Share

Kissing Partner Sang Tuan Muda
Kissing Partner Sang Tuan Muda
Penulis: Rosemarry

1 ☆ Insiden

Terdengar helaan napas panjang dari Karamel Belva Agnesia yang tengah duduk di bawah sebuah pohon rindang. Blouse putih yang ia kenakan juga sudah tampak sedikit basah karena peluh.

Dia mengipaskan map coklat mudanya ke kanan dan kiri, untuk mengurangi rasa gerah yang melanda.

Satu tangan lainnya, ia gunakan untuk mengurut-urut kakinya yang terasa pegal.

"Ke mana lagi aku harus mencari pekerjaan?" ujarnya dengan lemah.

Bermodalkan ijazah SMA, Kara sudah mencoba melamar ke berbagai perusahaan. Sayangnya, hasi nihil yang didapat. Mereka semua menolak gadis itu dengan alasan tidak memenuhi kualifikasi.

Tiba-tiba, selembar kertas terbang tertiup angin dan jatuh tepat di kakinya membuat gadis itu terkejut. "Eh? Apa ini?"

[ Lowongan Kerja Pelayan di kediaman Alexandrio. Minimal Lulusan SMA. Gaji 2x UMR]

Dibacanya seksama selebaran itu. Tak lama, senyum manis terbit di bibir Kara. Dia berdiri sambil mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi ke udara.

"Semangat Kara, solusi sudah di depan mata!" serunya penuh semangat. Gadis berusia 21 tahun itu bahkan tak peduli pandangan aneh yang orang-orang lontarkan padanya.

Melihat ojek yang kebetulan lewat, Kara pun meminta untuk diantarkan ke alamat yang ada di selebaran itu. Dia sungguh berharap pada pekerjaan kali ini mengingat tabungannya sudah sangat tipis.

Tak lama, gadis itu sampai.

Kara turun dengan tergesa dan membayar ongkos ojeknya, kemudian berlari masuk ke dalam sebuah rumah mewah dengan nuansa putih yang membuatnya tampak elegan.

Halaman depan rumah itu terlihat sangat luas, dengan rerumputan hijau dan beberapa pohon rindang yang melengkapinya.

Dari samping rumah, terlihat para wanita dan pria membentuk sebuah barisan yang cukup panjang. Entah sudah berapa orang yang sedang berbaris di sana, namun Kara seakan tidak memperdulikan hal itu. Sejak bergabung ke dalam barisan, dia hanya sibuk merapikan pakaian dan rambutnya.

Sorot matanya tiba-tiba terfokus ke arah jendela kaca yang berada tepat di sampingnya, yang memperlihatkan seorang pria berkemeja putih. Dari tempatnya berdiri, Kara bisa melihat dengan jelas wajah tampan pria itu. Bahkan, dia juga mendengar dengan jelas apa yang sedang pria itu bicarakan.

"Please, Ma. Aku masih ingin fokus dengan bisnisku!"

"Umurmu sudah kepala tiga. Sampai kapan kamu akan melajang? Segeralah menikah dan beri Mama cucu!" Meski suara wanita itu terdengar cukup jelas, namun Kara tidak bisa melihat sosoknya.

Ketika sedang asik mendengarkan pembicaraan, suara wanita paruh baya tiba-tiba membuatnya terhenyak. "Lamaran Pelayan ke arah sini!"

Konsentrasi Kara seketika kembali pada beberapa orang yang ternyata sudah berjalan ke depan. Ia berlari kecil, menghampiri seorang wanita paruh baya yang berdiri mengumpulkan map coklat muda.

****

"Karamel Belva Agnesia!" panggil wanita paruh baya yang tadi sempat memberinya beberapa pertanyaan. "Mulailah bekerja besok!"

Mendengar dirinya diterima, tentu saja Kara sangat bahagia.

Dia bahkan bangkit dari kursi dan mengucapkan banyak terima kasih pada wanita paruh baya yang biasa dipanggil Bibi Helena itu.

Kara menjalankan training selama dua hari penuh. Pelatihan membersihkan rumah, hingga memasak. Kara yang sudah terbiasa dengan pekerjaan itu, membuatnya terlihat cukup lihai di mata Helena.

Jiwa muda dan semangat Kara mengingatkan Helena pada rekannya dulu, juga tentang dia yang sudah mengabdi puluhan tahun di keluarga Alexandrio. Dengan pertimbangan itu, Helena menempatkan Kara di rumah Tuan Muda Pertama.

