Share

Bab : 8

Penulis: Hana Makaira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-16 14:09:06

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!" 

Part : 8

POV KANIA

Bang Arman dan keluarganya berpamitan pulang. Raut wajah ibunya seperti tidak menyukaiku. Dan sepintas aku mendengar Bu Rahma mengatakan kami miskin. 

"Nduk."

Aku yang tengah membereskan gelas-gelas bekas keluarga Bang Arman tadi menyahut, "Ya, Pak."

"Keluarga Arman itu sombong sekali, Nduk. Bapak nggak suka."

Tanpa menjawab, aku hanya berjalan ke belakang menyimpan gelas-gelas kotor ke tempat pencucian piring.

"Lalu, itu yang membuat Bapak berbohong soal sawah dan kebun teh pada mereka tadi?" Terdengar suara Ibu.

"Ya, aku mau melihat. Apa 'kah mereka tetap menerima Nia, setelah tahu Nia itu ternyata orang miskin."

"Terus, kalau akhirnya Arman mundur, bagaimana, Pak?"

"Itu lebih baik. Dari pada anak kita menderita nantinya."

❣ HM ❣

Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktu di kebun teh. Cuaca hari ini cerah dan lumayan terik. Topi caping pun selalu menjadi teman setiaku untuk melindungi wajah dari panas matahari. Sedangkan Bapak dan Ibu mengurus sawah. Sebentar lagi akan panen.

Sudah seminggu berlalu. Belum ada kabar dari Bang Arman, sejak terakhir mereka datang. Sepertinya mereka memang sejak awal berpikir, bahwa aku ini anak salah satu juragan teh di sini. Begitu tahu kami hanya pekerja biasa, mereka langsung menghilang tanpa kabar. Termasuk Bang Arman. Biasanya, dia selalu mengirimkan pesan w******p. Ini tidak ada sama sekali.

"Lho, pekerja kok belum ada yang datang? Pada ke mana semua, Kang?" tanyaku pada Kang Danang--salah satu pekerja yang melintas. 

"Dipanggil sama Pak Danu. Ngumpul di alun-alun."

"Ngumpul di alun-alun? Ada apa, Kang?"

"Kurang tahu, Neng. Ini saya juga mau ke sana."

"Baik, saya ikut deh, Kang." 

Aku mengikuti langkah Kang Danang menuju alun-alun. Ada apa Bapak tiba-tiba mengumpulkan para pekerja?

Setiba di alun-alun, di sana ternyata sudah ramai dengan para pekerja dan pemetik kebun teh. Tak hanya itu, pekerja kilang padi dan sawah juga ikut berkumpul. 

"Pak, ada apa ini?" tanyaku bingung.

Bapak tak menjawab. Ia hanya mengacungkan lima jarinya, isyarat agar aku diam.

Kuturuti perintah Bapak dengan cukup memperhatikan apa yang akan disampaikan oleh pria paruh baya tersebut.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu, maksud saya mengumpulkan kalian semua di sini, untuk meminta bantuan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian."

"Memangnya Pak Danu memerlukan bantuan apa dari kami?" tanya Bu Asih--salah satu pemetik kebun teh.

"Saya minta tolong, kalau ada orang yang bertanya tentang keluarga kami, siapa pun itu saya mohon agar bapak-bapak dan ibu-ibu tidak mengatakan bahwa saya adalah pemilik kebun teh dan sawah di sini."

"Memangnya kenapa, Pak?"

"Saya susah menjelaskannya. Pokoknya tolong turuti saja ya. Soalnya, saya malas dikejar-kejar orang yang terlalu memandang kami dari harta. Biar saja orang berpikir kami ini miskin dan hanya pekerja di kebun teh dan sawah. Bagaimana, bisa?"

Sejenak mereka saling tatap satu sama lain. Mungkin mereka bingung atas perintah Bapak yang terdengar aneh. Di saat orang lain berlomba untuk mengakui kekayaan masing-masing, bahkan ada yang berpura-pura kaya, justru Bapak tidak ingin diketahui kekayaannya. Sungguh aneh sikap bapakku ini.

"Bagaimana, bisa?" Bapak mengulang pertanyaannya.

"Bisa, bisa, Pak Danu," jawab mereka serempak, meski masih dengan raut wajah bingung.

"Baik 'lah kalau begitu. Saya mengucapkan banyak terima kasih ya. Sekarang, kalian bisa kembali bekerja kembali."

"Baik, Pak Danu." 

Mereka pun membubarkan diri masing-masing untuk kembali ke tempat kerja masing-masing.

"Nduk, kamu jangan takut. Kalau memang Arman jodoh kamu, nggak akan ke mana," hibur Bapak sambil merangkulku.

"Iya, Pak. Aku nggak apa-apa kok."

