Share

Kita Saling Berbohong
Kita Saling Berbohong
Penulis: Rasazara

01. Talk

Benedict adalah seorang pria yang kaya raya, ini semua ia miliki bukan semata-mata dari orang tuanya ataupun harta warisan. Tapi, ia mendapatkan ini semua dari hasil kerja kerasnya sendiri.

Jadi, dirinya tidak berhak menerima perintah dari siapa pun, apalagi sampai menerima dirinya ditumbalkan oleh keluarga besarnya sendiri.

Meskipun sejak kecil dirinya sudah merasakan kesusahan akibat kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya, ia tetap bisa mendirikan perusahaan ini tanpa bantuan siapa pun. Begitu pun perihal pernikahan, ia bisa mengurus semuanya dengan tangannya sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun!

“Sebenarnya, tidak perlu menolak sebegitunya. Kau terima saja apa nasibmu,” ujar Cathy.

... Tapi, apa-apaan ini?

Ben—panggilan akrabnya, hanya mengusap wajahnya. Kedatangan Cathy, sepupunya, kemari hanya menambah beban di pundaknya.

“Hei, Pak Pengacara! Usiamu itu sudah matang tahu, tiga puluh dua tahun!”

Cathy menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa empuk di sudut ruangan Benedict, saat baru sampai di Chicago dirinya langsung mendapat perintah dari Mamanya untuk singgah dan mencoba membujuk sepupunya yang masih bersikeras untuk melajang itu.

“Hah, tidak semua wanita seperti mendiang Ibumu, maafkan saja—“ kalimat Cathy tertahan begitu melihat tatapan Benedict yang menatapnya tajam, ia menelan ludah, buru-buru melanjutkan tidurnya.

“Oh ya, jangan bangunkan aku untuk dua jam ke depan, setelah landing aku tidak sempat beristirahat.”

Benedict yang tidak banyak komentar kembali memfokuskan pikirannya terhadap kasus yang sedang memakan banyak waktu dan energi itu, kasus pembunuhan selebriti dan sebagai pengacara tersangka ia tidak menemukan setitik cahaya pun untuk membela kliennya.

Ditambah lagi berita mendadak ini. Bibinya yang mengasuhnya dari kecil itu kembali mendesaknya untuk menikah, terkadang ia berpikir bahwa bibinya itu seorang biro jodoh. Karena siapa pun yang ia kenal belum menikah, dengan berbangga hati ia akan mencarikan jodoh untuk oran tersebut.

“ ... dan bukan hanya dirimu saja yang ditumbalkan, Ben. Setelah ini aku juga akan bertemu dengan pria pilihan Mama.”

“Kau tidak tidur?” tanya Benedict.

Cathy bangkit dari tidurnya, menatap Benedict yang duduk di meja kerjanya dengan rambut yang berantakan, sudah berapa hari pria ini tidak pulang?

“Siapa yang bisa tidur dalam keadaan seperti ini? Kedua kakakku pun dia yang bersikeras mencarikan jodoh, jadi tidak heran nasibku sekarang, bukan?”

Benedict merasa sangat susah jika percakapan selalu melibatkan tentang pernikahan, “Aku bisa mencari pasanganku sendiri, Cath. Tolong sampaikan kepada bibi—“

“Kalau begitu, kau saja yang menyampaikan sendiri. Kau belum pernah sekalipun menolak keinginan wanita yang kau sayangi itu, bukan?”

Cathy sengaja menggoda sepupunya itu, dan benar saja, pria itu langsung menenggelamkan pikirannya begitu kalimat itu ia lontarkan.

Benedict menggeleng, itu tidak akan pernah bisa ia lakukan, apa pun permintaan bibinya selagi itu bukan minta nyawa ia akan berikan. Toh, ini hanya menerima sebuah perjodohan. Terima saja, lalu ceraikan wanita itu, gampang, bukan?

