Share

Mampukah doa menjaganya

"Ketika tangan dan indra tak lagi mampu menjaga orang yang kau cintai, maka gunakanlah doa untuk menjaganya dari jauh. Jika itu masih belum berhasil, yakinlah rencana Allah jauh lebih baik dari apa yang kau rencanakan"

Faiqa Eiliyah

Karina dan Kayra membersihkan piring kotor bekas makan tadi, setelah sekian lama akhirnya mereka bisa mengulang kegiatan ini bersama. Kegiatan yang dulu sering mereka lakukan saat mama mereka masih hidup di tengah-tengah mereka.

"Lama ya, baru bisa cuci piring bersama lagi?" ucap Karina memecah hening antara mereka.

"Iya, Kak, jadi ingat waktu Mama masih hidup," bisiknya, takut kedengaran Mama Ina. Padahal Mama Ina baik dan tak pernah melarang merekka membahas soal mama mereka.

Bahkan, kadang dia sendiri yang bertanya- tanya tentang bagaimana mama mereka dan kesehariannya saat masih hidup. Hanya saja mereka berdua yang menjaga perasaan mama sambung mereka.

"Bagaimana dengan teman-temanmu di kota?" tanya Karina kemudian.

"Allhamdulillah semuanya baik-baik dan asyik-asyik, Kak!" jawabnya.

"Maksud Kakak, nggak ada teman special yang bisa diajak serius buat melangkah ke masa depan nggak?" goda Karina.

"Ada seh, Kak. Dia atasanku. Orangnya ganteng dan masih muda, tapi aku menolak!" terangnya.

"Kenapa?" tanya Karina penuh minat kali ini.

"Karena dia sudah punya istri," jawab Kayra, seperti menyesali kenyataan yang ada.

"Hah, kalau sudah punya istri, ngapain dia ngajak kamu serius?" tanya Karina jengkel.

"Karena istrinya itu sudah tua, Kak. Selisih umur mereka mungkin sekitar dua puluh tahun. Mereka menikah juga bukan atas dasar cinta, tapi karena dijodohkan. Istrinya adalah pemilik mall, tempatku bekerja sekarang," adunya dengan nada iba.

Karina membelalakkan mata, sembari menutup mulut dengan tangan yang masih basah. Menatap Kayra dengan pandangan tak percaya.

"Jangan berani macam-macam! Kau bisa saja dipecat atau bahkan dihabisi sama istrinya!" Karina berusaha mengingatkan Kayra agar lebih berhati-hati.

"Atasan perempuanku itu, baik banget, kok Kak!" terangnya.

"Musuh yang berbahaya itu, bukan musuh yang menampakkan ketidak sukaannya di depan mata kepalamu. Justru dia yang lihai tersenyum di depanmu dan menyerangmu kemudian ketika lengah!" sambung Karina dengan nada serius.

"Iya seh, Kak! Aku juga nggak mau dicap sebagai perebut suami orang," lirihnya.

"Apa kau mencintai pria itu?" tanya Karina penuh selidik.

"Enggak, seh, Kak. Karena aku tau dari awal kalau dia punya Istri. Makanya aku nggak pernah membiarkan perasaanku tumbuh padanya," ucapnya penuh keyakinan.

Membuat Karina bisa bernapas lega ....

Mereka kembali bergabung dengan Papa, Mama Ina, dan Ayub di depan TV. Melihat kedua Orang itu mengalah pada Ayub. Karena harus memilih chanel TV, sesuai dengan kemauan si bos kecil yang kini ada di tengah-tengah mereka.

Ketika si bos kecil itu terkikik geli, semua ikut tertawa geli. Bukan karena ikut geli melihat kartun yang ada di dalam sana, tapi karena geli melihat si bos kecil yang begitu menikmati filmnya.

HP Karina berdering, membuatnya mau tidak mau beranjak menuju taman. Karena tak mau keluarganya tau masalahnya dengan suaminya.

"Assalamualaikum," salam Karina tanpa denting rindu yang menggebu-gebu seperti sebelumnya.

"Waalaikumussalaam, apa kabar Kak?" diluar dugaan, Rani adik iparnyalah yang menjawab, bukan Raka suaminya.

"Allhamdulillah baik, bagaimana kabarmu, Mama, dan Papa?" tanya Karina.

"Allhamdulillah, mereka semua baik, Kak!" jawabnya.

"Setelah sekian lama di Surabaya, angin apa yang membuatmu menelpon kakak kali ini?" sindir Karina. Karena baik dia, Mama mertua, atau pun Papa mertuanya. Tak ada lagi yang pernah sempat berbagi kabar dengannya. Seolah Karina dan Ayub sudah tak begitu berarti lagi bagi mereka.

"Tidak, Kak, bukan begitu. suamiku tak mengijinkan aku memegang HP, selama aku memiliki Baby. Katanya nanti jika Albaithar sudah berumur tiga tahun, baru boleh main HP. Suamiku mau aku fokus, ngurus Albaithar dan suamiku orangnya keras banget, Kak," adunya dengan suara bergetar, membuat Karina yakin, kalau sekarang Rani tengah menangis.

"Bagaimana kabar, Ayub, Kak?" tanya Rani lagi.

"Ayub baik, tapi dia tak bersamaku sekarang. Dia bersama Kakek dan Neneknya, oh, iya yang punya HP mana?" tanya Karina, mencari Raka akhirnya.