Setelah para pekerja kembali ke tempat kerja masing-masing, aku juga kembali ke kebun teh. Daun-daun teh sudah siap dipanen hari ini.

Ketika tengah memetik teh bersama ibu-ibu pemetik teh, tiba-tiba seseorang terdengar memanggilku.

"Dek!"

Aku menoleh. Bang Arman berdiri di samping mobilnya. 

Kutarik napas panjang, kemudian menghampiri lelaki berkulit putih itu.

"Ada apa, Bang? Tumben ke mari setelah menghilang. Kenapa, karena ternyata aku ini miskin 'kan?" serangku langsung.

"Nggak, nggak begitu, Dek. Abang serius sama kamu. Ibu sudah menyetujui hubungan kita kok."

"Oh ya? Kami ini orang miskin lho. Yakin mau punya istri dari pekerja kebun teh seperti aku?"

"Dek, kamu jangan ngomong begitu." Bang Arman menggenggam tanganku. "Abang akan membawa kembali keluarga abang ke sini untuk melamar kamu. Kita akan segera menikah, Dek."

Aku terdiam tak menjawab. Tebersit rasa ragu dalam hati. Apa 'kah semudah itu ibunya Bang Arman yang sombong itu menerimaku?

"Dek, apa yang kamu pikirkan? Masih ragu? Tolong jaga ragu, Dek. Abang benar-benar serius sama kamu," yakinnya pasti. 

"Entah 'lah, Bang. Aku bingung. Bawa saja keluargamu untuk bertemu Bapak dan Ibu."

❣ HM ❣

Bang Arman benar-benar serius. Ia kembali datang membawa ibu, kakak dan adiknya. Bahkan kali ini ia membawa ayahnya yang selama ini mengurus restoran mereka di Bogor. 

Pernikahan berlangsung cukup mewah di Jakarta. Karena ibu Bang Arman tidak mau kalau pernikahan dilangsungkan di Lembang.

Alasannya tidak pasti. Aku yakin, pasti dia merasa malu kalau pernikahan dilangsungkan di rumah kami yang sederhana. Sementara di Jakarta, Bang Arman sampai menyewa sebuah gedung untuk akad dan resepsi.

Begitu pesta usai, aku diboyong ke rumah mertua. Sedangkan Bapak dan Ibu kembali ke Lembang setelah tiga hari berada di Jakarta. 

Kemudian mereka mulai menunjukkan sifat asli mereka. Aku diperlakukan seperti babu di sana. Bahkan ketika Bang Arman membawaku ke rumahnya, Ibu tidak berhenti ikut campur dalam rumah tangga kami. Ternyata pria yang kunikahi adalah lelaki yang tidak memiliki pendirian, yang selalu tunduk di kaki ibunya.

❣ HM ❣

"Nduk!"

Aku tersentak dan langsung mengusap air mata yang mengalir di pipi.

"Ya, Bu."

"Kamu nangis toh, Nduk?"

"Nggak apa-apa, Bu," jawabku seadanya.

"Kamu masih memikirkan hinaan mertuamu di depan tadi?"

Kutarik napas dalam-dalam. Memang hinaan Ibu Bang Arman dan kakaknya tadi di lobi depan pengadilan agama tadi, cukup melukai hati. 

Tapi, bukan itu yang membuatku menangis saat ini. Melainkan cerita selama lima tahun perjalanan pernikahan yang menyiksa batin 'lah, yang membuatku menangis saat ini. 

"Nduk, kamu siap menghadapi sidang perceraian kamu ini 'kan?" Gantian Bapak yang bertanya. 

"Siap, Pak. Sangat siap! Tak ada yang bisa dipertahankan lagi dari rumah tangga yang nggak sehat ini."

Bapak mengusap pelan pundakku. "Cepat atau lambat, mereka akan tahu siapa kita, Nduk. Dan itu kesempatan kita untuk membalas mereka. Mereka sudah berada di ujung kebangkrutan saat ini. Bapak jamin, mereka akan menyesal nantinya. Apalagi nanti kita yang akan membeli kebun teh mertuamu di Mekarsari."

"Ya, Pak. Aku nggak sabar menunggu itu. Ingin lihat bagaimana reaksi mereka, kalau tahu orang yang mereka hina selama ini 'lah yang membeli kebun teh mereka," sumpahku.

❣ Bersambung ❣

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (11)
goodnovel comment avatar
Nurul Khusnah
bikin gereget isi ceritanya..tp sayang baca nya ganya jisa smpe bab 8..
goodnovel comment avatar
Anisa Latukau
ceritanya bagus cuma bagaimana kelanjutan nya
goodnovel comment avatar
Merry Zatull
GK bagus sama sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 53

    “Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 52

    Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 51

    Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 50

    Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 49

    Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 48

    "Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status