Share

Haruskah menyesal?

Seluruh anak buahnya sudah bersiap dengan dua pisau ditiap lengannya. Mereka sudah bersiap memasang kuda-kuda dan menyudutkan Bian hingga ke tepi jurang. Alva yang melihat hal itu mulai berkeringat dingin. Satu ucapan saja yang keluar dari mulutnya saat ini akan menentukan nasibnya di Lingkar Hijau.

“Tu-tunggu! Bukankah sudah kubilang dia urusanku?” tanya Alva.

“Setelah mempertimbangkan beberapa hal, sebaiknya kami saja yang menyelesaikannya. Cepat, habisi dia!” seluruh anak buahnya segera bergerak menyerang Bian. Alva mulai putus asa ketika sang profesor menahan lengannya agar dia tidak ikut campur.

“Jangan berpikir untuk ikut campur pertempuran ini! Diam di sini!” gertaknya.

Meskipun Bian masih sanggup untuk menghindar serangan fisik lawan, namun beberapa kali dia tidak sempat menghindari serangan senjata musuh. Pisau kecil yang dilempar dalam jumlah yang banyak ke arahnya, beberapa bisa ditangkis oleh kipas maroon miliknya. Beberapa lewat begitu saja namun, sayangnya ada juga yang berhasil menancap di kaki gadis tersebut. Bian semakin terpojok di tepi jurang.

“Jangan menyudutkannya! Kita harus mendapatkan tubuhnya,” perintah sang profesor. Mendengar hal tersebut, spontan seluruh anak buahnya mundur beberapa langkah dari tempat mereka berdiri. Untuk sesaat Bian bisa bernafas dengan normal. Tak lama mereka kembali menyerangnya, dan diluar dugaan. Bian terpojok oleh sebuah pisau yang dilemparkan oleh salah satu penyerang. Gadis itu bermaksud menghindarinya dengan mundur beberapa langkah. Tak disangka, dia memijak sebuah pohon yang sudah lapuk. Sontak semuanya terkejut saat melihat tubuh gadis itu terjun ke dalam jurang.

Alva tak dapat lagi menahan emosinya. Dia berlari ke tepian jurang. Mencoba melihat ke mana perginya temannya itu. Namun itu sia-sia. Tepian jurang yang dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan liar dan beberapa cabang pohon yang menghalangi penglihatan hanya memberikan rasa putus asa baginya. Suara benda yang saling bertabrakan terus terdengar menjauh hingga akhirnya berhenti setelah terdengar suara benturan yang cukup kuat. Gema dari dalam jurang terdengar jelas.

Brakk!

Setelah mendengar suara itu, tubuh Alva seketika gemetar. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia hanya duduk bersimpuh menghadap dan melihat dasar jurang. Ia mencoba menyembunyikan air mata dan teriakan pilunya dari orang yang sedang berada di sekitarnya.

“Maaf Prof, saya tidak bermaksud melakukan itu,” seorang laki-laki menyesali perbuatannya.

“Sudahlah, tidak ada gunanya lagi. Apa menurutmu kita bisa ke bawah?”

“Sepertinya tidak. Karena seperti yang dijelaskan oleh penduduk desa sebelumnya. Dasar jurang ini dipenuhi binatang buas. Seperti buaya dan yang lainnya. Takutnya jika kita ke sana kita hanya akan mengambil resiko,” jawab pria yang lain.

“Bagaimana menurut yang lain? Apa kalian mau ke bawah untuk memastikan jika gadis itu sudah mati? “

“Maaf Prof, sepertinya apa yang dikatakan Dika benar. Lebih baik kita menghindari resiko, terlebih kita baru saja menyelesaikan pertarungan yang cukup menguras tenaga. Kami kelelahan, kami tidak sanggup lagi jika harus bertarung melawan hewan buas.”

“Baiklah, kuterima usulanmu. Lalu bagaimana dengan tubuhnya? Bukankah kita harus menguburkannya sebagai tanda kehormatan?” tanya profesor lagi.

“Maaf profesor, bukannya saya tidak menghargai dia. Tetapi, jika di sana memang benar ada buaya bukankah tubuhnya akan dimakan oleh hewan tersebut? Setidaknya itu sebuah kehormatan baginya untuk tetap berguna bagi makhluk lain,” usul yang lain.

“Benar usulannya profesor. Bagaimana jika kita menggelar penghormatan dari sini saja?”

“Baik, kuterima masukan kalian. Tetapi, bagaimana jika di bawah sana tidak terdapat hewan-hewan tersebut? Bagaimana jika tubuhnya hanya membusuk begitu saja? Bukankah itu sebuah penghinaan?”

“T-tapi profesor. Begitulah yang diceritakan oleh penduduk desa.”

“Baik. Bagaimana pendapatmu Alva?” Alva sontak terkejut saat mendengar namanya dipanggil. Dia tidak ikut andil dalam diskusi singkat tersebut sebab pikirannya sedang kalut atas peristiwa yang terjadi dalam hitungan detik tadi. Dia menoleh kepada profesor. Dia menatapnya dengan tatapan penuh putus asa.

“Apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita memeriksa ke bawah atau cukup menggelar penghormatan dari atas sini?” sang profesor mengulang lagi pertanyaannya.

“Kurasa...cukup menggelar penghormatan saja. Semuanya sudah kelelahan bukan? Aku ikut usul Rian,” ucapnya dengan suara bergetar.

“Baiklah. Sepertinya itulah kesepakatan kita. Kalian persiapkan segala yang dibutuhkan. Kami akan menunggu di sini,” perintah profesor.

“Kami? Siapa satu lagi profesor?” tanya yang lain.

“Aku dan Alva. Ada sedikit yang harus kukatakan kepadanya. Kalian cepatlah kembali. Semakin cepat kalian mempersiapkannya, semakin cepat kita beristirahat,” jawab profesor. Ketujuh anak buahnya meninggalkan tempat tersebut untuk mencari apa yang dipinta.

“Aku benar-benar kecewa padamu Alva. Sangat kecewa. Aku memberimu kebebasan agar kau bisa mencari syarat dan kau bisa keluar seperti yang kau inginkan. Tetapi jika melihat apa yang terjadi, seharusnya aku tidak memberimu kebebasan itu. Aku benar-benar menyesal,”

“Maaf profesor, aku tidak bermaksud mengecewakanmu.”

“Mulai saat ini kebebasanmu dicabut. Kau harus kembali keasuhanku, aku harus melatih kesetiaanmu kembali. Dan juga…aku punya satu pertanyaan untukmu. Apa kau jatuh hati pada anak itu?” pertanyaan itu sontak membuat jantung Alva berdetak lebih kencang. Ia takut untuk menjawabnya, sehingga ia hanya lebih memilih untuk bungkam.

“Itulah alasan Lingkar Hijau selalu menghabisi musuh dalam waktu singkat. Untuk menghindari perasaan pribadi, untuk menghindari rasa iba. Kita tidak membutuhkan perasaan itu ketika menjalankan misi. Sekarang hadapilah rasa sakit itu!” Alva kembali tak menjawab. Dia hanya terduduk dan menunduk memandangi tepian jurang. Kipas pemberian Bian masih digenggamnya dengan erat. Bahkan darah yang menempel mulai mengering.

“Profesor, segalanya sudah siap,” salah satu anak buahnya menghampiri mereka. Seketika dia menjadi salah tingkah saat menyadari aura di tempat itu menjadi sangat berat.

“Baik, kita mulai saja sekarang. Alva, berdirilah! Ikuti acara ini,” Alva segera berdiri ketika diperintahkan. Acara penghormatan sederhana pun digelar. Acara tersebut bukanlah acara yang berisi hal sakral atau sejenisnya, melainkan hanya berisi do’a dan menabur bunga di tempat yang diduga sebagai tempat kematiannya. Acara yang digelar sebagai bentuk menghargai orang yang mati di tempat tersebut. Meskipun biasanya acara seperti ini digelar di bekas-bekas medan perang dengan tubuh korban yang sudah membusuk di tempat.

Tak membutuhkan waktu yang lama, acara itu pun selesai. Sang profesor pun pergi, begitu pun dengan anak buahnya. Tinggallah Alva seorang diri di tempat itu.

“Aku memberimu waktu untuk merenung di tempat ini. kembalilah sebelum matahari condong ke barat,” begitulah pesan profesor sebelum meninggalkan tempat itu.

Di dalam keheningan hutan Alva berdiam diri. Dia kembali mengingat-ngingat pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Rasa penyesalannya terus keluar dan terus menyesakkan dadanya.

“Seharusnya saat itu aku tidak menyapamu. Seharusnya saat itu aku tidak menahanmu untuk pergi’kan? Kenapa kita harus bertemu jika hanya akan berakhir seperti ini? Maaf Bian, aku benar-benar menyesal. Karena aku, kau menjadi seperti ini. Ini semua salahku, aku tidak seharusnya membawamu ke sini. Maaf...,” rasa sedih yang sudah ia tahan sudah tak terbendung lagi. Air matanya mengalir dengan deras. Suara nafasnya terdengar berat. Kipas dongker yang berbalut merah darah dipeluknya dengan erat. Ingin rasanya dia memutar waktu dan membuat dirinya tidak akan bertemu Bian. Namun dilain sisi, dia sangat takut untuk kehilangan kenangan akan gadis itu.

“Bian. Entah kenapa, aku sangat berharap kau selamat dari kejadian ini. Aku sangat mengenalmu’kan? Aku tahu kau tak akan membiarkan dirimu terjatuh begitu saja. Kumohon Bian, saat ini aku sangat berharap besar padamu,” lirihnya.

“Apa yang kuharapkan? Aku hanya mencoba menghibur diriku ya. Ha...ha…aku tidak menyangka akan sesakit ini. Tetapi Bian, jika seandainya kau bisa bertahan maka hiduplah dengan baik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status