Kediaman tuan muda pertama terletak di sebuah kawasan perumahan elite. Rumah bergaya modern dengan dua lantai, yang tidak terlalu besar maupun kecil.

"Tuan muda tidak memiliki banyak permintaan tentang makanan. Dia hanya tidak suka sesuatu yang berlemak. Selain itu, hidungnya juga cukup sensitif terhadap bau yang menyengat dan debu." Helena menjelaskan kepada dua orang wanita yang ia bawa ke rumah Tuan Muda Pertama. "Jadi kalian harus memperhatikan wewangian di rumah ini. Debu-debu juga harus dibersihkan dengan baik. Jangan menimbun sampah, karena Tuan Muda tidak menyukainya."

Belum selesai Helena berbicara, suara mesin mobil sayup-sayup terdengar dari luar. Tidak lama setelah itu, seorang pria dengan kemeja putih berjalan masuk sambil memijat keningnya. Helena dan dua orang maid baru lainnya segera menunduk dan memberi salam.

"Tuan Bara, mereka maid baru yang saya pilih untuk mengurus rumah Anda," terang Helena.

Pria bernama Bara itu hanya mengangguk. Dia bahkan tidak menatap wajah para maid barunya, apalagi menyapa mereka. Kakinya terus melangkah melewati mereka, menuju ke arah dapur.

"Jadi namanya Bara," gumam Kara dalam hati.

Manik mata Kara dari awal sudah terfokus pada wajah Bara. Wajah yang pernah dia lihat dari balik jendela di kediaman utama. Wajah karismatik dengan sorot mata lembut, alis yang tidak terlalu tebal dan juga bulu-bulu tipis di sekitar rahangnya.

Tepat ketika Bara berjalan melewati dirinya, bau harum woody yang maskulin bercampur dengan wangi apel menyegarkan dan menenangkan berhasil membuat dua maid itu menoleh. Pandangan mereka langsung tertuju pada Helena yang sibuk menuang air minum.

"Apa nyonya membicarakan tentang pernikahan lagi?" tanya Helena.

Bara mengangguk kecil, "Em, mereka terus menekanku beberapa hari ini. Bahkan wanita itu juga—" Bara tiba-tiba menghentikan kalimatnya dan menghela napas panjang. "Sudahlah, lupakan saja! Tolong urus mereka dulu, Bibi Helena."

Bara membawa segelas air yang baru saja dituangkan Helena, lalu pergi ke kamarnya. Dengan tergesa ia membuka laci dan mengambil sebotol obat, kemudian meminum 2 butir pil di dalamnya. Setelah itu, ia merebahkan dirinya ke kasur tanpa melepas baju ataupun sepatunya.

Tekanan dari orang tua serta kekasihnya untuk segera menikah, sungguh membuat kepala pria itu sakit setiap kali mendengar desakan mereka. Dia bahkan perlu minum obat untuk mengatasi sakit kepalanya.

Sebenarnya, dia sendiri sudah ingin menikah. Hanya saja, ada satu alasan yang membuatnya takut, bahkan tidak bisa melangkah lebih jauh dengan sang kekasih. Namun hal itu tidak bisa ia sampaikan atau dijelaskan dengan mudah pada siapapun, termasuk pada orang tuanya sendiri.

Sayangnya, desakan itu masih terus berlanjut selama beberapa hari terakhir, hingga pada akhirnya membawa Bara ke sebuah bar.

Dia pikir mabuk bisa membuat pikirannya sedikit tenang, karena obat yang biasa ia minum rasanya sudah tidak lagi efektif.

"Phobia sialan!" umpat Bara yang berjalan masuk ke rumahnya dengan terhuyung, berusaha membuat langkah kakinya stabil.

Namun 3 botol whisky dengan kadar alkohol tinggi membuat kepalanya pusing, dan pandangan matanya juga menjadi buram. Dia bahkan tidak sengaja menyandung kaki meja, hingga membuat Bara hampir saja terjungkal.

Beruntung, malam itu adalah giliran Kara untuk bekerja.

"Tuan, awas!"

Kara menahan tubuh Bara dengan kedua tangannya, membuat tubuh pria itu tak sampai jatuh tersungkur ke lantai.

Namun bukannya bernapas lega, Kara justru membulatkan matanya dengan napas yang tertahan.

Mereka berciuman!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status