“Tu-tunggu dulu, Hendry. Hentikan sebentar.” Amora mendorong Hendry yang sedang menyesap lehernya. Laki-laki itu memandangnya bingung sebelum menutup mata kesal.
“Katakan saja jika kamu tidak menginginkannya, aku akan berhenti.” Hendry menarik napas sebentar untuk meredakan nafsunya lalu membawa tangannya untuk mengelus dahi Amora yang telah basah oleh keringat. Ia menyingkirkan rambut-rambut halus yang sedikit menghalanginya untuk menatap wajah manis itu.
Amora terlihat sedikit ragu dan takut untuk mengusiknya, Hendry jadi khawatir dengan apa yang akan ia lakukan. Ia tidak ingin memaksa, karena sudah cukup dahulu ia melakukannya. Dulu saat mereka masih baru saja bertemu, saat ia masih menjadi orang yang benar-benar egois.
“Tidak, Hendry, benar-benar bukan itu.” Amora menggeleng kecil dengan senyuman lalu tangannya meraih tangan Hendry yang mengelus dahinya dengan perlahan. Ia tahu apa yang Hendry pikirkan dan ia
“Begini tidak apa-apa?” Luke berbisik pada Rena. Itu mengenai blitz kamera yang tengah memotret mereka.“Tidak apa-apa, mereka tidak sebanyak tadi.” Rena menyahut disertai senyuman.Luke juga tersenyum, bukti dari seberapa lega perasaannya sekarang. Interaksi itu sangat manis, mereka terlihat seperti pasangan yang hangat dan romantis dari bagaimana mereka tersenyum dan memandang satu sama lain dengan lembut. Blitz kembali bermunculan, media berlomba-lomba mengabadikan momen langka ini.“Luke, tempat telah disediakan dan aku jamin tidak ada satu pun dari media yang dapat menyentuh kalian.” Jeffrey berbisik dengan pandangan yang tanpa henti mengawasi pergerakan media.“Baik, kalau begitu aku akan memulai konferensi pers ini.” Luke berbisik kecil pada Jeffrey, tapi kata-katanya masih dapat Rena dengar.“Mundur lebih dulu, Rena. Berjalanlah bersama Jeff, aku akan memi
“Hati-hati, Rena.” Luke mengucapkannya saat Rena menaiki anak tangga terakhir menuju kamar mereka. Setelah sedikit berbincang dengan sekretaris Hendry tadi mereka segera kembali. Luke semakin mantap untuk kembali dan memasuki ruang kerjanya setelah ia menemukan kain bertuliskan darah di dalam mobilnya. Lagi, teror yang sama. Untung saja Luke lebih dulu memasuki mobil dan sempat menyimpan kain itu di saku celana formalnya tepat sebelum membantu Rena untuk duduk di sebelahnya.Berbicara tentang teror, Luke telah meminta Ben untuk menghubungi seseorang terpercaya pada hari-hari sebelumnya agar segera menyelidiki. Luke telah menyerahkan kain yang sebelumnya pada Ben. Ia benar-benar berhati-hati sehingga memberi itu saat Rena beristirahat di rumah sakit.Luke langsung melepaskan jasnya sesaat setelah mereka memasuki kamar dan Rena yang melihat itu segera mendekati Luke untuk menyampirkan jas itu di lengannya. Rena tampak lelah, Luke kira itu karena
Luke bisa melihat seorang pria jangkung memasuki ruangannya dengan cara yang cukup formal. Johnny Lee adalah seorang detektif swasta yang juga bekerja untuk ia dan Hendry mengingat mereka selalu memberikan uang yang benar-benar tebal untuknya. Johnny membungkuk dalam lalu mengangkat tubuh setelah Luke mengangguk. Mereka masih diam hingga pintu telah ditutup oleh pengawal yang tadi mengantar Johnny. “Bagaimana kabarmu, Phoenix?” Ia mulai menyapa. “Cukup baik jika kamu memberikan apa yang aku mau.” Benar-benar Phoenix, jawaban yang membuat Johnny menyeringai. “Seperti biasa, selalu tajam. Bagaimana jika tidak?” Johnny mengangkat satu alisnya main-main. “Maka kamu akan menemukan tubuhmu sendiri dalam kondisi terikat dan setidaknya dua tulang patah besok pagi.” Luke mengendikkan bahunya dengan acuh, sungguh berbeda dengan kalimatnya yang mengerikan. “Wow! Relax, Phoenix.” Johnny tertawa lalu mendudukan tubuhnya pada sebuah
