"Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja.
"Toilet."
Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.
Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."
Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,
Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B
Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa
Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti
Sejuknya angin malam tak menyurutkan dua insan manusia berbeda jenis kelamin itu untuk beranjak pergi, mereka masih asik dengan dunianya sendiri. Menimati setiap detik yang tercipta di antara mereka. Hening namun menenangkan, dingin namun terasa nyaman.Tangan sang gadis menepuk pelan lengan sang lelaki. Lelaki itu menoleh, namun bukannya bicara sang gadis malah bersandar di pundaknya. Gadisnya terlihat asik menatap langit malam yang cerah berseri penuh bintang."Kenapa, sayang?" tanya lelaki itu. Tangannya mengusap pipi gembil gadisnya, menciptakan semburat merah di sana."Tahu gak, sekarang aku baru sadar. Bahwa kamu itu bukan kesialan untukku." Ia berbalik badan, sepenuhnya menghadap kekasihnya. "Kamu itu anugerah yang Tuhan berikan buat aku," lanjutnya menyembunyikan wajahnya di dekapan sang lelaki. Malu, bahkan wajahnya terasa panas sekarang.Senyum yang membentuk bulan sabit itu terceta
Gadis itu nampak begitu khusyuk dengan novel yang tengah dibacanya, tak terganggu dengan suara bising teman-temannya yang baru datang. Ia hanya sesekali mengangguk atau tersenyum ketika ada yang menyapa.Bestari Puspita gadis biasa saja yang pendiam namun juga bisa menjadi cerewet, ia bukan Sera, si primadona yang sering kali menjadi gosip tiap kelas karena kecantikannya, bukan juga termasuk golongan siswa cupu yang terbully. Bestari itu biasa saja, tidak tenar ataupun terabaikan.Seorang perempuan berkulit kuning langsat menghampirinya, duduk tempat di kursi sebelahnya, yang memang tempat duduknya."Eh, tau gak." Ini sudah pasti, gosip akan dimulai. Pasti tidak jauh-jauh dari ketua osis kalau tidak begitu ya Sera.Bestari masih
Seorang gadis berseragam putih biru terlihat menangis di taman sendirian, kepalanya ia tenggelamkan di kedua lutut yang ia tekuk. Beberapa orang menatapnya penasaran, namun tak ada yang berniat mendekati. Tak lama terlihat seorang cowok berseragam putih abu-abu menghampirinya. Tanpa permisi dudu disamping gadis itu."Hei cantik, kenapa nangis?" tanyanya.Gadis itu sedikit terkejut, ia menoleh kepada sosok cowok itu. Wajah garang dengan luka di sudut bibir membuat gadis itu takut. Ia mundur sedikit mencoba menjauh."Jangan takut, Kakak bukan orang jahat." Yah meski wajahnya membuat banyak orang salah paham dan sering kali takut duluan kepadanya, bukan salahnya kan. Sejak lahir sudah begini. Ketika diam saja banyak yang mengira jika ia marah, padahal memang begini dia.