Share

Bab : 8

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!" 

Part : 8

POV KANIA

Bang Arman dan keluarganya berpamitan pulang. Raut wajah ibunya seperti tidak menyukaiku. Dan sepintas aku mendengar Bu Rahma mengatakan kami miskin. 

"Nduk."

Aku yang tengah membereskan gelas-gelas bekas keluarga Bang Arman tadi menyahut, "Ya, Pak."

"Keluarga Arman itu sombong sekali, Nduk. Bapak nggak suka."

Tanpa menjawab, aku hanya berjalan ke belakang menyimpan gelas-gelas kotor ke tempat pencucian piring.

"Lalu, itu yang membuat Bapak berbohong soal sawah dan kebun teh pada mereka tadi?" Terdengar suara Ibu.

"Ya, aku mau melihat. Apa 'kah mereka tetap menerima Nia, setelah tahu Nia itu ternyata orang miskin."

"Terus, kalau akhirnya Arman mundur, bagaimana, Pak?"

"Itu lebih baik. Dari pada anak kita menderita nantinya."

❣ HM ❣

Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktu di kebun teh. Cuaca hari ini cerah dan lumayan terik. Topi caping pun selalu menjadi teman setiaku untuk melindungi wajah dari panas matahari. Sedangkan Bapak dan Ibu mengurus sawah. Sebentar lagi akan panen.

Sudah seminggu berlalu. Belum ada kabar dari Bang Arman, sejak terakhir mereka datang. Sepertinya mereka memang sejak awal berpikir, bahwa aku ini anak salah satu juragan teh di sini. Begitu tahu kami hanya pekerja biasa, mereka langsung menghilang tanpa kabar. Termasuk Bang Arman. Biasanya, dia selalu mengirimkan pesan w******p. Ini tidak ada sama sekali.

"Lho, pekerja kok belum ada yang datang? Pada ke mana semua, Kang?" tanyaku pada Kang Danang--salah satu pekerja yang melintas. 

"Dipanggil sama Pak Danu. Ngumpul di alun-alun."

"Ngumpul di alun-alun? Ada apa, Kang?"

"Kurang tahu, Neng. Ini saya juga mau ke sana."

"Baik, saya ikut deh, Kang." 

Aku mengikuti langkah Kang Danang menuju alun-alun. Ada apa Bapak tiba-tiba mengumpulkan para pekerja?

Setiba di alun-alun, di sana ternyata sudah ramai dengan para pekerja dan pemetik kebun teh. Tak hanya itu, pekerja kilang padi dan sawah juga ikut berkumpul. 

"Pak, ada apa ini?" tanyaku bingung.

Bapak tak menjawab. Ia hanya mengacungkan lima jarinya, isyarat agar aku diam.

Kuturuti perintah Bapak dengan cukup memperhatikan apa yang akan disampaikan oleh pria paruh baya tersebut.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu, maksud saya mengumpulkan kalian semua di sini, untuk meminta bantuan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian."

"Memangnya Pak Danu memerlukan bantuan apa dari kami?" tanya Bu Asih--salah satu pemetik kebun teh.

"Saya minta tolong, kalau ada orang yang bertanya tentang keluarga kami, siapa pun itu saya mohon agar bapak-bapak dan ibu-ibu tidak mengatakan bahwa saya adalah pemilik kebun teh dan sawah di sini."

"Memangnya kenapa, Pak?"

"Saya susah menjelaskannya. Pokoknya tolong turuti saja ya. Soalnya, saya malas dikejar-kejar orang yang terlalu memandang kami dari harta. Biar saja orang berpikir kami ini miskin dan hanya pekerja di kebun teh dan sawah. Bagaimana, bisa?"

Sejenak mereka saling tatap satu sama lain. Mungkin mereka bingung atas perintah Bapak yang terdengar aneh. Di saat orang lain berlomba untuk mengakui kekayaan masing-masing, bahkan ada yang berpura-pura kaya, justru Bapak tidak ingin diketahui kekayaannya. Sungguh aneh sikap bapakku ini.

"Bagaimana, bisa?" Bapak mengulang pertanyaannya.

"Bisa, bisa, Pak Danu," jawab mereka serempak, meski masih dengan raut wajah bingung.

"Baik 'lah kalau begitu. Saya mengucapkan banyak terima kasih ya. Sekarang, kalian bisa kembali bekerja kembali."

"Baik, Pak Danu." 

Mereka pun membubarkan diri masing-masing untuk kembali ke tempat kerja masing-masing.

"Nduk, kamu jangan takut. Kalau memang Arman jodoh kamu, nggak akan ke mana," hibur Bapak sambil merangkulku.

