Share

Pria dan kursi roda

“Wah..kau bisa berkomentar padaku. Tenang saja! Jika aku adalah dokter yang bekerja untuk negara saja aku bisa dikatakan melanggar aturan. Tetapi aku bekerja bukan hanya untuk negara saja, aku  juga bekerja dibawah naungan dua organisasi besar. Karena itu sistem kami sedikit berbeda.  Kami tidak hanya bekerja di rumah kesehatan saja, tetapi kami dikirim untuk menangani penyakit-penyakit yang membutuhkan penelitian secara langsung,” jelasnya panjang lebar.

“Lingkar Hijau?” pikir  Bian.                                                                            

“Intinya, pertarungan seperti tadi sebenarnya masih diperbolehkan. Karena aku tiba-tiba diserang, dan aku harus melindungi diriku. Yang tidak diperbolehkan melukai sampai parah atau membunuh… dan juga memulai pertarungan. Sebenarnya juga para tenaga medis pada umumnya masih diperbolehkan membawa senjata dengan maksimal sebesar pedang pendekmu itu, dan hanya boleh digunakan dalam keadaan darurat saja. Kami juga belajar cara bertahan hidup dalam peperangan tahu, kami bukan makhluk lemah yang bertugas merawat orang yang terluka saja,” Alva terdiam untuk beberapa saat dan melihat ke arah pepohonan yang remang-remang cahaya matahari.

“Aku sebenarnya sedang mendapat misi.. aku membutuhkan dua pasien lagi sebagai syarat menyelesaikan misi ini. Daaaan…  jika aku sudah menemukannya aku bisa keluar dari ling-keanggotaan dan bisa kembali ke tanah airku dan juga bisa menikmati masa mudaku di sana.. aku sudah tidak sabar,” Alva merenggangkan kedua tangannya.

“Sebenarnya aku sedang dalam misi pemberantasan penyakit yang diakibatkan oleh makanan. Maksudku.. kau pernah mendengar penyebaran penyakit yang sempat merebak dua puluh tahun yang lalu? Sampai sekarang penyakit itu belum juga tuntas karena kami belum bisa menemukan pelakunya karena itu mereka terus menyebarkan penyakit ini tanpa belas kasihan.”

“Apa yang akan kau lakukan sesudah misimu selesai?” Bian melanjutkan pertanyaannya. Mendapat pertanyaan itu, Alva menjadi tersenyum lebar.

“Aku sudah mengatakannya padamu. Aku akan kembali ke tanah kelahiranku dan membangun klinikku sendiri. Aku juga akan melanjutkan pembelajaranku, aku ingin menjadi seperti profesor yang ahli dalam bidang bedah penyakit dalam. Aku benar-benar tak sabar menungg-,” seketika Alva terdiam dan baru mengerti maksud pertanyaan Bian.

“Maksudmu keinginanku yang lain? Aku ingin segera berjumpa ibu dan saudara angkatku di sana. Sudah sepuluh tahun aku tidak berjumpa mereka. Bagaimana denganmu?” Alva kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Ya, seperti biasanya Bian tidak menanggapi sedikit pun. Alva yang merasa tidak adil merasa menyesal sudah menjawab pertanyaan dari gadis itu.

“Kau ini benar-benar menyebalkan, seperti perem-“ ucapannya kembali terputus saat melihat sebuah kursi roda yang rupanya sedang diduduki oleh seorang pria. Alva mendadak mempercepat langkahnya dan menyapa laki-laki itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menyapa dan berlaku ramah pada orang lain terlebih dahulu.

“Hei, siapa namamu dan apa yang kau lakukan di sini seorang diri?” tanya Alva.

“Hai, aku Hari. Itu… aku sedang menunggu ibu dan saudaraku,” jawab Hari.

“Rumahmu di mana? Apa boleh aku antar?” Alva mulai memegang gagang kursi roda tersebut.

“Eh…ti-tidak perlu. Aku sedang menunggu mereka.”

“Tidak perlu takut, kita tunggu di rumahmu saja. Bahaya jika kau ada di sini sendirian. Ini jalanan umum, bagaimana kalau ada orang yang menyakitimu?” Alva mulai menggerakkan kursi roda sedangkan Hari berusaha menahan pergerakan itu dengan menahan roda yang mulai bergerak.

