Share

4

Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja.

"Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya.

"Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara.

Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh menit sebelum bel masuk bunyi.

Untuk murid perempuan biasa saja, ada yang pagi ada yang siang, salah satunya Maharani, gadis itu sering sekali masuk saat jam mepet, tepat sebelum guru masuk dia baru ada di kelas. Anehnya Maharani selalu saja lolos dari hukuman, tidak tahu jurus apa yang dipakainya.

Seseorang yang duduk di sebelahnya mengganggu fokus Bestari, ia melirik sedikit lalu mendengkus kesal saat sosok tahu dia adalah Batara. Bestari menggeser duduknya, menjauh dari Batara sejauh yang ia bisa. Harusnya ia tidak memilih duduk dekat jendela, sekarang kalau sudah begini tidak bisa kemana-mana. Ia terpojok antara dinding dan Batara. Satu-satunya jalan pergi hanya melewati cowok itu.

"Kenapa, sih?"

"Apanya?" tanya Bestari tak paham. Ia mengerutkan alis bingung

"Yah kamu kenapa geser-geser? Heran deh, perasaan aku udah mandi, masa masih bau." Batara mengendus aromanya sendiri, ia rasa tidak ada yang aneh, ia wangi kok, lalu kenapa gadis ini menjauhinya.

"Tidak." Ingin Bestari menyerukan kata itu, cowok di sampingnya ini bahkan memiliki bau badan atau entah parfum, atau apapun itu yang menyegarkan. Meski dari jauh, Bestari bahkan masih bisa menciumnya. Perpaduan citrus dan lavender yang terasa segar dan lembut ketika masuk ke indra penciumannya, aromanya tidak menyengat seperti yang lain. Dan mau tak mau Bestari akui, Batara memiliki bau badan yang menenangkan.

"Heh, kok ngelamun."

Tepukan di lengannya membuat Bestari sadar dari pemikirannya soal parfum Batara, ia mendelik sebal tak suka dengan kontak fisik yang cowok itu lakukan. Selama ini jarang temannya yang melakukan kontak fisik secara langsung, apalagi setelah gosip murahan itu tersebar. Tapi sekarang Batara dengan mudah menyentuhnya seenak hati, bahkan sebelum ia mengizinkan.

"Jangan pegang-pegang."

"Lah, kenapa coba? Perasaan salah mulu. Tari denger, ya." Batara merubah arah duduknya menyamping menghadap Bestari yang mojok di dinding, seperti orang kejepit. "Aku selalu mandi, selalu cuci kaki sama tangan, aku juga gosok gigi. Aku bersih dan wangi, jadi kamu gak usah takut. Aku gak bawa kuman. Oke?"

Bestari masih diam, mencerna maksud kalimat Batara, memang ia ada menyinggung soal kebersihan ya. Ia kan cuma melarang cowok itu memegangnya.

"Tuhkan. Suka banget sih ngelamun. Hello." Batara menjentikkan jarinya di depan wajah Bestari, mengembalikan fokus gadis itu.

"Dengar ya Batara, kita belum seakrab itu, dan aku gak pernah bilang kamu bawa kuman. Paham?"

"Tapi––"

"Dan satu lagi. Jangan sok kenal." Bestari memotong Batara yang berniat bicara. Jengah juga dengan sikap Batara yang terus mengganggunya.

Mendapat penolakan Batara bukanya marah, ia malah tersenyum semakin lebar hingga matanya benar-benar hilang tak bersisa. Persis seperti Jeno, salah satu biasnya Maharani.

"Kalau begitu mulai sekarang kita harus saling kenal, biar makin akrab. Oke?" Batara beranjak berdiri, balik ke tempat asalnya. Beberapa anak sudah berdatangan, jangan dulu ada gosip. Nanti saat hubungannya dengan Bestari jelas, barulah Batara biarkan gosip itu menyebar. Kalau perlu seantero sekolah. Ia terkekeh ringan membayangkannya.

Bestari yang melihat Batara tertawa dan tersenyum sendiri bergidik ngeri, ia rasa cowok itu memang tidak waras.