**

Teriakan anak-anak yang sedang bermain tentu saja membuat kegaduhan, apalagi jumlah anak di dalam panti asuhan ini berjumlah dua puluh lima orang.

“Aku mau mainan seperti punya Max!” jerit anak perempuan gendut yang menggunakan kostum Spiderman, matanya setengah berair.

“Tapi kamu sudah punya kostum keren ini, bukan? Kasihan, Max, jika mainannya diambil.” Salah seorang wanita di sana menengahi mereka.

Max yang berpostur lebih tinggi dari Tracy pun membalikkan matanya, di panti, anak laki-laki yang berusia sembilan tahun ini lebih dewasa pemikirannya dibandingkan usianya.

“Jangan mulai, Tracy. Setelah merebut kostum milik Josh sekarang kau ingin merebut barangku? Jangan kekanak-kanakan!”

Tracy menerjang ke arah Max saat anak laki-laki itu menyebut kostum itu tidak cocok digunakan oleh anak perempuan gendut sepertinya, Max sudah cukup sabar menghadapi Tracy yang selalu bersikap semena-mena terhadapnya.

“Jangan kabur, Max! Lawan aku jika kau kuat!”

Di panti asuhan ini, Max dan Tracy diberi julukan Si Pembuat Keributan. Meskipun Max terkenal dengan cara berpikirnya yang dewasa, tetapi jika dihadapkan dengan Tracy tingkahnya kembali sesuai usianya.

Ruth sebagai Ibu Kepala di panti asuhan itu memegang bahu wanita yang melihat pertengkaran Max dan Tracy dengan lelah.

“Kau selalu saja kemari, Sharon.”

Senyuman Sharon mengembang begitu melihat Ruth, ia memeluk wanita yang sudah tidak muda lagi itu dengan erat.

“Aku sudah tidak kemari selama dua bulan!” pekik Sharon.

Ruth tertawa, setiap Sharon kemari bukan hanya anak-anak saja yang suka, bahkan dirinya dan dua orang penjaga panti juga senang saat Sharon berkunjung.

“Dan juga aku akan menginap di sini. Dua hari lagi Natal, aku tidak punya tujuan selain kemari.”

“Tentu saja, kau bebas jika mau di sini, aku ke dapur sebentar, kamarmu ada di ujung lorong seperti biasa.”

Ruth berjalan cepat saat salah satu anak panti memanggilnya untuk bertanya tentang resep untuk makan malam ini dan persiapan kue untuk Natal. Sharon memasukkan tangannya ke saku jaketnya, malam ini cuaca sangat dingin. Ia yang baru pulang dari kantor cepat-cepat pulang agar tidak ketinggalan bus dan terjebak kemacetan.

Sharon membawa tasnya yang berisi pakaian untuk dua hari, kalau tidam salah, pakaian tebalnya ada beberapa ia tinggalkan di lemari kamarnya yang terletak di ujung lorong, dekat jendela lantai dua panti asuhan ini.

Sejenak Sharon berhenti tepat di depan pintu kamarnya, ia menatap ke halaman yang penuh dengan salju. Bulan lalu, usianya genap dua puluh sembilan tahun tapi tidak ada satu pun yang berubah dari hidupnya.

“Menyedihkan,” bisik Sharon pada dirinya.

Setelah dicampakkan oleh pria yang ia cintai tiga tahun yang lalu, Sharon merasa tidak perlu bersusah payah membuka hati kembali. Di usia segini ia memfokuskan diri kepada hobinya yang membuat kue dan menulis blog di internet.

Hidupnya tidak begitu kekurangan, tapi dengan pendapatannya yang tidak terlalu besar ia tidak bisa berliburan saat natal ini, tapi siapa juga yang akan pergi jauh di saat orang-orang berkumpul dengan keluarganya di malam natal?

Meskipun secara darah, dirinya hidup sebatang kara. Lalu, berkumpul dengan anak-anak yang nasibnya kurang lebih sama seperti dirinya.

