KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!
Part : 7
*Flashback*
POV ARMAN"Kamu yakin gadis itu kaya raya, Man?"
"Yakin, Bu. Soalnya, beberapa pekerja mengatakan begitu."
"Bagus 'lah. Jangan mau sama perempuan miskin. Cuma bakalan nyusahin kita nanti, Man. Ya sudah, kapan kita ke sana."
"Besok, Bu. Soalnya, aku malas pacaran lama-lama. Aku rasa dua bulan cukup 'lah. Usiaku sudah 40 tahun, Bu. Keburu makin tua aku nanti."
"Oke, besok kita ke sana."
❣
Matahari bersinar cerah. Ibu, Kak Ima dan Ella sudah siap untuk bertemu dengan Nia, gadis yang tengah kupacari saat ini. Semoga saja Ibu mau menyetujui hubungan kami. Syarat kaya saja sudah cukup untuk mendapatkan restu dari Ibu.
Dengan menggunakan mobilku, kami mendatangi sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari area persawahan.
Mobil tidak bisa masuk, karena itu kami harus berjalan kaki sedikit.
"Yang mana sih rumahnya, Man?" tanya Ella--adikku.
"Itu," tunjukku pada rumah mungil yang dikelilingi taman bunga kecil.
"Kamu nggak salah, Man? Kamu bilang gadis itu kaya. Kok rumahnya seperti itu sih? Mana jalannya becek lagi. Kotor kaki Ibu jadinya," sungut Ibu. Kakinya sampai berjinjit-jinjit untuk memilih jalan yang tidak becek. Tadi malam hujan, dan rumah Nia berada di dataran tanah yang masih sangat gembur. Jika diguyur hujan, maka jalan menjadi becek karena genangan lumpur.
Aku tak menjawab. Pasti dalam bayangan Ibu, rumah calon besannya itu mewah dan megah. Huuufff, kuhela napas panjang.
"Assalamualaikum," ucapku ketika sampai di depan rumah berpintu kayu berwarna coklat.
Hening tak ada jawaban.
"Assalamualaikum, Dek Nia." Kucoba memanggil sekali lagi.
"Wa'alaikumussalam." Terdengar sahutan dari belakang rumah. Seorang lelaki paruh baya datang dengan cangkul dipikul di bahu kanan. Pakaian dan celana berbahan kain itu dipenuhi lumpur yang mulai mengering.
Kulirik Ibu yang menatap dengan pandangan jijik. Aduh, sepertinya kedatangan kami sangat tidak tepat.
"Eh, Nak Arman. Ayo, masuk, masuk." Pak Danu--bapaknya Nia mempersilakan kami masuk. "Sebentar, saya mau cuci kaki dulu."
Pak Danu melangkah ke arah samping rumah. Ia mencuci kakinya yang penuh lumpur di bawah kucuran air keran.
"Kamu nggak salah, Arman? Masa orang kaya kotor seperti itu," bisik Ibu.
"Namanya juga *nyawah*, Bu. Ya pasti kotor," balasku juga berbisik.
"Lho, kok masih berdiri di situ saja. Mari masuk." Pak Danu berjalan mendahului kami, masuk ke rumah.
Ibu berjalan menapaki tangga. Matanya berkeliling dengan raut wajah jijik. Ibuku itu memang super pembersih dan *jijikan*.
"Eh, ada nak Arman," sapa Ibu. "Ayo, silakan duduk. Nia, buatkan teh. Ada tamu ini."
Nia muncul dari balik pintu dapur. Ia tersenyum tersipu begitu melihatku, lalu menghilang ke balik pintu tersebut. Sepemalu itu 'kah seorang gadis desa?
"Maaf, kalau boleh tahu, maksud kedatangan nak Arman dan yang lainnya apa ya?"
"Begini, Pak, ini ibu saya, kakak dan adik saya. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar Nia, anak Bapak dan Ibu."
Pak Danu dan Bu Santi saling berpandangan dengan raut wajah kaget.
"Melamar? Kamu dengan Nia 'kan belum lama berhubungan. Apa nggak terlalu cepat, Nak Arman?" tanya Bu Santi.
"Saya sudah telanjur cinta sama Nia, Bu. Lagi pula, laki-laki seusia saya ini, sudah nggak cocok untuk pacaran lama-lama," jelasku.
Tak lama Nia datang dengan nampan berisi empat gelas teh panas. Gadis ini sebenarnya berwajah manis meski kulitnya berwarna coklat. Rambutnya hitam legam sengaja dibiarkan tergerai bebas.
