Share

2 ☆ Phobia

Bibir keduanya saling menempel.

Aroma peppermint dan rose yang menguar, membuat Bara justru menginginkan hal yang lebih.

Buai hasrat sesaat membuat Bara membuka sedikit mulutnya, kemudian memasukan lidah tak bertulang itu kedalam bibir Kara, seorang Maid yang baru bekerja di rumahnya selama beberapa hari. Rasa manis bercampur sedikit getir dari sisa alkohol yang ia minum, mulai terasa menyapa indra pengecapnya.

Kara yang terkejut hanya bisa terdiam ketika lidah sang majikan mengeksplor, menyesap dan menggigit bibirnya tanpa permisi. Bahkan sampai saat Bara tersadar dan melepaskan ciumannya, Kara masih terdiam mematung di tempatnya tanpa mampu berbuat apa-apa.

"Sial! Apa yang baru saja kulakukan?" rutuk Bara dalam hati. "Aku, mencium pembantuku sendiri?"

Karena terlanjur malu atas sikapnya yang diluar kendali, Bara memilih untuk berpura-pura mabuk dan berjalan kembali ke kamarnya dengan sempoyongan. Dia bahkan membuat aktingnya menjadi semakin paripurna, dengan cara berpura-pura menabrakkan dirinya ke tembok.

Kara sendiri masih terdiam, antara terkejut dan bingung harus bersikap seperti apa. Jika dia marah atau menampar majikannya, itu artinya dia harus mencari pekerjaan baru lagi yang belum tentu lebih baik daripada pekerjaannya saat ini.

Sesaat setelah menutup pintu kamarnya, secara spontan Bara menyentuh bibirnya dan teringat dengan phobia aneh yang selama ini menghantui dirinya. Philemaphobia yang membuat Bara tak mampu mencium perempuan manapun, karena takut akan bakteri yang ada di dalam mulut.

Entah sudah berapa banyak dia mencoba berciuman dengan gadis yang ia pacari. Tapi tak ada satupun yang berhasil, termasuk dengan model terkenal yang kini menjadi kekasihnya.

Bara merogoh ponsel di saku celananya dan bergegas menghubungi psikiater terkenal yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.

"Ansel, kau harus membantuku!" pinta Bara ketika panggilan mereka baru saja terhubung.

"Ada apa? Apa phobiamu kambuh lagi? Atau kau sedang mabuk?"

"Aku baru saja mencium seseorang!"

"Hah! Apa? Kau baru saja mencium siapa?" Pria bernama Ansel itu terkejut dan tidak percaya dengan ucapan Bara, dan mencoba menanyakannya lagi.

Bara berdecak kesal, "Seorang wanita! Apa kau tuli?!"

"Oke, cukup! Datanglah ke tempatku, besok!"

Disisi lain, Kara yang masih sangat terkejut kembali ke kamarnya. Dia duduk di tepi ranjang dengan pandangan lurus ke depan namun terlihat tidak fokus. Perlahan dia memegang bibirnya dan mengusapnya dengan lembut.

Ingatan tentang rasa getir pahit yang bercampur dengan rasa manis memikat. Aroma woody dan apel, yang menyatu dengan napas hangat. Kara tiba-tiba terbayang akan gerakan lidah serta keahlian bibir Bara.

"Astaga! Tuan Bara mencuri ciuman pertamaku, tapi aku malah menikmatinya? Sepertinya aku benar-benar gila."

Kara berbaring di atas ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut dan mencoba untuk segera tidur. Namun sekeras apapun dia berusaha, gadis itu tetap saja tidak bisa terlelap bahkan hingga sang mentari datang menyapa.

Waktu telah menunjukan pukul 7 pagi, ketika Bara turun dengan kacamata hitamnya dan bergegas pergi meninggalkan rumahnya. Tak seperti biasanya, hari ini Bara memilih pergi tanpa menggunakan supir.

Perlu setidaknya 45 menit perjalanan untuk sampai ke tempat Ansel bekerja. Itu sedikit lebih lama memang, karena jalanan cukup macet di beberapa ruas lantaran jam kerja.

Sebuah bangunan 3 lantai dengan desain kuno, bercat putih dan terletak di dekat jalan raya. Bangunan yang menjadi rumah sekaligus tempat Ansel membuka praktek. Cukup strategis meski desainnya terlalu kuno, menurut Bara yang selalu protes pada Ansel.

Bara turun dengan terburu-buru dari mobil, ketika ia sampai disana. Dipencetnya bel pintu beberapa kali dengan cepat, berharap bujangan muda itu segera membuka pintunya. Namun nyatanya, Bara harus menunggu beberapa detik hingga pintu bercat putih itu terbuka.

"Kau buru-buru sekali!" ucap pria dengan piyama hitam yang berdiri di ambang pintu.