“Sharon!”

Lamunan Sharon buyar, ia melihat seorang anak laki-laki berlari ke arahnya, Max. Memeluknya dengan erat.

“Wah, sekarang tinggimu pun sudah se-bahuku!”

“Aku rajin berolahraga, meski kadang direpotkan si anak gendut itu.”

Max yang dari kecil selalu menempel dengan Sharon, saat berumur tiga tahun masih membekas di ingatan Sharon jika Max akan menjerit-jerit menangis saat dirinya meninggalkan panti asuhan, tidak ingin dirinya pergi.

“Katakan sesuatu yang ingin kau katakan, Max.”

Max tersenyum malu, tangannya yang berada di belakang punggung pun segera ia keluarkan, ada sebuah kotak berwarna hijau di sana.

“Ini sudah aku siapkan seminggu yang lalu, meskipun tidak terlalu mewah tapi aku sungguh-sungguh membuatnya,” jelas Max dengan semangat.

Sharon mengusap puncak kepala Max, terkikik saat anak laki-laki itu merona wajahnya. Ah, manis sekali.

“Baiklah, terima kasih atas kadonya. Semoga ini bukan obat-obatan terlarang,” canda Sharon yang berhasil membuat tatapan Max membesar.

Max mundur beberapa langkah, berniat kembali kepada teman-temannya, “kalau begitu aku pergi dulu,” pamit Max yang berjalan mundur.

Sharon mengangguk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, bersiap masuk ke dalam kamar.

Gerakannya terhenti saat Max memanggilnya dari kejauhan.

“Sharon! Selamat ulang tahun!” pekik anak laki-laki itu sebelum akhirnya menghilang di ujung lorong yang minim pencahayaan.

*** 

Setelah makan malam bersama dengan anak-anak, semua penghuni panti asuhan kembali ke kamarnya masing-masing.

“Jangan membuat keributan di malam hari, paham?”

Anak-anak yang mendengar peringatan terkesan lembut itu hanya mengangguk setuju, melangkah gontai menuju ke kamar masing-masing.

Ruth yang masih setia duduk di meja makan menemani Sharon yang sibuk menulis kado untuk anak-anak yang akan ia beli besok.

“Kau tidak perlu repot-repot menulis ini semua,” ujar Ruth setelah beberapa saat. Sharon yang masih mengunyah makanan pun tidak beralih dari catatannya.

“Aku melakukan ini setahun sekali, tidak perlu khawatir.”

Helaan napas Ruth terdengar oleh Sharon, ia merasa ada sesuatu yang janggal dari gelagat Ruth saat dirinya kemari.

“Ada apa?” tanya Sharon sembari meremas lembut tangan Ruth.

“Tidak ada, aku hanya sedikit tidak enak badan akhir-akhir ini.”

Sharon menatap dalam ke mata kelam milik Ruth, merasa cemas dan takut kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi.

“Sudah periksa ke rumah sakit?”

Ruth menggeleng, terlihat jelas kelelahan di wajah tua Ruth yang masih berusaha tersenyum kepadanya.

“Boleh aku mengatakan sesuatu?”

Kalimat pertanyaan itu meluncur saat beberapa keheningan menyelimuti mereka, Ruth dengan pikirannya begitu pun dengan Sharon yang menatap khawatir wanita yang sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

“Bisa aku meminta sesuatu darimu?” pertanyaan kedua membuat Sharon spontan mengangguk.

“Apa saja, kau boleh meminta apa saja.”

Ruth menatap lantai dapur yang menampilkan garis-garis retakan, berpikir sejenak.

Sharon yang menunggu kalimat selanjutnya dari Ruth hanya bisa mengangguk, memberi isyarat untuk mengatakannya.

Remasan tangan Ruth semakin menguat, menatap wajah Sharon yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

“Aku ingin kau menikah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status