"Ini pacar kamu, Man?" Mata Ibu melotot tak percaya. Pasti karena Nia hanya mengenakan daster batik selutut. Aku yakin, dalam bayangan Ibu, pacarku bergaya modis dan trendi. Sementara yang tersaji di depannya, hanyalah gadis desa yang bergaya kampungan.
"I-iya, Bu. Ini yang namanya Kania, Bu."
Nia menyalami dan menciumi punggung tangan Ibu, kemudian Kak Ima dan Ella.
"Kamu yakin mereka ini orang kaya? Kok penampilannya kampungan banget sih?" tanya Ibu sedikit berbisik. Tapi suaranya aku rasa cukup kuat untuk didengar Pak Danu dan Ibu Santi juga Nia. Terlihat dari wajah mereka yang seketika berubah pias.
"Bu, jangan bicara begitu dong. Malu kedengaran mereka," bisikku merasa tak enak. "Yang penting mereka kaya, Bu. Ingat, mereka pemilik sawah dan kebun teh di sini," lanjutku di telinga Ibu.
Ibu menghela napas panjang sambil membuka kipas kertas. Lantas ia mengipaskan ke wajahnya.
"Oh ya, Pak, Bu. Kebun teh di jalan menurun dan sawah yang di dekat irigasi itu, milik Bapak dan Ibu 'kan?" Kak Ima membuka suara.
"Sawah dan kebun teh itu bukan milik kami. Kami hanya pekerja di sana," jawab Bapak seraya terkekeh.
"Ah, yang benar, Pak. Kata Arman, Bapak pemilik beberapa sawah dan kebun teh di sini," timpal Ibu.
"Bukan, Nak. Bapak serius. Kami di sini cuma pekerja. Kalau kami pemilik sawah dan kebun teh, tentu rumah kami mewah. Pak Asep, maaf, ke sini sebentar." Lelaki berkumis itu memanggil seorang pria yang melintas di depan rumah.
"Ya, Pak Danu, ada apa?"
Bapak berjalan pelan ke arah lelaki bernama Asep tadi.
"Pak Asep." Pak Danu merangkul pundak Pak Asep. "Coba jelaskan pada tamu-tamu saya ini, kalau persawahan di dekat irigasi dan kebun teh di jalan menurun itu bukan punya saya? Kita di saja cuma pekerja saja 'kan, Pak Asep?"
"Eng, eh, i-iya, Pak Danu. Kami di sana cuma pekerja biasa saja kok."
"Tapi, kemarin saya bertanya kepada beberapa pekerja, kalau Nia yang waktu itu sedang memetik teh, adalah anak pemilik kebun teh tersebut," tanyaku gamang.
"Hahaha ... Mereka cuma bercanda itu, Nak Arman. Nak Arman bisa lihat sendiri 'kan, rumah-rumah pemilik kebun teh di sini rata-rata rumahnya bagus-bagus. Nggak seperti kami. Rumah kami sederhana begini ."
"Aaawww!" Ibu mencubit pahaku.
"Kenapa, Nak Arman?"
"Nggak apa-apa kok, Bu."
"Lalu, bagaimana soal lamaran tadi, Nak Arman?"
"Lamaran?" tanya Nia heran.
"Ya, Nduk. Arman dan keluarganya datang jauh-jauh dari Jakarta ke sini, untuk melamar kamu. Bagaimana, Nduk?" tanya Bapak.
"Eng, soal lamaran tadi, sepertinya nanti dulu deh. Saya harus bicarakan lagi dengan Arman dan anak-anak saya yang lainnya. Kami pulang dulu. Permisi." Ibu berdiri sambil memberi isyarat, agar kami mengikuti langkahnya.
❣ HM ❣
"Arman!"
Aku tersentak ketika Ibu menepuk pundakku kuat.
"Ya, Bu."
"Apa yang kamu lamunkan? Istrimu yang mis-kin dan som-bong itu?"
Lagi, aku terdiam. Jujur rasa cinta masih sangat besar untuk Nia. Tapi sayangnya, diri ini tak mampu melawan kuasa Ibu, yang selalu mengatur kehidupanku selama ini. Bahkan, Ayah saja tak mampu melawan Ibu.
