Share

S2 Part 42 - Kerusuhan Di Rumah Sakit

Echa masih tidur. Mungkin pengaruh suntikan penenang yang diberikan perawat tadi, membuat Echa masih terlelap. Setidaknya, bocah perempuan itu tidak lagi berteriak histeris seperti tadi.

Mata Abimanyu membelakak tertuju pada wanita yang duduk di samping brankar Echa. Dia, 'kan ....

"Kania ...," pekik Abimanyu pelan. Matanya berbinar bahagia, melihat sang pujaan hati ternyata berada di samping putrinya yang terlelap.

Ia mempercepat langkahnya, mendekati Kania yang duduk sambil mengusap-usap pelan tangan Echa yang diinfus.

"Sayang ... Kamu di sini." Abimanyu memeluk Kania dari belakang. Diciuminya pipi, tengkuk dan kepalanya istrinya yang dibalut hijab. Aroma harum parfum lembut, menguar dari sana. Sepertinya Kania baru selesai melaksanakan salat. Sebab, parfum ini biasa dipakainya jika sedang salat saja.

"Lepasin, Mas. Jangan begitu. Malu kalau dilihat orang." Kania berusaha melepaskan diri.

"Gak, mas gak akan lepasin. Mas kangen. Mas hampir gila tadi, begitu melihat kamar kosong. Mas pikir, kamu benar-benar serius akan pergi ninggalin mas," ujar Abimanyu bercerocos panjang lebar. Tangannya tetap saja melingkar di leher Kania. Lelaki itu masih saja menghujamkan kecupan bertubi-tubi di kepala sang istri.

Kania mengembuskan perlahan-lahan napasnya. Rasa kesal masih meliputi hatinya, sebab bentakan kasar sang suami tadi. Ia merasa, Abimanyu tak menghargai usaha dan perhatian pada Echa sama sekali.

Tapi, diperlakukan dengan manis seperti ini, wanita mana yang sanggup untuk menolak? Abimanyu sangat pandai dalam membuat amarahnya menguap dalam satu pelukan saja.

Menyadari istrinya diam saja, Abimanyu tersenyum kecil. Segera ia berbalik dan berjongkok di samping kursi Kania. Diraihnya jemari wanita berkulit coklat itu. Mencium punggungnya dengan lembut.

"Maafkan mas, Sayang. Mas tadi khilaf. Tadi mas benar-benar lagi kacau dan kalut. Sampai-sampai gak sadar akan apa yang diucapkan. Maafkan mas, ya?"

Kania memejamkan matanya sedetik, seraya menarik napasnya dalam-dalam, lantas mengeluarkan pelan-pelan. Ia berusaha mengeluarkan bongkahan-bongkahan amarah tadi, bersama dengan udara yang ke luar dari mulutnya.

Tatapan mereka bertemu saat Kania menoleh. Abimanyu memiringkan kepalanya, menagih jawaban.

"Iya, aku maafin," ucap Kania pelan, sambil terus membuang wajahnya yang bersemu merah. Tatapan Abimanyu membuat pipinya terasa panas karena malu.

"Benarkah, Sayang?" Sontak wajah muram Abimanyu berubah ceria.

Kania mengangguk tanpa menoleh.

"Alhamdulillah." Abimanyu mengucap syukur, sembari melompat memeluk sang istri.

Kania tersenyum tipis dalam pelukan Abimanyu. Terasa sangat tenang sekali, setelah berdamai dengan suaminya. Mungkin hormon ibu hamil yang berubah-ubah, membuat Kania cepat tersinggung. Terlebih di masa trimester pertama kehamilan.

"Maafkan aku, Sayang," ucap Abimanyu lagi, ketika mengurai pelukan.

"Maafin aku juga, ya, Mas. Aku terlalu cepat emosi. Maklum saja, mood ibu hamil itu berubah-ubah."

Abimanyu mengangguk. "Iya, aku paham banget, Sayang. Temani aku menghadapi ini semua sama-sama, ya."

**

Kania terbangun, ketika sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Ternyata dirinya tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepala bersandar di dinding. Semalaman ia tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Sementara sang suami sudah mendengkur pulas di kamar. Akhirnya ia memutuskan untuk jalan-jalan di lorong,. Tanpa sengaja tertidur di sini.

"Kamu tidur di sini semalaman, Sayang?"

Wanita berhijab instan itu merentangkan kedua tangannya ke atas, sambil mengerang pelan.

"Iya, Mas. Tadi malam aku gak bisa tidur. Jadi, aku mencari udara saja ke luar kamar. Sambil menyeduh kopi dari air dispenser di sana." Kania menunjuk ke arah dispenser besar yang berdiri di sudut lorong, dekat dengan meja jaga perawat.

"Aku pikir, kamu masih marah. Sampai gak sudi tidur denganku."

Kania terkekeh. "Gak, kok. Aku sudah gak marah lagi. Asal kamu janji, untuk gak mengulangi lagi."

"Iya, aku janji." Dua jari mengacung.

Kania tersenyum geli melihat kelakuan konyol Abimanyu.

"Ya, sudah, berdirilah, Mas." Kania membingkai kedua pundak sang suami. "Gak enak dilihat orang. Nanti dikirain kamu lebay atau suami yang takut sama istri."

Abimanyu ikut tergelak. Kemudian bergeser ke sebelah Kania duduk. Tak lama berselang, dua orang lelaki berkemeja datang menghampiri mereka.

"Selamat pagi, Pak Abimanyu." Lelaki pertama, berpostur sedikit berisi, tersenyum seraya mengulurkan tangannya.

"Selamat pagi, Pak Suroto. Pagi sekali ke sini." Abimanyu menyambut lelaki pertama tadi dengan senyum tak kalah ramahnya.