"Iya, Pak. Aku nggak apa-apa kok."

Setelah para pekerja kembali ke tempat kerja masing-masing, aku juga kembali ke kebun teh. Daun-daun teh sudah siap dipanen hari ini.

Ketika tengah memetik teh bersama ibu-ibu pemetik teh, tiba-tiba seseorang terdengar memanggilku.

"Dek!"

Aku menoleh. Bang Arman berdiri di samping mobilnya. 

Kutarik napas panjang, kemudian menghampiri lelaki berkulit putih itu.

"Ada apa, Bang? Tumben ke mari setelah menghilang. Kenapa, karena ternyata aku ini miskin 'kan?" serangku langsung.

"Nggak, nggak begitu, Dek. Abang serius sama kamu. Ibu sudah menyetujui hubungan kita kok."

"Oh ya? Kami ini orang miskin lho. Yakin mau punya istri dari pekerja kebun teh seperti aku?"

"Dek, kamu jangan ngomong begitu." Bang Arman menggenggam tanganku. "Abang akan membawa kembali keluarga abang ke sini untuk melamar kamu. Kita akan segera menikah, Dek."

Aku terdiam tak menjawab. Tebersit rasa ragu dalam hati. Apa 'kah semudah itu ibunya Bang Arman yang sombong itu menerimaku?

"Dek, apa yang kamu pikirkan? Masih ragu? Tolong jaga ragu, Dek. Abang benar-benar serius sama kamu," yakinnya pasti. 

"Entah 'lah, Bang. Aku bingung. Bawa saja keluargamu untuk bertemu Bapak dan Ibu."

❣ HM ❣

Bang Arman benar-benar serius. Ia kembali datang membawa ibu, kakak dan adiknya. Bahkan kali ini ia membawa ayahnya yang selama ini mengurus restoran mereka di Bogor. 

Pernikahan berlangsung cukup mewah di Jakarta. Karena ibu Bang Arman tidak mau kalau pernikahan dilangsungkan di Lembang.

Alasannya tidak pasti. Aku yakin, pasti dia merasa malu kalau pernikahan dilangsungkan di rumah kami yang sederhana. Sementara di Jakarta, Bang Arman sampai menyewa sebuah gedung untuk akad dan resepsi.

Begitu pesta usai, aku diboyong ke rumah mertua. Sedangkan Bapak dan Ibu kembali ke Lembang setelah tiga hari berada di Jakarta. 

Kemudian mereka mulai menunjukkan sifat asli mereka. Aku diperlakukan seperti babu di sana. Bahkan ketika Bang Arman membawaku ke rumahnya, Ibu tidak berhenti ikut campur dalam rumah tangga kami. Ternyata pria yang kunikahi adalah lelaki yang tidak memiliki pendirian, yang selalu tunduk di kaki ibunya.

❣ HM ❣

"Nduk!"

Aku tersentak dan langsung mengusap air mata yang mengalir di pipi.

"Ya, Bu."

"Kamu nangis toh, Nduk?"

"Nggak apa-apa, Bu," jawabku seadanya.

"Kamu masih memikirkan hinaan mertuamu di depan tadi?"

Kutarik napas dalam-dalam. Memang hinaan Ibu Bang Arman dan kakaknya tadi di lobi depan pengadilan agama tadi, cukup melukai hati. 

Tapi, bukan itu yang membuatku menangis saat ini. Melainkan cerita selama lima tahun perjalanan pernikahan yang menyiksa batin 'lah, yang membuatku menangis saat ini. 

"Nduk, kamu siap menghadapi sidang perceraian kamu ini 'kan?" Gantian Bapak yang bertanya. 

"Siap, Pak. Sangat siap! Tak ada yang bisa dipertahankan lagi dari rumah tangga yang nggak sehat ini."

Bapak mengusap pelan pundakku. "Cepat atau lambat, mereka akan tahu siapa kita, Nduk. Dan itu kesempatan kita untuk membalas mereka. Mereka sudah berada di ujung kebangkrutan saat ini. Bapak jamin, mereka akan menyesal nantinya. Apalagi nanti kita yang akan membeli kebun teh mertuamu di Mekarsari."

"Ya, Pak. Aku nggak sabar menunggu itu. Ingin lihat bagaimana reaksi mereka, kalau tahu orang yang mereka hina selama ini 'lah yang membeli kebun teh mereka," sumpahku.

❣ Bersambung ❣

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Merry Zatull
GK bagus sama sekali
goodnovel comment avatar
Ibu Bainah
bagus cerita nya
goodnovel comment avatar
Rauldatu Wulandari
bagus alur ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status