Rey menghapus air matanya yang terus saja mengalir meski sudah berusaha untuk ditahan oleh Rey. Rasa sesak itu belum hilang dari dada Rey. Jujur saja, kenyataan tentang kehamilan Aisyah itu membuat Rey terus kepikiran. Rey masuk ke dalam rumah ketika Aisyah masuk ke dalam kamarnya menyusul Naufal, saat itu Rey diam-diam masuk ke dalam kamarnya. Namun, sampai di dalam kamarnya Rey masih tak bisa menghentikan air mata yang terus saja mengalir bak anak sungai di pipinya. Rey tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi, pernikahannya dengan Naufal hanyalah pernikahan kompromi yang hanya ingin mendapatkan anak. Dan sekarang, Naufal ataupun Aisyah sudah tidak membutuhkan dirinya lagi. Sesal memang tidak datang sejak awal. Andaikan dulu Rey bisa meyakinkan Aisyah bahwa dia bisa memiliki anak tanpa harus melibatkan Rey, mungkin pernikahan ini tidak akan terjadi. Andai setiap kali Dimas menawarkan untuk bekerja di toko orang tuanya Rey sanggupi tanpa perlu pikir panjang, mungkin Rey tidak akan
"Dim, gua hari ini mau ke rumah lu, ya," ucao Rey ketika mereka baru saja keluar dari kelas. Hari ini, kelas mereka keluar secara bersamaan jadi mereka bisa langsung untuk ngumpul.Kalau Naufal? Anak itu tadi katanya mau ke fakultas Aisyah dulu, dia mau memastikan Aisyah masih ada kelas lagi atau tidak. Jadi, saat ini hanya berkumpul Rey, Arfan dan juga Dimas. Seperti biasa, sore-sore begini mereka memilih ngaso di bawah pohon yang berada di halaman fakultas mereka. "Lu yakin?" tanya Dimas."Iya, gua yakin kok. Gua udah sembuh. Lu liat aja kaki gua udah sembuh gini," kata Rey. Sebenarnya tidak benar-benar sembuh. Hanya lebih lumayan ketimbang hari kemarin.Sedangkan Arfan, sejak tadi sepertinya dia tengah sibuk dengan isi pikirannya sendiri. Dia tidak ikut mengobrol dengan Rey dan Dimas. Rey yang menyadari jika Arfan sedang dengan dunianya segera menyenggol Arfan."Lu apaan sih, Rey? Main senggol aja, lu pikir gua ubin? Lu pikir gua dinding bisa lu senggol?""Lagian lu kenapa? Kayak
"Kalau kamu memang tidak bisa memberikan keturunan pada Naufal, biarkan dia menikahi perempuan lain!"Aisyah memejamkan matanya ketika kalimat itu dengan mudahnya keluar dari bibir mertuanya. Naufal yang sangat mengerti bagaimana perasaan istrinya hanya mencoba menguatkan istrinya dengan terus mengenggam tangan istrinya. Ini tidak akan mudah bagi Aisyah, ini bukan keinginan Aisyah. Sama sekali dia tidak ingin hal itu terjadi. Sebagai perempuan Aisyah ingin sekali memberikan Naufal keturunan, dia ingin keluarga ini ada penerusnya. Karena yang orang tua Naufal takutkan pesantren ini tidak ada penerusnya sama sekali. Mereka juga hanya punya satu putra, makanya mereka menaruh harap banyak pada Aisyah dan Naufal. Akan tetapi, tiga tahun pernikahan mereka. Buah hati yang selalu ditunggu kehadirannya tidak kunjung hadir dalam rahim Aisyah. "Umi tenang, kami sedang berusaha untuk itu. Jangan menekan Aisyah seperti ini," bela Naufal. Uminya tampak marah, begitu juga Abinya. Keduanya sama-
Ketiga temannya hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat tingkah salah satu teman mereka tidak berhenti tersenyum. Padahal, baru semalam orang tersebut menangis sambil tersedu-sedu, orang tersebut bahkan terlihat tidak punya semangat hidup lagi. Dan sekarang orang tersebut sangat berbeda 180 derajat. Dia tampak selalu tersenyum, dia ramah pada semua mahasiswa yang ada di lorong kampus. Bahkan sesekali dia tampak tebar pesona pada gadis-gadis yang ada di sana. Untung wajahnya memang tampan, jika dilihat dari keempatnya dialah yang paling tampan. Meski, ada salah satu dari mereka yang juga tidak kalah tampannya dari orang yang sedang sedikit sinting itu. "Rey, lu kesambet apaan sih?" tanya salah satu temannya.Yang satunya lagi bertugas untuk mengecek kening orang yang bernama Rey itu. Yang ditanya tidak menjawab, dia masih asik tebar pesona pada gadis-gadis. Bahkan dia tidak merespon meski temamnya ada yang mengecek keningnya. Dia tetap sibuk mengedipkan matanya pada gadis-gadis y