❣ Bersambung ❣
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!" Part : 8POV KANIABang Arman dan keluarganya berpamitan pulang. Raut wajah ibunya seperti tidak menyukaiku. Dan sepintas aku mendengar Bu Rahma mengatakan kami miskin. "Nduk."Aku yang tengah membereskan gelas-gelas bekas keluarga Bang Arman tadi menyahut, "Ya, Pak.""Keluarga Arman itu sombong sekali, Nduk. Bapak nggak suka."Tanpa menjawab, aku hanya berjalan ke belakang menyimpan gelas-gelas kotor ke tempat pencucian piring."Lalu, itu yang membuat Bapak berbohong soal sawah dan kebun teh pada mereka tadi?" Terdengar suara Ibu."Ya, aku mau melihat. Apa 'kah mereka tetap menerima Nia, setelah tahu Nia itu ternyata orang miskin.""Terus, kalau akhirnya Arman mundur, bagaimana, Pak?""Itu lebih baik. Dari pada anak kita menderita nantinya."❣ HM ❣Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktu di kebun teh. Cuaca hari ini cerah dan lumayan terik. Topi caping pun selalu menjadi teman setiaku untuk melindungi wajah dari panas matahari. Sedangkan
Part : 9 Agenda sidang kami hari ini masih sidang mediasi. Ada mediator yang menengahi kami untuk mencoba mendamaikan dan kembali mempersatukan. Namun keputusan sudah bulat untuk berpisah dari Bang Arman. Aku tidak bisa terus bertahan dalam rumah tangga, yang masih seratus persen dicampuri ibunya. Lima tahun aku dipaksa untuk berbakti pada ibunya, tanpa boleh berbakti pada orang tua sendiri. Selama hampir lima tahun pula, aku tak diizinkan bertemu orang tua, padahal jarak kota yang tak terlalu jauh. Jika ingat itu, hati ini melenguh perih. Lima tahun rasanya seperti lima abad tersiksa. Sampai tubuh ini bergidik ngeri membayangkan hal itu lagi. Aku terus bersikeras untuk bercerai, kendati mediator berusaha untuk meminta kembali berpikir akan keputusanku. Ia meminta agar mengingat ada Indah yang akan menjadi korban nantinya dari perceraian kami. Tapi, aku sudah tidak peduli. Sebagai seorang Ibu, aku harus memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Karena itu juga akan mempengaruhi ke Indah
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 10 "Tapi, kenapa mereka bisa memiliki utang sebanyak itu, Mas?" tanyaku pada Mas Abimanyu. Ia melemparkan senyum sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. "Itu 'lah yang masih aku pertanyakan. Selama ini Pak Wahyu yang memegang toko. Pak Wahyu itu bapak mertuamu 'kan?" "Ya, benar. Dia bapak mertuaku. Dan kebun teh juga dia yang meng-handle." "Padahal, toko batik mereka itu cukup terkenal laris. Tapi, entah kenapa, mereka bisa sampai terlilit utang seperti sekarang ini." "Kebun teh mereka juga setahuku sangat maju sih, Mas. Tapi--" Kuaduk lemon tea dengan sedotan sambil berpikir keras. Selama ini permasalahan keluarga Bang Arman sama sekali tak kuketahui. Karena mereka selalu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Ternyata, mereka menyimpan sebuah berita besar. "Hei!" Aku tersentak kaget. "Ah, ya, Mas." "Mikirin opo?" "Nggak, Mas. Aku cuma berpikiran, kalau memang toko dan kebun teh itu maju, kenapa sampai bisa mereka terlilit utang b
"Alhamdulillah semua lancar ya, Nduk," ujar Ibu. "Alhamdulillah, Bu. Lega rasanya." "Bagus 'lah, Nduk. Nggak ada gunanya kamu mempertahankan rumah tangga dengan laki-laki labil seperti Arman itu," timpal Bapak. "Apa? Kamu mengatakan anak saya laki-laki labil?" celetuk Ibu tiba-tiba dari belakang. "Memang anakmu itu labil dan nggak punya pendirian 'kan? Salahnya di mana?" sahut Ibu. "Laki-laki seperti ini nggak bisa dijadikan kepala rumah tangga. Karena segala sesuatu urusan dalam rumah tangga, masih dicampuri sama ibunya. Seharusnya kamu jangan menikah, Arman. Tapi terus saja mene-tek pada ibumu." "Kurang a-jar banget kamu. Kamu pikir kamu siapa? Orang miskin saja sombong!" Lagi-lagi kata-kata itu yang ke luar dari mulutnya. "Itu emas yang kamu pakai, palingan juga imitasi 'kan?" Bu Rahma ini benar-benar keterlaluan. Dia tidak tahu, kalung emas yang melingkar di leher ibuku itu bukan emas biasa, melainkan emas murni. "Sudah, Bu. Jangan dilawan. Anggap saja orang gi-la," tukas Ba