“Ka-kalian siapa? Apa jangan-jangan kalian yang mau macam-macam denganku?” pria itu mulai panik dengan perlakuan Alva yang mendorong kursi rodanya secara paksa.

“Aku Alva, dia Bian. Kau lihat ini? Aku seorang dokter. Jangan khawatir, kami tidak akan macam-macam padamu. Justru aku khawatir melihatmu sendirian di sini. Bahaya!”

“Aku sudah biasa di sini. Justru kau yang terlihat berbahaya, menjauh dariku! Lepaskan kursi rodaku!” Hari mulai heboh dengan sikap Alva yang semena-mena mendorongnya.

“Ayolah, tunjukkan saja di mana rumahmu, aku ak-,”

“Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan pada kakakku?” celetuk seorang pria yang berada di belakang mereka.  Mereka bertiga spontan menoleh.

“Haru, bantu kakak. Dia penculik,” ucap Hari kepada saudara yang memiliki wajah yang sama dengannya.

“Lepaskan anakku!” seorang wanita paruh baya  yang berdiri di samping Haru segera merebut posisi Alva secara paksa. Sedangkan Haru segera memasang badan untuk melindungi kakak dan ibunya dari Alva dan Bian.

“Jika kalian ada masalah hadapi saja aku!” adang Haru dengan yakinnya. Alva seketika tersenyum dan meletakkan tangan kanannya di dada kiri seolah memberi hormat kepada mereka bertiga.

“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Saya Alva dan saya seorang dokter, laki-laki ini temanku namanya Bian. Kami hanya kebetulan lewat dan menjumpai Hari. Jadi, kami bermaksud untuk mengantarnya ke rumah. Kami bukan orang jahat. Lihatlah pita pengenalku ini!” Alva menunjukkan lengannya yang berbalut pita berlambangkan ular dan tongkat yang menjadi ciri khas kedokteran. Ekspresi Haru yang awalnya curiga perlahan berubah setelah bertatapan dengan ibunya. Mereka saling mengangguk dan mengambil nafas lega.

“Maaf, kami salah paham. Habisnya kau tiba-tiba membawa kakakku dan… kakak heboh sekali bikin aku jantungan saja,” keluh Haru.

“Tidak apa-apa, sapertinya tadi sikapku juga berlebihan. Aku juga minta maaf.”

“Kalian pengelana?” tanya Ibu Hari. Alva tersenyum dan menganggukkan kepalanya  sehingga kedua matanya tidak terlihat.

“Bagaimana kalau kalian menginap di rumah kami malam ini? kalian tentunya ingin beristirahat’kan?” tawar wanita itu.

“Be-benar tidak apa-apa?”

“Ya, sudah banyak pengembala yang singgah ke rumah kami untuk beristirahat. Tidak apa-apa.”

“Baiklah, kalau begitu kami terima. Terima kasih banyak.”

Alva dan Bian pun akhirnya mengikuti ibu dan anak tersebut ke rumah mereka. Di dalam perjalanan mereka dihadiahi pemandangan yang menyejukkan mata. Perbukitan yang masih terlihat membentang luas dengan langit sore yang masih cerah. Sawah-sawah yang menguning padinya membuat mata geram untuk segera memanennya. Segerombolan itik yang sedang berenang di parit kecil tepian sawah tampak sedang menikmati sore mereka sambil bermain-main dengan air dan saudara mereka, hal itu membuat kita mengingat tentang kenangan sanak saudara yang dulu pernah bermain bersama kita.

“Maaf ni, kalau boleh bertanya apa kalian kembar?” tanya Alva kepada Hari dan Haru saat mereka masih berada dalam perjalanan menuju ke rumah.

“Iya,” jawab Haru.

“Eh benarkah? Jadi siapa kakaknya?” tanyanya lagi. Haru menunjuk ke arah Hari yang sedang didorong oleh ibunya. Alva yang melihat itu pun manggut-manggut saja.

“Rasanya senang sekali saat mendapatkan anak kembar ha..ha..ha..,” gelak ibunya.

“Emm, maaf ni jika boleh tanya paman di mana Bi?” tanya Alva. Wanita seketika merubah raut wajahnya. Tekanan di tempat itu mendadak berat. Alva yang menyadari jika pertanyaannya hanya melukai orang lain mulai salah tingkah. Tetapi diluar dugaan, wanita paruh baya tersebut mulai tersenyum dan mengangkat bibirnya untuk berbicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status