Share

5

Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman.

"Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya.

"Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya.

"Aku pulang, ya."

"Iya, udah sana. Hati-hati."

Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, selama ini hubungannya dengan lawan jenis hanya sekadar saling sapa tak lebih. Tapi dengan cowok itu, dia bahkan mengantarnya pulang. Anehnya Bestari tak menolak, ia hanya sedikit tak nyaman, namun masih memakluminya. Salahkah yang dilakukannya ini?

Pikirannya masih memproses semua, ia bahkan hanya tersenyun tipis ketika ditanyai ibunya. Otaknya mencari-cari alasan kenapa dan bagaiman bisa. Sesuatu dalam diri Batara mengingatkan Bestari tentang Panji, tapi bukan berarti lantas ia membuka pintu hatinya kembali. Seseorang yang ditunggunya belum pulang, dan ia belum mendapatkan jawaban.

Bestari menghempaskan tubuhnya ke ranjang, tak peduli keringatnya akan menempel di sana. Ia bisa mengganti sprai nanti. Ia bahkan baru sadar, seharian ini pikirannya tak mengingat Panji lagi, hanya penuh dengan segala keluh kesah tentang kelakuan Batara. Ini buruk, Bestari harus berhenti. Ia harus menjauh.

¤¤¤

Sekolah adalah tempat yang menjadi alasan Bestari harus bertemu dengan Batara. Apalagi mereka di kelas yang sama. Hari ini ia berangkat lebih siang, bukan tanpa sebab. Semalaman memikirkan tentang Barata, Ia sudah punya satu kesimpulan. Barata itu bahaya, dia beresiko untuk kehidupanya.

Tanpa melirik ke tempat Batara duduk, Bestari langsung bergegas ke tempatnya. Sekilas ia tahu, bahwa cowok itu tengah menatapnya. Ia bisa merasakan tatapan cowok itu yang mengintainya 

"Tumben siang?" tanya Maharani curiga.

"Pengen aja," jawab Bestari cuek.

Maharani tak percaya, dia semakin menatap intens Bestari. Memindai wajah temannya itu. Tanpa peringatan tangannya menggebrak meja dengan keras, bukan hanya Bestari tapi hampir yang ada di kelas terkejut.

Ada yang langsung mengumpat pada Maharani, ada juga yang berteriak karena kaget. Sedangkan sang pelaku malah bersikap santai.

"Apaan, sih. Ngagetin tau nggak." Bestari sebagai teman merasa malu, duh mimpi apa ia bisa berteman selama ini dengan Maharani. Punya temen kok bobrok banget.

"Kamu gak tidur kan semalem, jangan bohong!" tuding Maharani menunjuk kedua mata Bestari yang menghitam, sejak kemarin ia khawatir dengan keadaan Bestari, dan sekarang melihat sendiri Bestari yang tidak seperti biasanya kekhawatirannya semakin besar.

"Tidur kok," bantah Bestari, ia memang tidur walau hanya 4 jam. Efek memikirkan Batara, ia tidak bisa terlelap semalam.

"Ngeles terus! Aku hapal banget ya orang yang kurang tidur. Bias aku juga gitu kalau kurang tidur."

Lah apa hubungannya sama Bestari coba, ini juga kenapa pembicaraan mereka ke mana-mana sih. Biasnya Maharani yang mana juga, kebanyakan gonta-ganti bias sih dia.

"Terserah deh, bangunin kalau ada guru. Aku mau tidur sebentar." Kepalanya pusing kurang tidur, dan Bestari tidak berniat menambahnya dengan memikirkan bias Maharani. Yang bahkan jumlahnya saja sampai kini ia tidak hafal.

¤¤¤

Batara tahu gadis yang beberapa minggu ini ka perhatikan menghindarinya. Ia bingung. tentu saja. Siapa yang tidak akan bingung ketika kamu baru saja akrab dengan seseorang, tiba-tiba orang itu menghindarimu tanpa alasan yang jelas. Seingatnya, kemarin ia tidak melakukan sesuatu yang salah atau menyinggung Bestari, kenapa dia jadi begini sekarang.

Sejak tadi Batara berusaha mendekati gadis itu. Ia ingin menyapanya, tapi Bestari malah berangkat siang alhasil rencananya gagal. Tidak menyerah, jam istirahat ia kembali mencoba menyapanya, baru Batara akan mendekat, Bestari sudah berlari pergi. Bestari melihat Batara sudah seperti melihat hantu saja. Hingga waktu pulang sekolah, tidak sekalipun ia bisa bicara dengan Bestari.

Latihan futsal hari ini rasanya Batara sangat malas, memikirkan Bestari mengganggu fokusnya. Ia memilih menepi, duduk di bawah pohon samping lapangan futsal.