KITA BELI KESOMBONSepertinya ini alasan kebun teh milik ibunya Bang Arman mengalami kebangkrutan dan toko mereka juga sampai berutang pada kami. Benar kata Mas Abi. Lelaki yang diam saja ketika ditekan istri, ternyata melawan dengan bermain belakang. Kuputuskan untuk menghampiri ayahnya Bang Arman. Gatal rasanya jika tidak mengganggu kemesraan ABG tua itu dengan kekasihnya. Sekalian membayar tagihan ke kasir. Perlahan aku berjalan menghampiri meja yang berada di tengah itu. Sengaja melintasi meja itu untuk memancing apakah Pak Wahyu menyadari ada aku yang mengawasinya. "Sayang, aku mau beli tas nanti sampai di mall ya," ucap gadis yang lebih cocok menjadi anaknya itu bernada manja. "Oke, Sayang. Apa sih yang aku berikan untuk kamu? Asal kamu bahagia dan jangan pernah meninggalkanku ya. Bisa ma-ti aku kalau kamu pergi." Mataku membelalak. Tak kusangka, pria tua bangka itu bucin juga ternyata. Padahal jika di depan istrinya, lagaknya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kuterusk
"Kamu sendiri 'kan tahu dan melihat sendiri bagaimana perlakuan ibunya Arman padaku. Aku ini bukan suami baginya. Melainkan tak lebih dari jongos saja. Puluhan tahun ibunya terus menekan dan menjadikanku layaknya alas kaki. Aku stres, Nia. Aku stres!" tuturnya. "Kenapa Bapak lebih memilih bertahan? Kenapa nggak ceraikan saja wanita sombong seperti dia?" Lelaki itu mengusap dahinya. "Aku ini sebatang kara, nggak punya keluarga. Kalau cerai dari ibunya Arman, aku jadi gembel lagi dan aku nggak mau itu terjadi!" Ternyata Pak Wahyu ini rela menjatuhkan harga dirinya demi harta. Sungguh tidak menyangka ada sosok pria seperti ini di dunia. Tapi, lelaki bertubuh kurus ini licik juga. Dikurasnya harta istri yang sudah menindasnya selama ini. Panggilan kembali terdengar. Dan aku sudah tidak ada waktu banyak lagi. "Pesawatku akan berangkat, Pak. Urusan ini bukan urusanku. Karena Bapak tahu sendiri 'kan aku dan Bang Arman sudah resmi bercerai." "Apa? Kamu dan Arman sudah bercerai?" "Bapak
Acara yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Event organizer yang kata Mas Abimanyu sudah menjadi langganan Surya Prabaswara Grup, telah berhasil menyulap ruangan ballroom Hotel berbintang lima itu menjadi sangat mewah dan elegan. Surya diambil dari nama almarhum Eyang Kung Prapto Suryoprawiro dan Prabaswara nama ayah dari Mas Abimanyu. Mereka bersahabat dan mendirikan perusahaan bersama-sama. "Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Bapak. Malam itu Bapak menggunakan batik berwarna golden brown bercorak khas batik Jogja. Sedangkan Ibu menggunakan gaun modern dengan corak batik yang serupa dengan Bapak dan juga aku. Sedikit brokat di bagian depan sebagai pelengkap keindahan gaun keluaran terbaru yang akan launching malam ini. "Sudah, Pak," sahutku pasti. "Kamu cantik banget malam ini, Nduk. Benar-benar cocok disebut sebagai owner PT. Surya Prabaswara Grup mendampingi nak Abimanyu. Bukan begitu, Nak Abi?" "Eng, eh, Bapak bisa saja." Kali ini wajah Mas Abi yang bersemu merah. "Tapi, anakku ini m
"Hayo, pada penasaran ya?" goda MC lelaki itu, disambut dengan tawa riuh para undangan. "Pewaris tunggal dari PT. Surya Pradana Grup adalah cucu dari almarhum Bapak Prapto dan Ibu Saraswati, yang selama ini tinggal di Lembang, Bandung, mengurus kebun teh dan sawah di sana. Dia adalah ...." Lampu ballroom dimatikan. Lantas lampu sorot yang berputar berkeliling, seakan mencari sasaran. Genderang drum dari band ibu kota yang terkenal semakin menambah tegang suasana. "Baik 'lah para hadirin, mari kita sambut, bos baru kita di PT. Surya Pradana Grup untuk naik ke atas pentas. Dipersilakan Ibu Dewi Kania Suryoprawiro untuk maju." Lampu sorot pun berhenti ke arahku. Ratusan pasang mata ikut mengarah padaku. Tak terkecuali keluarga matre dan pongah yang berdiri di depan kami. "Mari Bu Kania, silakan maju ke depan." "A-apa? Ka-kania bos Surya Pradana?" pekik Bu Rahma. Matanya membelalak dan mulut menganga lebar. "Nggak, nggak mungkin! Ini mimpi 'kan?" Tak ada yang menjawab. Ketiga anaknya