Aisyah baru saja keluar dari perpustakaan bersama dengan Zahra temannya. Tadi dia inginnya mengajak Naufal dan teman-temannya yang lain untuk ke perpustakaan, tapi mereka pada menolak dan memilih pergi ke kantin. Naufal kalau sudah bersama mereka pasti jadi ikutan juga, jadi tidak mau diajak ke perpustakaan. Untungnya tadi ada Zahra yang mau Aisyah ajak ke perpustakaan, diapun tidak jadi sendirian. Di belokan depan perpustakaan Aisyah dan Zahra berpencar, Aisyah akan pergi ke kantin menyusul suami dan teman-temannya yang lain. Pasti mereka sedang melihat wanita-wanita yang ada di kantin. Jangan sampai Naufal ikutan dalam hal itu, dia tidak boleh melihat wanita lain."Kalian betah sekali di kantin," Aisyah duduk di samping Naufal yang kosong, di samping kirinya ada Rey yang sedang membahas hal tidak penting bersama dengan Dimas dan Arfan. "Kok cepet dari perpusnya?" tanya Naufal pada istrinya itu."Boong dia pasti, palingan dia nggak jadi ke perpusnya," sanggah Arfan yang langsung di
"Aisyah sama Naufal mana?"Rey baru saja sampai di taman yang sudah mereka janjikan. Biasanya kalau ada waktu senggang mereka akan mengajak untuk kumpul. Maklum, mereka semua selain punya kesibukan sebagai mahasiswa, mereka juga sibuk bekerja sampingan. Arfan bekerja sebagai penjaga toko milik orang tua Dimas, karena orang tua Dimas termasuk orang tua yang berkecukupan sehingga memiliki beberapa toko. Makanya Arfan bisa bekerja sebagai penjaga toko milik orang tua Dimas. Biasanya Dimas juga akan menemani Arfan untuk menjaga tokonya agar dia tidak terlalu kesepian karena harus menjaga toko sendirian. Sekarang yang pengangguran itu hanya Rey sendiri, Naufal dan Aisyah bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah islam yang tidak jauh dari kampus mereka. "Lu tahu lah, ini malam jumat. Suami istri nggak bakal keluar rumah kalau malam jumat gini," sahut Dimas sambil terkekeh kecil yang dibarengi anggukan oleh Arfan. "Sunnah rasul mereka," sambung Arfan masih dengan tawanya.Rey
Dosennya kali ini cukup baik karena mereka keluar setengah jam lebih awal dari jadwal biasanya. Katanya dosennya masih ada acara jadi harus keluar lebih cepat dari biasanya. Itu menjadi hal yang sangat membahagiakan bagi mahasiswa karena mereka dapat pulang lebih cepat.Hal ini juga berlaku untuk Rey yang sangat bahagia karena dosennya keluar lebih awal. Setidaknya dirinya bisa pulang cepat dan bisa langsung tidur. Semalam dia tidur jam tiga dini hari karena mengerjakan tugas kuliah untuk hari ini. Untung dia termasuk mahasiswa dengan otak yang encer sehingga baginya tidak masalah mengerjakan tugas dalam waktu yang mepet, asal dia masih dapat nilai yang tinggi. Rey menghampiri bangku Naufal. Kebetulan mereka satu kelas, mereka sama-sama anak fakultas ekonomi. Sedangkan Aisyah anak fakultas pendidikan dan kedua cecurut yang lain itu sama-sama anak fakultas ekonomi hanya beda kelas dengan Rey dan Naufal. "Woiii ... " sapa Rey sambil menepuk pundak Naufal cukup keras. Yang ditepuk sepe
"Mau ngomong apa? Ngomong aja kali, Syah," Rey masih menanggapi santai perkataan Aisyah. "Ini mungkin agak serius, Rey.""Apa kalian mau menagih uang itu sekarang? Duh, kan kalian tahu gua belum kerja. Gua mau dapat uang darimana buat bayar itu sama kalian," perkiraan Rey ternyata salah. Dia mengira kalau Aisyah dan Naufal akan menagih hutangnya. "Bukan itu, Rey. Bukan. Ini ada hal lain yang perlu gua dan Naufal omongin sama lu," lanjut Aisyah."Oh, bukan itu. Emangnya apa yang perlu kalian omongin ke gua?"Aisyah melirik Naufal yang tampak tidak tenang, dia membuang muka kesegala arah. Aisyah tahu Naufal tidak akan tega mengatakan itu semua pada Rey. Akan tetapi, kalau mereka tidak mengatakannya segera, maka pernikahan itu juga tidak akan segera terlaksana. "Gua dan Naufal sedang ada masalah. Gua rasa lu sudah tahu masalah gua sama Naufal, gua udah pernah ceritakan sama lu, sama Arfan dan juga Dimas.""Tentang lu yang masih belum hamil?" tebak Rey. Karena dia ingat Aisyah pernah