Rena menatap Luke dengan tatapan kerinduan. Itu adalah sebuah kebohongan jika ia hanya takut, takut akan kepergian Luke. Karena kenyataannya ia juga rindu, merindukan segala hal yang sosok tinggi itu miliki. Ia rindu saat sosok itu membuka matanya dan menunjukan mata kelopak bunga yang indah. Ia rindu saat sosok itu memanggil namanya dengan suara memuja dalam setiap detik panas mereka. Ia rindu saat Luke menanyakan keadaannya dengan suara lembut lalu mengecup dengan manis. Terlebih ia rindu pelukan hangat yang biasa pria itu berikan saat tidur menjemput. Ia rindu segalanya, karena ia mencintainya."Aku tidak berpikir kamu akan di sini." Sebuah suara mengintrupsinya, menariknya dari dunianya. Jane melangkah masuk. Tapi hanya dari bagaimana caranya berjalan, Rena tahu ia memiliki pesona yang membuat banyak orang tertarik. Rena segera menunduk saat rasa ketidakpantasan mulai mengisinya."Kupikir kamu tidak akan menghalangiku untuk bertemu dengannya, kan
Kini ruang Luke yang hanya berisi dua raga itu terisi dengan isak tangis. Bukan orang lain selain Rena yang menangis sendirian seperti itu. Semenjak mengandung ia menjadi lebih sensitif. Perasaannya menjadi lebih lembut sehingga ia merasa sedikit lebih rapuh. Lalu dengan keadaan yang seperti ini ia menjadi sulit untuk menerima sesuatu dengan mudah, sehingga perkataan Jane yang tajam terasa benar-benar melukainya. Karena perkataan itu tidak hanya tentang dirinya, tapi tentang bayi yang ada di kandungannya. Terlebih ini adalah kepemilikan Luke, sehingga Rena merasa takut jika bayi yang nanti ia lahirkan hanya akan menumbuhkan rasa malu."Luke ..." Rena mendekati ranjang Luke lalu memandang wajahnya dengan mata penuh luka yang terlihat menyakitkan."Luke, apa kamu mendengarnya? Apa kamu mendengar apa yang ia katakan tentang …" Rena tersedak tangisnya sendiri."… tentang bayi kita? A-aku harap kamu tidak mendengar apapun." Rena lalu menan
Rena tidak bisa menahan ledakan kesakitan dalam dadanya, ia menangis sangat kencang seakan ia tidak menangis sebelumnya. Wajahnya sudah memerah dan ia terlalu kacau. Rantai pesakitan terus membelenggunya, menghalanginya berdiri congkak untuk berusaha membuatnya setidaknya tampak tegar. Ia telah terluka setelah mengetahui calon suaminya mengalami kecelakaan. Ia juga telah menderita setelah mengetahui calon suaminya mungkin saja memasuki pintu kematian. Mungkin ia akan hancur jika calon suaminya benar-benar memasuki pintu itu, ia akan hampa dalam hidupnya yang penuh hiruk pikuk bunyi kesedihan. Ia akan tenggelam dalam lubang hitam tanpa dasar. Tempat yang begitu dalam dan kejam, gersang akan hawa kehidupan.Rena telah kehilangan banyak hal dalam hidupnya, termasuk kedua orang tuanya. Hidup tanpa orang tua adalah penjara aneh tidak kasatmata, jerujinya adalah jeruji kesepian yang selalu menyakitinya. Tapi sesaat setelah ia bertemu Luke, pria itu meletakkan dirinya
"Kemana kalian akan pergi?" Ben bertanya pada Bella sesaat setelah melihatnya keluar bersama Rena dan Riana.Mereka terlihat kerepotan dengan banyak barang yang dibawa dalam gendongan. Padahal Ben yakin kalau dia tidak salah ingat saat ia sempat melihat sebuah koper di ruangan Rena. Terlebih ini adalah pemandangan aneh untuk melihat Rena keluar. Calon suaminya baru saja tertimpa masalah, tidak mungkin kalau dia memutuskan untuk pulang detik ini juga."Apa yang terjadi? Kalian ingin pulang?" Kali ini Jeffrey yang bertanya. Ia sedikit heran karena melihat kekasihnya yang nampak sibuk membawa beberapa pakaian."Tidak, kami hanya akan ke ruangan Luke karena Rena ingin ke sana. Untuk pakaian itu, itu Rena yang meminta. Aku juga tidak tahu." Bella berbicara dengan matanya yang menatap gerak kerepotan Riana. Ia baru tahu kalau Riana sangat cekatan sampai sedikit ceroboh kalau itu mengenai adik kecilnya."Ruang pribadi Luke? Setelah sekian lam
