Share

Klorofil
Klorofil
Penulis: MyZhafran

Kejadian yang ditentukan

Alva berulang kali memutar bola matanya untuk mencari sosok gadis yang ingin ditemuinya. Dengan nafas terengah-engah dia memaksakan diri untuk segera bangkit dari rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Beberapa saat yang lalu, sesaat sebelum dia tumbang tak sadarkan diri seorang gadis memukulinya dengan keras. Dan dia tahu, saat ini gadis itu berada dalam bahaya. 

“Biaaan!” teriaknya. Sudah tidak ada seorang pun yang berada di tempat itu. Ia ditinggal sendirian dikarenakan yang lain tahu, jika dia hanya akan menjadi pengganggu dari rencana mereka. Laki-laki itu segera memaksakan dirinya untuk mengikuti jejak yang tertinggal di tempat tersebut. Bekas sayatan pedang, serta kipas milik Bian yang mematahkan ranting pohon maupun jejak kaki yang tertinggal.

Dia berlari dan terus berlari. Jejak yang tertinggal benar-benar berbekas sehingga Alva tahu dia harus ke mana. Hingga tak lama kemudian, suara besi yang beradu terdengar sayup-sayup. Sebuah pertarungan sengit terjadi tak jauh dari tempat Alva berdiri. Seorang gadis melawan sekelompok orang yang memiliki pita disetiap lengan kanannya. Gadis itu sudah mulai babak belur. Lengannya sudah terluka, bahkan beberapa bagian pakaiannya sudah robek dan terlepas dari tempatnya. Tampaknya mereka belum menyadari kehadiran Alva.

Brakk!

Sebuah ranting pohon terjatuh saat kipas Bian berhasil dihindari oleh salah satu orang yang ikut mengeroyoknya.

“Cepatlah menyerah! Kami akan membuat kematianmu lebih mudah dan tidak menyakitkan,” ucap seorang pria yang paling tua di antara mereka.

Tak lama kemudian, kipas yang Bian lemparkan tadi kembali ke tangannya. Dia memandangi pria itu dengan dingin. Bian mengangkat lengan kirinya yang menggenggam kipas tadi, lalu melemparnya ke arah pria tersebut. Dengan sigap, pria itu mengayunkan pedangnya sehingga kedua besi itu beradu dengan kuat. Sedikit percikan api keluar di antara kipas dan pedang tersebut. Dengan sekuat tenaga, pria itu mendorong pedangnya sehingga membuat kipas itu berbelok.

Namun, bukanlah hal yang sulit bagi Bian untuk mengendalikan gerak Kipas yang sangat cepat dan berbahaya miliknya. Kipas itu kembali kepadanya tanpa menyebabkan luka sedikit pun di tangan. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kipas yang terbuat dari besi, sangat tajam di bagian atasnya dan sangat berat. Ditambah lagi dengan kecepatannya yang bukan main-main saat bergerak yang bisa menyebabkan tubuh seorang terbelah menjadi dua. Tetapi di tangan gadis itu, kipas maut itu terlihat seperti kipas biasa yang bisa dia lemparkan sesuka hatinya. Hal itu juga menjadi pertanyaan bagi sekelompok orang yang sedang mengejarnya.

“Profesor, tunggu!” teriak Alva kepada pria tersebut. Sontak semua perhatian teralihkan kepadanya.

“Jangan mengganggu!”

Bian yang melihat kehadiran Alva di tempat itu menatapnya. Kedua mata mereka bertemu, tanpa berkata apa-apa mereka saling bisa merasakan perasaan masing-masing. Tiba-tiba Bian segera berlari meninggalkan tempat itu.

“Tunggu! Biarkan aku yang mengejarnya,” pinta Alva.

“Kau pikir aku akan membiarkanmu mengejarnya sendirian? Setelah apa yang terjadi selama ini?” jawab pria itu. Semua anggota yang hendak mengejar Bian berdiam diri di tempat, dikarenakan tidak menerima perintah dari sang profesor.

“Percaya padaku Prof, aku akan menyelesaikan janjiku. Aku yang pertama menemukannya, maka aku yang akan mengakhirnya.”

“Terkadang aku berpikir, sebenarnya kau berada dipihak siapa Alva? Awal berjumpa aku sudah mengingatkanmu agar segera mengakhirinya. Sekarang sudah berbulan-bulan sejak pertemuan itu, kau masih belum menyelesaikannya. Itu bukanlah hal yang wajar. Lingkar Hijau saja hanya membutuhkan satu malam untuk menghancurkan satu kubu Lingkar Hitam. Di mana semua ajaran yang sudah kau terima?”

“Kumohon, biarkan aku menyelesaikan ini Prof. Sebelum dia pergi lebih jauh lagi,” pintanya. Dia tidak berani menatap mata pria yang sangat dihormatinya itu.

“Aku harap kau tidak mengecewakanku,” mendengar ucapan tersebut, Alva segera bergegas mengikuti arah kemana Bian melarikan diri.

