentu saja aku sangat sakit hati dengannya. Tapi, aku bisa apa?" 

"Aku bisa membantumu, Lun." Fanno langsung mencondongkan badannya ke depan.

Ketika hati dan pikiran Luna tak sejalan, membuatnya bingung seketika. Di dalam hati ingin mengiyakan, sedang di dalam pikirannya sendiri berkata tidak. Fanno tampak menunggu jawaban yang terucap dari mulut Luna.

"Bagaimana?" tanya Fanno sembari menampilkan senyuman termanisnya saat ini.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status