¤¤¤

Tugas kelompok yang anggotanya diacak adalah salah satu hal yang Bestari benci, ia tidak suka ketika harus berbeda kelompok dengan Maharani apalagi itu cowok. Bukan tanpa sebab, ia hanya tidak suka ketika pembahasan mereka sudah jauh dari yang seharusnya dibahas. Apalagi membahas ranah pribadi yang bukan urusannya.

Nasib sialnya datang hari ini, ia tidak satu kelompok dengan Maharani. Yang lebih sial lagi, ia harus satu kelompok dengan Batara. Tugasnya sih tidak susah, hanya saja partnernya yang menyusahkan.

Ogah-ogahan Bestari melangkah ke meja Batara, bibirnya mengerucut sebal. Tangannya bersedekap, menatap angkuh ke arah Batara. Yang ditatap masih saja tersenyum.

"Ayo ke perpus, cepetan, jangan lelet." Setelah itu Bestari pergi, tak peduli Batara mengikutinya atau tidak. Toh nanti bisa ia kerjakan sendiri, itu lebih baik.

Beberapa temannya sudah menempati posisi strategis di perpustakaan, ia kurang cepat. Akhirnya Bestari memilih berkeliling lebih dulu, mencari buku yang ia butuhkan, setelahnya ia duduk di pojok yang tidak terlalu banyak orang, malas jika harus beramai-ramai yang nantinya berisik dan membuat tidak fokus mengerjakan. Tangannya dengan cekatan membuka buku yang baru diambilnya. Ada beberapa bab yang sudah ia pikirkan sebagai materinya.

"Aku cariin tahunya di sini. Kenapa mojok banget sih."

Ya Tuhan, Bestari lupa. Ia tidak sendiri. Ia kesini bersama Batara tadi.

"Suruh siapa lama," ucap Bestari ketus.

"Iya maaf, tadi ada fans aku minta kenalan."

Dih sok eksis, baru juga gitu sombong. Tirta yang ganteng gitu biasa aja. Pasti Batara termasuk golongan playboy disekolahnya dulu, kelihatan kan kelakuan aslinya sekarang.

"Sok kegantengan banget sih jadi cowok. Udah nih kerjain, awas aja kalau salah." Bestari mendorong buku paket ke hadapan Batara. Ia menunjuk bab yang dipilihnya tadi.

"Emang ganteng." Batara menyugar rambutnya ke belakang, persis seperti yang biasa dilakukan bias Maharani.

"Terserah!" Bestari tidak peduli, mau dia bersikap seperti apapun itu bukan urusannya.

"Eh, bentar-bentar." Satu tangan Batara menahan tangan Bestari yang akan menulis.

"Apa lagi sih!" Kesabaran Bestari menguap, sedari ia tiba di sekolah sampai mengerjakan tugas, masih saja Batara merecokinya. Maunya apa sih, cowok ini.

"Hehe, santai dong, gitu aja marah." Siapapun orangnya, kalau berhadapan dengan Batara pasti akan seperti Bestari. Harusnya ia menolak tadi waktu dijadikan satu kelompok dengan Batara.

"Ya terus kenapa!"

"Ck!" Batara berdecak sebal." Jangan bab ini, penjelasannya rumit. Pakai bab yang ini aja, lebih singkat dan presentasi nanti lebih mudah." Ia menarik buku paket Bestari, menunjuk bab yang menurutnya lebih mudah.

"Oke." Bestari menarik kembali bukunya. Lebih baik mengiyakan daripada membantah yang nantinya mengakibatkan semakin lama mereka mengerjakan. Lihat saja kalau sampai nilainya jelek, Batara yang akan Bestari salahkan.

¤¤¤

Sekolah sudah sepi saat Bestari meninggalkan kelas, hanya ada beberapa anak yang mungkin ada ekstrakurikuler atau nebeng Wi-Fi.

"Duluan, Tar." Salah seorang temannya melambaikan tangan berpamitan.

"Iya," balas Bestari melambaikan tangannya.

