Sejak pertemuannya dengan gadis penjual donat, Pak Adyaksa jadi tidak berselera makan saat makan malam. Terpikir apakah putrinya sudah makan dengan layak atau tengah menahan lapar di luar sana. Perasaan bersalah dan penyesalan terus menghantuinya. "Mas, kok piringnya masih kosong?" tanya Sinta heran. "Aku ambilin nasi, ya?""Nggak usah. Aku lagi nggak selera makan." Pak Adyaksa bangkit dari duduknya lalu melangkah meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya.Pria yang separuh rambutnya sudah memutih itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi portabel yang empuk. Matanya terpejam dan pertemuannya dengan gadis penjual donat di warung Mak Ijah tergambar jelas di benaknya. Wajah sendu gadis itu terus terbayang-bayang. Pertemuannya dengan gadis penjual donat tak bisa dilupakannya. Di dalam ruang kerjanya Pak Adyaksa duduk termenung lama dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam sebuah foto lama, foto mantan istrinya, Dahlia dengan bayi perempuan dalam gendongannya."Viola kecil
#25Wajah gadis itu sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Sorot mata teduhnya, hidung bangir, dan bentuk bibir tipisnya. Semua begitu mirip dengan mantan istrinya, Dahlia. yang ia usir dari rumah dua puluh tahun lalu.Tangan Pak Adyaksa gemetar saat meletakkan sendok. Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Dadanya bergemuruh menahan semua perasaan yang membuncah. Gadis penjual donat itu menoleh dan balas menatap pria paruh baya itu dengan kening berkerut. "Pak?" Rizal menyadari perubahan ekspresi majikannya saat menatap Viola. "Bapak kenapa?" tanyanya khawatir. Pak Adyaksa tak menjawab. Matanya masih terkunci pada gadis yang tengah berbicara dengan Mak Ijah. Seolah merasakan tatapan intens itu, gadis yang tengah menyerahkan kotak donat ke Mak Ijah itu menoleh. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, waktu terasa berhenti berputar. Gadis itu mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dengan pria berjas rapi itu. Baru kali ini ia melihat pelanggan nasi uduk Mak Ijah berpakaian necis seperti i
#24Tak terasa, sudah sebulan lebih Viola dan Rosi tinggal di kontrakan kecil di pinggir kali yang bau. Dindingnya lembap, atapnya bocor jika hujan, dan tikus-tikus sering berlarian di atas plafon saat malam hari, berisik sekali menganggu orang tidur. Meskipun tempat tinggalnya saat ini jauh dari kata nyaman, Viola sudah bersyukur. Setidaknya, di sini ia merasa aman. Para preman yang mengusirnya tidak akan menemukan keberadaannya di tempat persembunyiannya. Setiap pagi, Viola bangun sebelum subuh. Tangannya cekatan menguleni adonan, mencetaknya satu per satu, lalu membiarkan sampai mengembang. Setelah satu jam, donat-donat itu tinggal digoreng hingga matang keemasan. Setelah selesai dihias dengan topping, donat-donat cantik itu disusun rapi di dalam wadah plastik berbentuk kotak. Dengan bersemangat Viola berjalan menuju warung nasi uduk Mak Ijah untuk menitipkan dagangannya. "Titip ya, Mak," ujar Viola dengan senyum tersungging di bibirnya. Mak Ijah mengangguk, menatap gadis itu
#23Azam menatap Varrel dengan kening berkerut. "Jadi … Viola itu adik lo, Rel?" tanyanya, masih sulit percaya. Varrel mengangguk, matanya menerawang. "Iya. Gue seneng banget akhirnya bisa ketemu lagi dengannya setelah dua puluh tahun terpisah. Tapi sekarang dia hilang lagi," ucapnya dengan raut wajah sedih. Sebagai kakak yang seharusnya bisa melindungi, ia jadi mengkhawatirkan keadaan adiknya. Azam menghembuskan napas lega, bercampur sedikit rasa malu. Selama ini, ia sempat mengira Varrel adalah rivalnya dalam merebut hati Viola. Namun, ternyata, sahabatnya justru kakak kandung gadis itu.“Kita cari Viola lagi, yuk!" ajak Azam mantap.Dengan mengendarai mobil Azam, mereka mulai menyusuri jalanan kota, bertanya kepada setiap orang yang mereka temui di jalan. Mereka mencari ke setiap sudut pasar, terminal, stasiun, juga di tempat-tempat keramaian, barangkali Viola ada di sana tengah berjualan donat. Semua sudut di kota metropolitan sudah dijelajahi, tapi tidak ada satu pun yang meng
#22Viola masih mengatur napasnya yang tersengal, sementara para preman itu perlahan mundur teratur. Ekspresi mereka yang semula garang berubah gentar dan ragu."Rizal, ini bukan urusan lo!" sergah pria dengan lengan kanan bertato, meski suaranya tak setegas tadi."Justru ini urusan gue," jawab pemuda itu dengan tenang, tatapannya tak lepas dari ketiga preman itu. "Lo pikir gue bakal diam aja lihat lo ganggu perempuan dan anak kecil?"Pria bertato itu melirik teman-temannya, lalu mengumpat pelan. "Sial, kita pergi dulu. Tapi ini belum selesai!"Mereka bergegas meninggalkan terminal, masih melontarkan beberapa makian. Viola berdiri terpaku, masih sulit mempercayai kejadian barusan. Kenapa dia harus kembali berurusan dengan para preman kasar lagi. Rosi memeluknya erat, wajah bocah itu masih pucat ketakutan."Kamu nggak apa-apa?" tanya pemuda bernama Rizal, suaranya lebih lembut kini.Viola menelan ludah, mencoba menguatkan diri. "Aku ... aku nggak apa-apa. Terima kasih Bang atas pertol
#21Fajar baru saja menyingsing ketika Viola memberhentikan angkot berwarna biru yang melintas, tujuan ke wilayah pinggiran Jakarta. Udara pagi masih terasa dingin. "Ma, dingin!" seru Rosi, kedua tangan mungil bocah itu berusaha melindungi wajahnya dari terpaan angin yang masuk lewat jendela.Viola segera menutup kaca jendela dan merengkuh tubuh adiknya lebih merapat ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya perlahan. “Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi sampai.”Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berkelana. Viola tidak bisa mengabaikan ancaman preman yang tadi malam mengusir mereka dari kontrakan. Siapa orang yang begitu ingin menyingkirkannya? Dia hanya gadis miskin yang berusaha bertahan hidup. Apa motif orang itu sampai membayar preman untuk mengintimidasinya. Viola teringat dengan Bu Sandra. Wanita paruh baya itu pastinya sudah menunggu kedatangannya di toko cake and pastry. Ponselnya dihancurkan oleh para preman itu. Viola bisa membayangkan wajah panik Bu Sandra, Varrel, dan