"Kak Raka keluar, Kak! Mungkin dia lupa membawa HP-nya. Makanya aku bisa hubungi Kakak," terangnya.

"Bukannya, jam segini dia masih bekerja?" tanya Karina penuh selidik.

"Enggak kok, Kak. Kak Raka cuma kerja sampai jam tujuh malam, selebihnya di handle Mama dan Papa. Kak, kapan Kakak ke sini? Rani kangen Kak. A-aku nggak mau sampai terjadi apa-apa sama rumah tangga kalian!" ucapnya seperti terisak.

DEGH

Kalimat Rani barusan seperti sebuah ultimatum keras bagi Karina.

'Tak ingin terjadi apa-apa pada rumah tangga kami. Apa maksudnya?' Karina bermonolog dengan dirinya sendiri.

"Rani ...." panggil Karina ragu.

"Anaknya menangis, ada apa?" Ternyata itu bukan lagi suara Rani, itu Raka suaminya.

"Ough, enggak, enggak ada apa-apa. Bukannya kamu masih kerja jam segini?" sindir Karina.

"Iya, tapi aku lupa membawa HP saat pulang mandi tadi," ucapnya.

"Kau pasti sibuk, jadi akhiri saja panggilan ini. Ough, iya aku cuma mau bilang. Terkadang kenikmatan sesaat akan menggiring seseorang ke bibir jurang penyesalan. Ketika kau jatuh di dalamnya ... akan sangat susah untuk bisa kembali ke atas lagi."

Karina memutuskan pembicaraan, benih-benih curiga sudah tumbuh subur dalam benaknya. Dia hanya bisa meminta yang terbaik sama Allah. Apa pun yang akan terjadi nantinya. Pasti itulah yang terbaik untuknya. Dia serahkan hidup mati sepenuhnya pada Allah.

Karina menarik napas kuat dan menghembuskannya lemah. Membiarkan semua beban rasa yang mengendap di dasar sana raib dan pergi.

Karina butuh tidur nyenyak malam ini. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tak melarang Ayub ketika dia bilang, mau tidur bareng Bunda juniornya.

"Ya, Allah, kembalikan suamiku padaku!" bisiknya dalam doa, usai salat Isya. Menatap foto pernikahan mereka yang masih bertengger manis di sudut meja, di pojok kamar itu.

Kamar itu adalah saksi bisu, kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama. Saat ritual demi ritual adat pernikahan mereka terputar kembali dalam ingatannya. Karina terisak di tengah malam buta, dia yang tadinya berharap bisa tidur dengan nyenyak. Justru tak bisa tidur, hingga dini hari tiba.

Hal yang selalu terngiang dalam pikirannya, adalah kata-kata terakhir Rani, Adik iparnya. Hal paling menyakitkan adalah ketika di sini ada yang menangis karena rindu, sementara yang dirindukan. Mungkin justru tengah terlena dalam cumbu wanita lain. Tidak! Sungguh pikiran buruk pun adalah sebuah dosa.

Sekali lagi Karina menengadah pada-Nya ....


"Tuhan, kuserahkan hidup matiku di tangan-Mu. Apapun yang akan terjadi nantinya. Ajarkan padaku tentang sabar dan ikhlas, ajarkan padaku bahwa semua yang ada di sisiku saat ini hanyalah titipan. Titipan yang bisa Engkau ambil kembali, kapan pun Engkau menghendakinya. Pintaku pada-Mu, apa pun yang akan terjadi di bawah langit-Mu dan di atas bumi-Mu ini. Jangan pernah jauhkan hamba dari lingkaran kecil Kasih Sayang-Mu. Aamiin!" doanya berurai air mata.

                             ***

Entah sampai kapan ujian hidup yang harus menguji kesabaran seorang Karina. Di saat dia sudah begitu menikmati indahnya rumah tangga, bersama keluarga kecilnya. Kini semuanya berubah, rumah tangganya yang dulu indah penuh warna. Kini berubah jadi abu-abu ....

Karina masih terisak, takkala HP-nya kembali berdering. Karina melirik jam yang tertera di layar HP, sudah jam setengah satu. Dia mengangkat telpon tanpa bersuara, tanpa mengucapkan kata halo ataupun salam.

"Assalamualaikum, apa kau belum tidur?"

"Waalaikumussalaam! apa perdulimu aku bisa tidur atau tidak."

"Apa yang harus kulakukan, agar kau bisa percaya padaku kalau aku tidak melakukan apa pun di sini selain bekerja!" tanya Raka suaminya di ujung sana.

"Pulang! Dan tinggalkan pekerjaan itu! Sebelum pekerjaanmu itu menghancurkan rumah tanggaku."

Hening ....


"Kenapa? Tidak bisa? Atau ada hati yang tengah kau jaga juga di sana? Abaikan permintaanku, anggap saja angin lalu. Assalamualaikum."

Karina mematikan sambungan telpon dan menonaktifkan HP-nya. Dia butuh istirahat. Bukan omong kosong yang tak masuk akal.

"Aku berharap ... doaku bisa menjagamu di mana pun kamu berada saat ini ...." lirihnya. Sebelumlam bawa sadar menyeretnya jauh ... menerobos semak mimpi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status