Hari ini ia harus piket sebelum pulang, tadi Maharani sudah menawarkan bantuan  sekaligus akan mengantarnya pulang, tapi karena rumah mereka yang berbeda arah membuat Bestari menolaknya. Kasihan kalau Maharani harus bolak-balik.

Cuaca hari ini terlihat panas, tangan Bestari tak henti mengipasi wajahnya, meskipun tak berefek banyak. Buru-buru ia berlari menuju halte, napasnya sedikit terengah karena berlari di cuaca yang sedang terik-teriknya. Hah coba saja ia boleh naik kendaraan, gak perlu mobil deh motor juga bisa. Tapi sayang, ayahnya tak mengizinkan. Bahaya katanya, belum cukup umur. Memangnya kalau naik kendaraan umum tidak bahaya, kan bisa saja ia diculik, huh ada-ada saja ayahnya.

"Duh, angkot mana sih. Taksi juga gak ada yang lewat," gerutunya kesal karena tak ada taksi atau angkot yang lewat. Ia kan hanya terlewat beberapa menit dari waktu pulang, masa iya semua angkot sudah pergi.

Masa ia harus jalan kaki, panas-panas begini. Bestari sih tidak masalah sebenarnya, kalau saja cuaca tidak panas. Apalagi jarak rumahnya itu lumayan jauh, yang ada tepar ia sampai di rumah. Mana ponselnya mati, ia kan jadi tidak bisa pesan ojol atau taksi kalau begini.

Menghela napas lelah Bestari bangkit, daripada menunggu lama lebih baik jalan kaki. Nanti melimpir ke indomaret saat capek, ngadem depan lemari pendingin, lumayanlah daripada ia tepar tengah jalan.

Sebuah mobil tiba-tiba menghadang jalannya, Bestari menatap heran siapa orang ini. Jangan-jangan penculik, tidak mungkin penculik memakai mobil bagus kan? Tapi jaman sekarang penculik kan lebih pintar. Segala rasa penasaran Bestari terjawab saat kaca samping kemudi terbuka. Sosok menyebalkan yang mengganggunya hari ini terlihat. Dengan senyum bulan sabitnya yang tidak pernah hilang, heran apa ototnya tidak capek tersenyum terus.

"Dia lagi, dia lagi," gumam Bestari dalam hati.

Pura-pura cuek Bestari berbalik pergi. Anggap saja orang asing, toh mereka memang orang asing kan.

"Hoy!" teriakan Batara menghentikan langkah Bestari. Meski kesal namun akhirnya Bestari berbalik juga, menatap kesal Batara yang menjulurkan kepalanya keluar.

"Apa!"

"Mau nebeng gak? Cuaca panas banget loh ini." Tawaran itu terdengar menggiurkan, tapi siapa yang menawarinya membuat Bestari ragu.

"Ayo, buruan. Aku tinggal nih."

Oke Bestari terpaksa, ia hanya malas panas-panasan, tidak ada pilihan lain. Pelan tapi pasti ia melangkah menghampiri mobil itu, membuka kursi samping pengemudi. Mau duduk dibelakang kasihan Batara, nanti jadi supir. Bestari sih seneng-seneng aja, sayangnya ia tahu diri kalau numpang.

Mobil Batara bersih, wangi lagi. Sepertinya dia termasuk anak yang menjaga kebersihan. Samar-samar parfum Batara juga menguar, mungkin karena mobilnya sering dipakai makanya aromanya melebur. Lalu bagaimana dengan kamarnya, pasti aromanya semakin pekat.

Astaga apa yang ia pikirkan, Bestari menggeleng pelan. Berusaha mengenyahkan gambaran kamar Batara.

"Kenapa?"

"Hm?"

"Kamu kenapa geleng-geleng, pusing?"

"Kepo deh, udah jalan aja. Jangan cerewet."

"Judes banget." Bestari tak peduli, ia lebih tertarik menatap pemandangan yang dilewatinya, meski sudah terlampau sering ia melihat. Itu lebih baik daripada menatap wajah Batara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status