“Apa? Di mana dia? Ini, ambil!” ucap Alva yang mulai panik. Ia segera duduk dan memeriksa isi tasnya.
“Apa aku meninggalkannya di apotik? Tapi aku yakin aku sudah memasukkannya ke dalam tas. Atau jangan-jangan…benda itu terjatuh saat melompat kemaren? Tapi bagaimana?” tanyanya sendiri.
“Itu hanya pita,” Bian mulai kesal mendengar gerutuan Alva.
“I-iya. Tetapi kalau benda itu jatuh ke tangan orang yang salah malah akan membahayakanku. Sial…aku harus mencari apotik selanjutnya untuk meminta yang baru.”
“Oh iya, jubah tadi untukmu. Ambil saja. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan.”
Pegunungan masih terlihat jauh di belakang mereka, namun pemandangan itu lama-lama semakin terlihat kecil. Sepuluh menit kemudian, suara orang yang sedang berdebat terdengar dari arah depan mereka. Suara seorang wanita dan suara seorang pria dewasa. Suara itu semakin lama semakin jelas. Alva tersadar j
“Tuan, Ryan di sini. Ini handuknya.”Seorang laki-laki masuk ke dalam tenda. Kevin segera mengambil handuk basah dan membersihkan tangannya sendiri. Namun, tak sekalipun ia mengalihkan pandangan dari gadis yang sedang menahan sakit tersebut meskipun bau amis darah menusuk hidungnya.“Cepat! Jahit lukanya!” perintahnya. Ryan mengangguk dan mendekati Bian.“Biar kulihat tanganmu dulu. Maaf….”Setelah menyingsing lengan baju Bian, ia mulai membersihkan luka yang memanjang di pergelangan tangan gadis tersebut.“Sepertinya ini harus dijahit. Sebentar…aku akan membiusnya terlebih dahulu. Jangan tegang!” suara Ryan yang lembut dan tenang membuat detak jantung Bian semakin normal.Kevin mengambil handuk kering dan melemparkannya ke kepala Bian. Bukan hanya Bian yang terkejut. Tetapi, Ryan juga bereaksi dengan spontan melindungi area tangan pasiennya.“Tuan! Apa yang tua
Di atas pohon, Alva dan Bian sedang berusaha menahan napas agar tidak ketahuan oleh para pengejar.“Siapa mereka? Kenapa mereka tahu makna lambang itu?” pikir Alva sembari mengintai pergerakan musuh.Dor!Deg!Seketika jantung berdegup lebih kencang. Batang pohon di belakang mereka sudah berlubang kecil. Alva terus melihat batang pohon tersebut seraya menebak apa yang mengenainya.“I-itu bukan anak panah. Senjata jarak jauh selain busur adalah…tidak mungkin mereka menggunakan senjata terlarang itu’kan?” pikir Alva lagi. Ia kembali menoleh kepada orang yang mengejar. Seorang pria sedang berdiri ke arah mereka dengan sebuah senjata api di tangannya.Deg!Lagi-lagi, Alva seketika berkeringat dingin. Ia sadar posisi mereka sudah diketahui. Sambil mencoba tidak membuat pergerakan yang jelas, ia sedikit menarik lengan baju Bian sebagai kode.Dor!Alva segera menundukkan kepala Bian juga aga
Hawa dingin mencengkram setiap kulit yang berada di tempat itu. Suara derap kaki yang terburu-buru menambah kebisingan yang membuat telinga kesal dan memaksa mata agar segera terbuka. Alva perlahan membuka matanya dan mendapatkan dirinya ada di dalam kereta kuda dengan dua orang pria dewasa yang terus mengawasinya. Ia mencoba menggerakkan setiap bagian tubuh yang awalnya mati rasa. Meski masih gemetar, kini ia sudah menjadi dirinya kembali. Dengan tatapan curiga, ia melihat setiap wajah yang ada di sekitarnya. Pria yang dipanggil tuan oleh anak buahnya dan seorang pria yang memukulnya hingga pingsan.Tak berselang lama, kereta kuda berhenti. Alva yang sudah sadar dipaksa untuk berjalan sendiri meskipun ia masih belum sanggup untuk berdiri tegak. Pandangan mata yang masih berkunang-kunang menambah rasa mual saat melihat jalan.“Ke mana mereka akan membawaku?” pikir Alva sembari mengikuti arahan pria yang terus memegang ikatan tali di tangannya.&ldquo
