Share

02. A girl

Jika malam tiba, terkadang ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri. Apa itu kebahagiaan?

Sembari menatap langit-langit kamar yang sudah usang dan cuaca dingin yang menusuk tulang tembus ke dinding kamarnya, Sharon merapatkan selimutnya yang tebal.

Sudah dua jam yang lalu percakapannya dengan Ruth berakhir, tetapi pikirannya tidak mau diajak damai, tidak mau beristirahat, selalu saja saling berperang di dalam kepalanya.

"Aku ingin kau menikah,"

Permintaan Ruth berhasil membuat Sharon bungkam, meskipun Ruth tidak memaksanya menjawab, tapi dengan tatapan memohon itu membuat Sharon gelisah.

"Usiaku sudah tua, aku hidup dengan banyak anak-anak, dikelilingi mereka. Tapi, entah kenapa ingin rasanya melihatmu bahagia."

"Apakah dirimu menjamin kebahagiaan itu? Apakah solusinya dengan menikah?"

"Bodoh!"

Ini kesekian kalinya ia memaki dirinya sendiri, menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut.

"Seharusnya kau tidak menjawab apa-apa, bodoh!"

Sharon meringis ketika kakinya menendang ujung kasur, rasa sakit itu menjalar ke ujung kepala yang membuat dirinya menjadi emosi. Dengan menjawab seperti itu Ruth hanya bisa tersenyum kecut, sekali lagi meremas tangan Sharon dan menghilang di balik pintu. Meninggalkan dirinya yang masih belum menyelesaikan catatannya.

"Hah, tapi tidak ada salahnya menerima dulu, jika tidak cocok kami bisa sepakat tidak melanjutkan hubungan itu."

Demi tidak melihat wajah Ruth kecewa lagi, Sharon akan menyetujui semua permintaan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu, meskipun yang diminta adalah nyawanya akan ia berikan. Karena dia merawatku dengan jiwa dan raganya.

Malam ini, ia memutuskan untuk melanjutkan risetnya, membahas tentang keanehan bumi yang jarang diketahui oleh manusia serta beberapa penjelasan geografi dan sejarah, ia memasukan bumbu-bumbu misteri agar ceritanya menarik untuk dibaca.

Pikirannya yang masih melayang sulit ia untuk dikendalikan, ia merasa serba salah, tidur salah, begadang pun salah.

Ponselnya yang sudah tidak ia pedulikan sejak tadi siang pun bergetar, membuat Sharon sadar bahwa urusannya bukan hanya dengan laptopnya saja.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya, nama seseorang yang sudah ia benci mati-matian itu kembali tertera di dalam ponselnya. Sharon menggerutu, "mau apa Si Brengsek ini?!"

Malam ini sepertinya Tuhan benar-benar sedang mengetes kesabarannya, mengujinya dengan kembali mengirimkan titisan iblis yang sudah berhasil ia lupakan.

Tapi, kenapa tiba-tiba?

Hai, ini aku Cedric. Mau bertemu besok?

... isi pesan Cedric, mantan pacar yang mencampakkan dirinya datang kembali.

*** 

"Ben, hari ini kita akan berkunjung ke panti asuhan Ruth, dan barang-barang itu tolong dimasukkan ke bagasi mobil." Kendall, bibinya, pergi menelepon seseorang setelah menyuruh Benedict memasukkan barang-barang yang ia tidak tahu apa gunanya itu, ke dalam bagasi mobilnya.

Hari ini, ia mengambil cuti. Bibinya meminta dirinya untuk menghabiskan malam natal di rumah saja. Tubuhnya yang susah payah ia bentuk pun sudah lenyap, karena bibinya terus saja memaksanya makan, bahkan mengirimkan makanan ke apartemennya. jika makanan yang sudah tertata cantik di lemari pendingin dan meja makan itu tidak dimakan, maka siap-siap saja telinganya akan berdarah mendengar omelan sang bibi.

Kendall Wright, wanita yang hampir berusia enam puluh tahun itu segera memboyongnya masuk ke dalam mobil.

“Kita sudah telat dua puluh menit, dan ramalan cuaca sore ini akan ada badai salju.”

Benedict melangkah malas, cuaca dingin seperti ini seharusnya ia meringkuk di dalam selimutnya yang hangat. Tidak perlu pergi ke manapun, apalagi mengunjungi panti asuhan yang lokasinya cukup jauh.

Kendall yang asyik dengan teleponnya , mengabaikan Benedict yang fokus menyetir. Samar- samar ia mendengar apa yang dikatakan bibinya itu di telepon. “Ah, benarkah? Dia sudah di sana?”

Benedict tetap fokus menyetir, tetapi telinganya masih nyaring mendengar apa yang dibicarakan bibinya.