Rena masih menutup mata, tapi ia dapat merasakan cahaya menyilaukan dan terpaan angin sejuk di wajahnya. Ia merasa damai dan berencana untuk terus terlelap. Hingga sesuatu yang terasa seperti rumput menyentuh wajahnya, Rena akhirnya terbangun.Mata bermanik cokelatnya berpendar pada keindahan yang terasa tidak asing. Padang bunga daisy, ia kembali ke sini lagi. Tempat ini, tempat dimana ia mendapatkan tanda akan kepergian Luke. Tempat yang indah, tapi juga tempat yang membuatnya takut. Ia takut Luke akan benar-benar mengucapkan selamat tinggal padanya saat ini. Namun jika hal itu terjadi, Rena akan melakukan apa yang pria itu katakan sebelumnya. Ia akan menggenggamnya.Kepala Rena menoleh dengan cepat saat mendengar bunyi gemerisik rumput di belakangnya. Kosong, tidak ada apapun di sana. Rena berdiri, bermaksud untuk mencaritahu karena apa bunyi itu muncul. Rena yakin itu bukan karena angin, suaranya terlalu kasar dan tidak mungkin dihasilkan kare
Ben mengusap wajah dengan lelah, di sebelahnya ada Jeffrey yang tampak lesu. Ini sudah dini hari, tapi tidak ada tanda-tanda Luke akan siuman. Mereka khawatir, meski Luke adalah pria yang kuat, tapi pria itu bahkan sempat hampir kehilangan detak jantungnya. Walaupun dokter mengatakan kondisi Luke telah stabil, mereka masih khawatir.Seharusnya mereka bersama dengan Bella dan Riana. Tapi dua perempuan itu pulang ke apartemen Ben di bawah penjagaan James. Mereka sempat menolak, namun kemudian menjadi penurut saat melihat kefrustasian Ben dan Jeffrey."Aku khawatir. Kenapa si berengsek itu belum juga bangun?" Jeffrey mulai menggerutu, merasa sedikit frustasi karena kesabarannya belum juga membuahkan hasil yang baik."Bersabarlah sedikit lagi. Ia baru saja melewati masa kritis." Jeffrey merasakan bahunya ditepuk-tepuk dengan ringan setelah perkataan itu menyahutnya. Itu Ben."Tapi tidakkah kamu pikir ini terlalu memakan waktu?" Jeffrey menuntut.
Sinar mentari telah menyapa bumi, menarik insan-insan yang masih bergelung dalam nyamannya pelukan mimpi. Tapi pria itu selalu siaga, mengartikan sinar mentari yang masuk melalui celah gorden adalah sebuah bel memulai pertarungan. Mata gelap segelap malamnya terbuka dengan perlahan dan setelah menemukan cahaya, ia sadar ia masih terbaring di bangsal rumah sakit. Luke menggeram sesudahnya, merasa ia begitu lemah setelah kembali tertidur di ruang rawat."Oh? Luke telah bangun." Ia mendengar suara seseorang di dekatnya, bukan suara yang asing karena ia sudah sangat mengenalnya. Itu Jeffrey, suara seseorang yang ia yakin telah menjalankan tugas dengan baik selama ia tidak sadarkan diri. Luke sungguh benci saat mengingat ia sempat hampir kehilangan nyawanya karena bajingan gila itu."Yah …, aku bangun lagi.” Luke menghela napas lalu tersenyum lucu sesudahnya.“Bagaimana perasaanmu? Lebih baik?” Seseorang itu mendekati r
"Sialan, Armstrong!" Jeffrey mengumpat sesaat setelah Luke melemparinya dengan pakaian rumah sakit yang tadi dipakainya."Urus semuanya, aku akan menemui Rena." Luke benar-benar akan mendapatkan sumpah serapah hati Jeffrey yang luar biasa kesal saat ia malah merapikan pakaian yang dikenakannya."Aku tahu kamu ingin menemuinya dan aku tahu aku adalah tangan kananmu. Tapi aku tidak menikmati uangmu sebagai seorang pembantu." Jeffrey menggeram, suaranya terdengar mengeras dan matanya menatap tajam."Ya, memang. Tapi aku ingin bertanya sesuatu ..." Luke mendekati Jeffrey dan meletakkan bibirnya sangat dekat dengan cuping telinga Jeffrey, membuat kerutan tidak suka makin memenuhi wajah tampan itu."Apa kamu pernah berpikir untuk menunda saat gairah memintamu untuk menderitkan ranjang? Saat rasa panas mulai berkumpul di satu titik dan meminta desahan dan pencapaian? Juga di saat imajinasimu mempertontonkan ingatan tentang teriakan tidak berdaya sa