Klang!Alva berulang kali mencoba menggerakkan tangannya yang sudah terikat oleh rantai. Ternyata kedua kakinya bernasib sama pula. Mata yang sedang tertutup kain tidak membuatnya menyerah untuk mencoba melepaskan diri.“Urgh!”“Sebaiknya kau duduk baik-baik dan jawab setiap pertanyaan Tuan Erca.”Alva merasakan tangan kirinya telah disuntikkan sesuatu. Ia sendiri bisa merasakan detak jantungnya berdetak melambat.“Jadi ini salah satu anggota Lingkar Hijau yang kau temukan? Lingkar Hijau memang menarik, selalu merekrut anggota dari usia mereka yang masih sangat muda. Tetapi…sejauh apa ilmu yang kau miliki?” terang seorang pria bertubuh tinggi yang sedang berjalan mendeka
Tes…tes!Darah mengucur di lengan kiri Bian. Lengannya yang sudah luka sejak awal ditambah tembakan Erca yang hampir mengenai paru-paru kirinya. Bian terduduk mencoba menghentikan pendarahan di lengan kirinya.Dor!Ting!Kipas Bian bergerak melindungi tubuhnya sendiri.“Haaa…fuuuh,” Bian menarik napas dan membuangnya kembali.Ia melirik ke arah Erca yang sedang menghalangi jalannya.Drap!Gedebuk!Tubuh Erca ia lemparkan ke sisi gedung yang berlawanan. Tubuh pria itu menghantam dinding. Sedikit bercak darah tertinggal saat tubuh pria itu terjatuh ke lantai.Ngiiing!Bian menggerakkan kipasnya untuk memotong rantai yang membelenggu Alva. Tubuh laki-laki itu terjatuh begitu saja.“Alva…Alva!” panggil Bian. Laki-laki itu tidak merespon. Matanya terus terpejam tanpa menunjukkan sedikit pun kesadaran.Bian mengangkat tubuh Alva dan meletakkannya di atas
Beberapa kali mata Alva berkedip. Awalnya samar-samar lalu jelas secara perlahan. Suara seorang pria terdengar dari arah samping kanannya. Ia menggerakkan kepalanya yang masih terasa berat. Selang oksigen yang terpasang di wajah membuatnya terkejut akibat gerakannya yang secara tiba-tiba menimbulkan rasa tidak enak di pipinya.“Dokter…dia sadar!” sorak seorang perawat dengan riang. Laki-laki yang ia panggil dokter segera menoleh ke arah Alva yang sedang menoleh padanya pula.“Syukurlah. Aku pikir kau tidak akan bangun lagi.”“Dokter…sepertinya dia belum sadar sepenuhnya.”“Kalau begitu mari kita coba. Apa kau ingat siapa namamu? Jika ingat kedipkan matamu dua kali!”Alva berkedip sebanyak dua kali. Dokter itu tersenyum lebar. Ia sedikit mengangkat kepala Alva dan meluruskannya kembali.“Syukurlah…sepertinya tidak ada masalah pada ingatannya.”Dokter dan p
Dengan keadaan tubuh yang masih terpasang infus, Alva menulis apapun yang ada diingatannya. Semua bagian penting dari dua buku ia rangkum ke dalam sebuah buku yang berukuran lebih tipis dari milik aslinya.“Meskipun aku masih ingat siapa nama-nama pasienku…dan aku masih bisa menyalin informasi yang penting. Tetapi…rasanya tetap sedih karena aku kehilangan surat-surat pemberian mereka yang kutempelkan di balik kertas. Yang tersisa hanya nama Nila di Buku Klorofil jilid tiga. Mau bagaimana lagi…dari pada semua informasi yang kudapatkan diambil mereka.” Pikir Alva sembari memainkan penanya.“Aku beruntung bisa selamat. Setidaknya ada informasi yang bisa kulaporkan pada pusat. Meskipun besar kemungkinan mereka sudah melarikan diri dari tempat itu.” Ungkap Alva pada dokter yang sedang berdiri di depan jendela dengan jubah putihnya.“Kau bisa melaporkannya di ruang bawah nanti. Oh iya…sebentar lagi mereka akan
Alva membolak balik buku seiring dengan langkah kakinya yang seirama dengan langkah kaki Bian. Sesekali ia menggaruk pipinya yang gatal akibat tusukan dari rambutnya sendiri.“Bian…kau’kan sudah sering mendengar cerita soal Lingkar Hijau. Apa yang akan kau lakukan jika bertemu salah satu dari mereka?” Tanya Alva tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.“Diam.”“Ha? Aku memintamu untuk menjawab…bukannya justru memintaku untu-oh…maksudmu kau akan diam saja. Kenapa? Bukannya dia organisasi berbahaya? Meskipun dia tidak dianggap teroris seperti Regu Venom yang paling terkenal itu,” tanya Alva dengan polosnya.Bian tak menjawab.“Jadi…apa yang akan kau lakukan jika aku adala-“Alva menghentikan ucapannya ketika tak sengaja melihat seorang pria sedang duduk bersandar di bawah pohon beringin. Seperti biasa ia berlari dan menghampiri pria itu.“Hei.