“Iya, aku berangkat bersama Ben, kau akan senang melihat anak ini tumbuh begitu cepatnya.” Kendall menatap Benedict yang dibalas oleh tatapan bertanya-tanya, ada apa namanya disebut-sebut?

Kendall mencubit pipinya, “tentu saja, mereka harus bertemu,” sambung Kendall. Kali ini, Benedict tidak dapat menghiraukannya lagi.

“Mereka tentu saja akan menerima perjodohan ini, Ruth. Aku tidak sabar melihat mereka bersanding sebentar lagi.”

Mobil yang mereka kendarai berhenti mendadak.

***

Senyum Sharon merekah saat Ruth mematikan ponselnya dengan senyuman yang lebih lebar tidak seperti biasanya.

Sedari tadi ia menemani Ruth, rencananya untuk belanja hadiah natal bersama Max terpaksa ia tunda. Ruth menatakan jika donatur panti akan membawakan hadiah-hadiah itu.

“Tahun yang lalu juga seperti ini, waktu itu kau terpaksa pergi karena ada hal yang mendesak, kau tidak ingat?” Ruth mencoba mengingatkan Sharon dengan kejadian yang susah payah Sharon lupakan. Tentu saja Ruth tidak tahu masalah apa itu. Lagipula, Ruth tidak perlu tahu, biar dirinya simpan sendiri.

“Well, kau kelihatan sangat senang selama menelepon tadi, apa aku mengenal donatur itu?” tanya Sharon sambil merebahkan tubuhnya di sofa, semalam tidurnya tidak nyenyak.

“Kau tidak mengenalnya, tapi dia mengenalmu. Aku yang mengenalkanmu,” jelas Ruth sembari memperbaiki alas kepalanya.

Sharon menatap jengah, “kau selalu mengenalkanku kepada siapa pun itu, kau berusaha menjualku, ya? Agar aku tidak kemari lagi?”

Ruth tertawa mendengar ucapan yang terdengar lucu baginya, “lihatlah dirimu yang masih seperti anak kecil itu. Terkadang aku lupa kalau kau sudah tiga puluh tahun.”

“DUA PULUH SEMBILAN TAHUN!” pekik Sharon.

Rasa kesal Sharon malah dipenuhi oleh gelak tawa Ruth yang duduk di balik meja kerjanya.

Sharon menatap Ruth yang sudah selesai dengan tawanya itu lanjut menulis sebuah catatan di atas buku kecil yang selalu tersimpan di laci terkunci. Rasa penasaran pun muncul, Sharon bangkit dari rebahannya, menjulurkan kepala seolah-olah dapat mengintip isi tulisan Ruth.

“Apa sedang kau lakukan, wahai Bundaku?”

Ruth masih fokus dengan tulisannya, mengabaikan panggilan Sharon yang sengaja menggodanya.

“Hanya menulis surat wasiat,” jelas Ruth.

Sontak saja Ruth menutup mulutnya dan menatap Sharon yang sudah menatapnya dengan marah, ia tahu Sharon sangat tidak suka dengan perkataannya barusan. Tapi, Ruth segera menyembunyikan rasa gugupnya, ia malah menjahili Sharon balik.

“Ya, tentu saja semua orang akan menulis surat wasiat di penghujung umurnya bukan?”

Sharon mengedarkan pandangannya ke jendela, menatap butiran-butiran salju yang terus jatuh dari langit, mengotori taman dan pekarangan. Sharon tidak menjawab apa-apa, helaan napasnya yang berat membuat Ruth semakin merasa tidak enak.

“Kau ingin tahu siapa yang akan berkunjung kemari? Donatur yang meneleponku itu.”

Masih membelakangi Ruth, Sharon mengangguk pelan. Sebenarnya ia tidak tertarik, tapi entah kenapa ia hanya ikut mengangguk saja saat Ruth bertanya.

“Dia Kendall, teman baikku—“

“Sejak kapan kau mempunyai teman dekat?” potong Sharon.

Ruth lagi-lagi tersenyum, ia paham jika Sharon masih kesal. “Dengarkan dulu,”

“Saat dia berkunjung kemari kami menjadi dekat, kepribadiannya yang ceria itu membuatku nyaman.” Sharon tidak berkomentar apa-apa, rencana ingin melanjutkan tidurnya saja di kamarnya.

Malam tadi pikirannya sangat berantakan, satu persatu masalah yang tidak terselesaikan kembali datang menghampiri. Membuat tidurnya terganggu belakangan ini. Ia beranjak dari duduknya, pamit dari ruangan Ruth. Tidak ingin melanjutkan percakapan yang membosankan dengan Ruth.

“ ... dan dia calon ibu mertuamu, dia kemari membawa anaknya yang akan dijodohkan denganmu, Sharon.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status