"Maaf, kalau saya mengganggu pagi-pagi. Saya harus ke Bandung sore ini dan lusa baru kembali. Jadi, saya sempatkan pagi ini untuk ketemu Bapak, untuk membicarakan kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi pada anak Bapak." .

"Sebaiknya, kita bicarakan saja di kafetaria rumah sakit yang ada di bawah, bagaimana?"

Kedua pria itu saling bertatapan sejenak.

"Kalau tidak merepotkan, boleh saja, Pak," jawab laki-laki pertama tadi.

"Sangat tidak merepotkan. Supaya lebih santai ngobrolnya. Kamu mau ikut, Sayang?"

Kania menggeleng. "Aku di sini saja. Nemenin Echa, ya, Mas. Kasihan Echa."

"Ya, sudah kalau begitu. Mas ke kafetaria dulu, ya."

"Iya, Mas." Kania mengangguk.

"Kamu mau dibawain apa, setelah mas kembali?"

"Teh panas saja, Mas."

"Oke, nanti mas bawakan, ya. Mari, Pak. Lewat sini." Tangannya direntangkan, mempersilakan kedua lelaki tadi untuk jalan lebih dulu.

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju lift, sambil mengobrol lepas. Suasana rumah sakit belum terlalu ramai. Mungkin dikarena belum masuk jam besuk.

Hanya saja, banyak pengunjung rumah sakit, terlihat ramai berjalan menuju kafetaria. Sama halnya dengan mereka, hendak mengisi perut mereka yang keroncongan di pagi hari.

"Anda mau pesan, Pak?" tanya Abimanyu sambil mengayunkan tangannya ke arah pelayan kafe yang berdiri di samping meja kasir.

"Saya mau kopi saja, Pak," jawab Pak Suroto.

"Bagaimana dengan anda?"

"Saya teh panas saja, Pak," jawab rekan Pak Suroto.

"Kopi dua dan teh panas satu, ya, Mbak."

"Baik, Pak," sahut pelayan wanita muda tersebut. Pena di tangannya menari di atas notes kecil. "Ada tambahan yang lain lagi, Pak? Makanan untuk sarapan pagi, mungkin?"

"Ah, ya, benar juga. Saya nasi goreng satu, deh," ujar Abimanyu. "Pak Suroto mau makan juga?"

"Roti bakar, ada, Mbak?"

"Ada, Pak."

"Saya roti bakar saja satu."

"Saya gak usah. Saya cukup teh panas saja. Gak terbiasa untuk sarapan." Rekan Pak Suroto menolak dengan sopan disertai seulas senyum.

"Baiklah kalau begitu. Mohon ditunggu, pesanan anda-anda segera kami siapkan."

"Terima kasih, Mbak."

Pelayan wanita itu mengangguk sopan, kemudian pergi ke tempatnya berdiri tadi.

"Sambil menunggu, kita bicarakan soal rencana anda tentang kasus dugaan pelecehan seksual atas putri anda, Pak Abimanyu." Pak Suroto membuka percakapan yang mulai terlihat serius arahnya.

Abimanyu menarik napas dalam. Sesak membuncah di dada lelaki yang mendekati usia empat puluh tahun itu, jika teringat akan putri kecilnya yang malang.

"Saya sudah meminta pihak rumah sakit untuk melakukan tes visum pada Echa. Cuma karena keadaan emosi Echa yang masih belum stabil, membuat pihak rumah sakit memutuskan lusa untuk melakukan visum. Padahal, saya sudah gak sabar ingin menghaj4r dan memenjarakan baj*ngan itu." Tangannya mengepal kuat, seraya gerahamnya yang terdengar bergemelatuk menahankan amarah. "Bila perlu, kucampakkan dia ke alam baka sekarang juga."

"Sabar, Pak. Kita gak boleh gegabah. Kita tunggu saja hasil visum nanti. Setelah itu, baru kita bertindak. Jangan sampai malah jadi berbalik ke anda, Pak. Tuduhan pencemaran nama baik." Pak Suroto menanggapi, seraya mengaduk kopi yang baru saja disajikan pelayan wanita tadi.

"Aku benar-benar gemas dan tak sabar untuk menghajar baj*ngan itu."

"Memangnya, kapan akan dilakukan tindakan visum pada Echa?" tanya rekan Pak Suroto yang bernama Wawan.

"Besok kata pihak rumah sakit. Itupun melihat kondisi Echa sudah stabil atau belum."

Ponsel Abimanyu berdering. Nomor tidak dikenal tertera di layar.

"Siapa, Pak? Kenapa gak diangkat?" tanya Pak Suroto.

"Nomor gak dikenal. Biasanya saya paling malas mengangkat nomor tanpa nama begini."

"Coba saja diangkat dulu, Pak. Siapa tahu panggilan penting."

Sejenak Abimanyu tertegun, mencerna kata-kata Wawan--rekan Pak Suroto yang berprofesi sebagai pengacara juga. Perasaannya mendadak tak nyaman. Firasatnya mengatakan seperti ada sesuatu yang tidak beres.

"Halo." Akhirnya lelaki itu mengangkat panggilan ponselnya.

"Halo, Pak. Kami dari rumah sakit Cahaya Medika."

Seketika jantung Abimanyu berdetak lebih cepat. Rumah sakit?

"Kenapa, ada apa dengan anak saya?" pekik Abimanyu panik.

"Tolong segera ke sini, Pak. Tadi ada kerusuhan antara istri anda dan seorang laki-laki yang katanya memaksa masuk ke ICU. Tapi, dilarang oleh istri anda. Akhirnya, berujung keributan. Istri anda pingsan. Dibawa ke UGD sekarang."

Abimanyu semakin panik. "Oke, oke, saya segera ke sana."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status