"Kucel banget tuh muka, kenapa?" Batara melirik Harsa dan Tirta yang datang menghampirinya. Dua orang teman barunya ini bergerak duduk mengampitnya. Tak peduli jika badannya terhimpit.

"Apaan deh kalian berdua. Jauh-jauh sana, sempit tau gak." Batara mendorong keduanya menjauh, tapi tidak berhasil. Mereka kembali duduk di tempat semula. Terserah lah, Batara lelah.

"Baru satu bulan udah galau aja, kenapa sih kenapa. Cerita sini, sama masternya." Harsa menepuk dadanya bangga, yang di hadiahi toyoran di kepalanya oleh Tirta.

"Pacaran kagak pernah sok-sokan master," cibir Tirta. Dia kembali akan menoyor Harsa, tapi sayangnya Harsa lebih dulu menghindar.

"Kalian kalau mau berantem pergi sana! Bukannya tenang malah makin pusing." Barata menengahi, membuat keduanya terdiam seketika.

"Bestari, ya?"

Batara menatap tanya ke arah Tirta, setahunya ia tidak mengatakan alasannya murung. Kenapa dia bisa tahu. Jangan-jangan Tirta cenayang. 

"Gak usah kaget gitu, gue tahu, belakangan ini lo lagi deketin dia, kan." Tirta menjeda ucapannya untuk bersandar di pohon belakangnya. "Tari tuh gak kayak cewek lainnya, dia punya benteng kokoh yang sulit ditembus. Saat dia sadar dia lengah, dia akan perkuat lagi benteng itu. Bukan sok tahu, tapi kayaknya percuma lo berjuang. Dia masih terikat dengan seseorang."

Harsa menatap kagum Tirta yang baru saja bicara, selama berteman baru kali ini ia mendengar Tirta berbicara sepanjang itu. Wah, mengagumkan. Harsa memang tahu kalau Tirta bercita-cita jadi psikolog, tapi ia tidak pernah tahu bahwa cowok itu sungguhan. Bahkan sampai tahu banyak hal tentang Bestari.

"Lo tahu sebanyak itu darimana?" tanya Harsa tak tahan memendam rasa penasarannya. Ia juga ingin jadi psikolog, biar pinter kaya Tirta.  Lumayan modal cari cewek.

"Gue pernah lihat sendiri dia nangis di taman  belakang. Gak lihat jelas sih, tapi dia nangis sambil nyebut nama cowok ."

Wajah Batara murung setelahnya. Jadi begitu. Astaga perasaan apa yang dia rasakan sebenarnya. Kenapa semakin rumit.

"Jangan nyerah." Tirta menepuk pundak Batara, berusaha menyemangati teman barunya.

"Setinggi apapun bentengnya, kalau emang lo tulus, pasti runtuh juga." Walau ada beberapa hal yang tidak dikatakan Tirta secara langsung, termasuk mengenai apa yang ia simpulkan mengenai Batara sendiri. Itu bukan urusannya, dan bisa saja ia salah menduga. Tebakan manusia bisa meleset.

"Thanks, Tirta."

Tirta mengangguk, selama tiga tahun satu kelas dengan Bestari, ia sering terkejut dengan perubahan yang terjadi pada gadis itu. Kadang kala ia melihat Bestari seperti manusia tanpa jiwa, kadang kala ia juga melihat ada kerinduan tak terucapkan. Tirta bukan menyukainya, ia hanya ingin tahu, apa yang membayangi mata Bestari sejak pertama masuk sekolah hingga kini. Siapa sosok laki-laki yang sering digumamkan namanya oleh gadis itu. Bestari sangat tertutup, bahkan tak mudah percaya. Jika dugaannya benar, Bestari menderita trust issue. Dengan Maharani yang notabennya temannya sendiri saja Bestari tertutup, apalagi dengan orang lain.

Mendekati Bestari susah, dan Tirta bukan orang yang tepat untuk mendekatinya. Tapi Batara? Tirta yakin dia bisa. Anggap saja keyakinannya pada Batara, ia ibaratkan sebagai tumpuan cita-citanya. Meski resiko yang ia tanggung besar tak apa, ia percaya keajaiban. Nanti saat intuisinya tentang Batara meleset, ia sendiri yang akan memberi cowok itu pelajaran.

"Tirta, mau pulang gak, lo? Yang lain udah bubar, atau mau nginep sini."

"Pulang lah, ogeb." Ia bangkit berdiri, meninggalkan Harsa di belakang. Tak peduli teriakan Harsa yang marah ditinggal sendiri. Kadang kala Tirta ingin sekali mengungsikan Harsa ke hutan, dia terlalu berisik dan cerewet. Sayangnya, Harsa satu-satunya teman yang bisa membuat dia betah berteman. Dan hanya Harsa yang tahan lama berteman dengannya, mungkin kini menambah satu orang. Yah jika Batara masuk kualifikasinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status