Tanpa menangggapi omelan Ansel, Bara melangkah masuk sambil mendorong tubuh sahabatnya yang menghalangi jalan. Dia duduk di sofa dengan santainya. Ansel yang sebenarnya kesal pun tidak bisa melakukan apapun, lantaran Bara adalah salah satu investornya.

"Baiklah, ceritakan yang terjadi!"

Bara menarik napas panjang, kemudian mulai menceritakan tentang bagaimana dia bisa berakhir dengan mencium pembantunya sendiri. Dari awal dia masuk ke rumah, sebenarnya ia cukup sadar. Hanya saja, mata, tubuh, dan kepalanya tidak bisa berkoordinasi dengan baik.

"Lalu, bagaimana rasanya?" tanya Ansel yang membuat Bara berpikir jika itu adalah sebuah ejekan, hingga membuat Bara melepaskan kacamata dan menatapnya tajam. "Hei perjaka tua!" keluh Ansel kesal. "Aku tidak mengejekmu. Aku hanya ingin mengetahui respon tubuhmu!"

"Kalau itu—" Bara menyandarkan punggungnya sambil bersedekap tangan. "Sedikit manis," lanjutnya dengan perasaan ragu.

Ansel mengangguk, mencoba memahami hal yang terjadi pada Bara. Sebuah phobia aneh yang sudah menganggu pria itu selama belasan tahun.

"Kalau begitu, cobalah menciumnya seminggu sekali selama beberapa bulan. Mungkin itu bisa menjadi sebuah terapi untukmu," saran Ansel setelah memikirkan solusi untuk sahabatnya itu.

Mendengar ide gila Ansel membuat Bara refleks berdiri dari duduknya, "Kau gila?! Mana mungkin aku bisa melakukan itu dengan pembantuku sendiri?"

"Kalau begitu cobalah dengan Alexa atau wanita yang lain," ujarnya, "Itupun, kalau kau bisa."

Seakan mendapat pukulan telak, Bara tidak bisa berkata apapun lagi. Bukan tanpa alasan, tapu dia sudah mencobanya dengan lebih dari 20 wanita, tapi tak ada satupun yang berhasil.

Pada akhirnya, pria yang sudah tidak bisa berkata-kata itu bangkit berdiri. Dia pun pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Selama dua hari penuh, Bara tak bisa fokus pada pekerjaannya karena teringat dengan saran dari Ansel. Hingga akhirnya, malam itu setelah dia selesai bekerja, Bara memutuskan untuk memanggil Kara ke ruangannya.

"Tentang malam itu, aku minta maaf padamu," ucap Bara ketika seluruh keberaniannya terkumpul.

"A-apa?" Kara sedikit terkejut mendengar permintaan maaf dari majikannya. "Maaf, maksud saya ... itu tidak masalah. Anda mabuk malam itu."

Bara yang tadinya duduk di kursi ruang kerjanya, perlahan bangkit berdiri. Pria dengan kemeja putih itu berjalan, lalu bersandar di ujung meja. Dia terlihat menarik napas panjang, mengumpulkan semua keberanian untuk mengatakan keinginannya.

"Sebenarnya, aku memiliki phobia." Bara mencoba mengawali pembicaraan dengan membahas phobianya. "Aku sudah coba berkonsultasi dengan dokter tentang itu, dan—" penjelasan Bara terpotong.

Kara sendiri hanya menatap bingung pada sang majikan. Dia mencoba menebak-nebak dalam hati, tentang apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh majikannya itu.

"Dia tidak mungkin ingin memecatku kan?" pikir Kara dengan was-was.

"Bantu aku menghilangkan phobia sialan ini, dan aku akan memberimu bayaran yang mahal!"

Kara yang dari awal tidak mengerti maksud Bara, menjadi semakin tidak mengerti lagi dengan permintaan aneh sang majikan. Bara nyatanya cukup peka setelah melihat ekspresi bingung Kara.

"Jadilah kissing partnerku. Hanya satu kali dalam seminggu dan akan kuberikan berapapun yang kau mau."

Kedua manik mata Kara membulat penuh. Meskipun hanya lulusan SMA, Kara tentu saja mengerti arti dari kata kissing partner itu. Sebuah layanan yang tidak masuk akal dan sudah melampaui batas, menurutnya.

"Maaf, saya tidak bisa! Saya tidak mempermasalahkan kejadian malam itu, karena anda mabuk saat itu. Dan untuk perkataan Anda malam ini, saya akan anggap Anda tidak pernah mengatakannya."

Ditolak?!

Bara yang semula cukup percaya diri dengan tawarannya, kini hanya bisa ternganga ketika Kara mengatakan hal itu.

Dia bahkan tak berdaya saat gadis belia yang baru berumur 21 tahun itu memohon untuk undur diri dan keluar dari ruangannya.

"Apa aku tidak salah dengar?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status