Dia terus berlari menyusuri hutan. Jejak kaki yang tertinggallah yang memberinya petunjuk. Dia menghentikan langkah kakinya saat menjumpai sebuah jurang yang terbentang di hadapannya. Bukan jurang sesungguhnya, namun sebuah air terjun yang sangat curam. Jika terjatuh dari tempat itu, kemungkinan besar kau hanya akan menyisakan raga yang kosong. Atau jika kau beruntung kau akan terjatuh di sungai yang entah berapa dalamnya, mungkin juga kau akan terjatuh di tanah dengan tubuh yang bersimbah darah. Tidak ada yang tahu kau akan mati di mana.

Alva mendongakkan kepalanya ke sebuah pohon yang berada di tepi jurang tersebut. Gadis yang ingin ditemuinya sedang duduk di dahan pohon untuk membalut lukanya.

“Bisakah kau turun sebentar? Aku akan mengobati lukamu,” bujuknya. Seketika Alva sadar, itu bukanlah kata yang seharusnya dia lontarkan. Lagi-lagi Bian memandanginya dengan dingin.

“Sebaiknya kau pergi. Aku sedang tidak ingin membunuh siapa pun. Atau, kau ke sini datang untuk membunuhku?” tanya Bian. Alva tersentak kaget. Untuk sesaat dia membisu. Dia takut salah memberi jawaban dan hanya akan memperkeruh keadaan.

“Aku tidak tahu jika takdir kita akan berbenturan seperti ini. Seandainya saja saat itu aku tidak mengacuhkanmu,” lirih Alva.

Bian berdiri dan melompat turun. Mereka saling berhadapan. Sejenak, mereka saling tak bersuara. Mereka hanya berdiam diri dengan saling bertukar tatapan yang tidaklah menyenangkan. Alva yang memberikan tatapan penuh kebingungan, dan Bian yang mengeluarkan tatapan penuh emosi.

“Lebih baik kau selesaikan urusanmu denganku. Aku tahu kau membutuhkan kepalaku sebagai bukti kesetiaanmu dengan Lingkar Hijau dan sebagai syarat kau bisa terlepas dari organisasi itu. Kurasa ini kesempatanmu. Aku tahu, bukanlah hal yang sulit bagimu untuk membunuh seseorang sepertiku.”

“Bian, kumohon. Bantu aku keluar dari posisi ini. Aku ingin menunjukkan kesetiaanku kepada Lingkar Hijau, tetapi dilain sisi aku tidak mau mengambil resiko untuk kehilanganmu,” lirih Alva lagi.

“Tak bisakah kau mengatakannya dengan keras seperti biasa? Ini kesempatanmu bukan? Aku juga sudah tidak bertenaga untuk melawan.”

“Pergilah! Jalani kehidupan yang kau inginkan. Negara penuh kedamaian yang kuceritakan kepadamu bukanlah sebuah kebohongan. Tempat itu nyata. Kau bisa ke sana dan memulai kehidupan yang baru. Aku…a-aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa meninggalkan Lingkar Hijau begitu saja, dan aku tidak bisa membunuhmu. Pergilah Bian, sebelum mereka ke sini. Aku akan mengatakan jika kau mati terjatuh ke dalam jurang ini. Pergilah!” Alva terus menundukkan kepalanya. Begitulah kebiasaannya saat dia merasa tertekan.

Dia dikejutkan saat Bian menyodorkan sebuah kipas dongker beserta sarungnya. Kipas itu sudah berlumuran darah milik Bian. Darah yang keluar akibat pertarungan sebelumnya.

“Ambillah. Aku harap kita tidak berjumpa lagi,” begitulah ucapan Bian saat menyerahkan kipas miliknya.

Mendengar ucapan itu, mata Alva berkaca-kaca. Namun seketika keadaan berubah saat sebuah pisau melayang dan hampir mengenai leher Bian. Jika Bian tidak melompat dan menghindar, maka dua pisau sudah menancap di tubuhnya pula. Mereka semua berkumpul di tempat itu. Alva semakin panik, dia sadar dengan keadaaan tersebut. Dia tidak bisa lagi memanipulasi cerita kematian Bian.

“Aku benar-benar tidak habis pikir dengan hasil kerjamu yang sekarang Alva. Kau adalah anak didik kebanggaanku. Aku sudah berharap lebih padamu. Kurasa memberimu sedikit kebebasan hanya akan merusak akalmu,” ucap profesor. Lagi-lagi Alva tertunduk membisu.

“Mari kita lihat yang satunya. Bukankah sebuah keajaiban kau masih bisa hidup sampai saat ini? Seharusnya saat itu kau ikut mati bersama teman-temanmu sehingga kalian bisa berada di kuburan yang sama. Tapi ya, tidak ada yang tahu soal kematian,” ucap profesor.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Asya Ns
Impressif.. ceritanya keren.. semangat Alva semangat Author.... fighting... Yuk ganti mampir ke Anila kutukan angin...♡♡
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status