Rena mengambil sebuah celana kain hitam dari dalam sebuah lemari, lalu meletakkannya di atas ranjang. Kaki-kakinya yang mungil kemudian melangkah ke arah lemari yang lain untuk mengambil sebuah kemeja. Tapi ia berencana untuk tidak dulu mengambil dasi karena ia tidak tahu di mana Luke akan bekerja hari ini. Luke hanya akan mengenakan dasi dan jas jika ia bekerja di kantor.“Yang hitam.” Rena tersentak saat sebuah suara mengintrupsinya. Ia berbalik perlahan untuk menemukan Luke yang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan sebuah handuk yang melingkar rendah di pinggulnya.“Hari ini adalah kemeja hitam tanpa dasi. Aku ingin kemeja hitam.” Luke kembali berbicara saat menemukan Rena yang hanya terdiam menatapnya. Tatapannya yang tajam sedikit menghujam Rena, Luke terlihat marah meski ia tahu rasa marah itu bukan untuknya.Rena segera berbalik untuk memilah sebuah kemeja hitam yang tergantung banyak di lemari. Rena tahu kurang
“Orang itu mengancam untuk melibatkan Irene. Aku tidak bisa untuk menolak.” Joseph berkata jujur, sejujur yang ia bisa untuk menjelaskan bahwa ia juga tertekan. “Tapi kamu tidak mengatakan apapun pada kami.” Luke mulai menuntut. “Apa kamu kira tetesan darah itu murni karena kecerobohanku? Aku tidak sebodoh itu. Aku adalah kaki tangan seorang King. Berhati-hati adalah bagian dari diriku dan aku tidak pernah melupakan itu. Aku memberitahumu, Phoenix.” “Kamu benar-benar kaki tangan yang luar biasa. Aku kagum pada cara cerdasmmu. Untuk sekarang, bisakah kamu sedikit bermurah hati memberitahuku siapa dalang dari semua ini?” Luke berjongkok di depan wajah Joseph, menatapnya dengan tatapan penuh perintah. “Aku tidak bisa.” Tapi Joseph malah menolak. “Kamu tidak bisa, maka aku akan meminta sebuah alasan.” Luke mulai menggertak. Ia mulai bosan dengan permainan menjijikkan ini. “Aku tidak bisa membiarkan mereka menyentuh Irene.”
“Bagaimana kabarmu?” Ben sedikit berbasa-basi. Sedikit banyak ia menyampaikan pertanyaan Bella karena kekasihnya itu sungguh mengkhawatirkan kondisi Rena yang tengah mengandung. Kekasih Ben itu sebenarnya sangat merindukan Rena. Tapi beberapa hari ini Amora tidak sering menjalankan kafe sehingga Bella yang dipercaya untuk mengambil alih.“Aku baik, orang-orang memperlakukanku dengan sangat baik.” Rena tersenyum dan dari senyuman itu Ben tahu Rena tidak berbohong.“Aku senang mendengarnya. Oh, ya! Bella menitipkan salam untukmu. Ia sangat merindukanmu.” Laki-laki itu juga ikut tersenyum, merasa lega,“Titipkan salamku juga padanya. Aku juga sangat merindukannya.”“Tentu saja, aku pasti menyampaikannya. Bella akan merasa senang. Di mana Riana?” Ben mengalihkan pembicaraan saat ia tidak menemukan satu lagi perempuan yang mengisi rumah besar ini.“Ia di da
Rena telah bersiap lebih pagi. Luke menghubunginya tadi malam tepat di malam kedua pria itu tidak bersamanya. Luke mengatakan tentang bersiap untuk fitting dan Rena menjadi terlalu bersemangat bahkan hanya karena pikiran untuk bertemu Luke.“Kuharap kamu memakan buah-buahan yang telah aku siapkan.” Riana membuyarkan lamunan Rena. Sebenarnya ia tidak sengaja melamun. Awalnya hanya tentang seberapa antusiasnya ia yang akan bertemu calon suaminya namun semakin lama berubah melamunkan saat-saat pertama mereka bertemu.Dulu, ia tahu Luke tidak menunjukkan sikap yang terbaik terhadapnya. Tidak ada rasa peduli. Tidak ada kelembutan. Luke menunjukkan kemuakkannya dan ia cukup tahu diri jika ia adalah orang yang menjijikkan. Tapi jika orang-orang banyak mengatakan jika seseorang dapat berubah, maka Rena merasa itu memang benar. Luke berubah secara perlahan. Rena tidak tahu apakah perubahan itu memang yang terbaik untuk mereka berdua atau malah
Mata Luke menjelajahi sekitar ruangan yang baru saja ia masuki. Tempat ini adalah tempat di mana ia akan melakukan fitting bersama Rena. Sebuah tempat terelit di kota ini. Mengingat tentang Rena, mau tidak mau ia juga ingat lagi dengan kejadian yang terjadi pagi ini.Luke mendengus dalam rasa ketidaknyamanan. Pipinya masih terasa perih, masih merasakan tamparan keras ibunya tercetak di sana. Itu adalah sebuah ketidakberuntungan untuknya di mana ibunya datang saat wanita bayaran itu baru saja melangkah keluar dari apartemennya. Ia telah menjelaskan mengenai alasan mengapa ia melakukan itu. Tapi ibunya berkata jika itu adalah hal yang tidak pantas dan ia dapat melakukan hal lain yang lebih baik agar tidak mengkhianati Rena. Tapi tolong jawab Luke, apakah ada ide yang lebih baik dari itu?“Tuan Armstrong, selamat datang.” Seorang wanita mendekatinya dengan wajah ceria. Ia menyadarkan Luke dari pikirannya yang berkecamuk.&ld